Page Fifty Nine

21.8K 1.3K 7
                                        

59. Wkwkwk

"Sekarangceritain ke gue kenapa lo bisa tau semuanya?" tanya Thea tanpa basa-basi begitu mereka berdua sampai di kamar Harvey.

Harvey melepas jaketnya, meletakkannya di atas kursi dengan gerakan malas, lalu berjalan ke balkon. Ia duduk di kursi kayu yang menghadap ke langit malam. Bulan tampak bersinar terang, membuat suasana terasa lebih tenang. Thea yang sejak tadi mengikuti setiap gerak-geriknya, akhirnya ikut duduk di samping Harvey.

Butuh waktu enam menit dalam keheningan sebelum Harvey akhirnya buka suara. "Gue tau ini susah dipercaya," ucapnya pelan, suaranya seolah tenggelam di udara malam.

"Apanya yang susah dipercaya?" tanya Thea sambil menyandarkan punggung ke kursi, matanya tak lepas dari wajah Harvey.

"Setiap ada kejadian buruk yang menimpa Kevan atau orang-orang terdekat gue, gue pasti mimpiin sehari sebelumnya," kata Harvey masih dengan pandangan terpaku ke bulan.

Thea mengerutkan kening, mencoba mencerna ucapannya. "Tapi kenapa waktu Fanya, Xiao, sama Ruka diculik, lo nggak tau apa-apa?" tanyanya skeptis.

Harvey menoleh, menatapnya tajam. "Karena mereka bukan orang terdekat gue," jawabnya tanpa ragu.

Jawaban itu membuat Thea bungkam sejenak. Ia tahu Harvey bukan orang yang mudah ditebak. Bahkan untuk dianggap sebagai sahabat atau orang terdekat Harvey, ia harus melalui waktu yang panjang. Meski kini Harvey tampak akrab dengan Fanya, Xiaoting, dan Haruka, Thea tahu di mata Harvey, mereka hanya sebatas teman dekat, bukan orang yang benar-benar masuk ke lingkaran kecilnya.

"Gue selalu percaya sama lo," kata Thea akhirnya, nada suaranya datar, tetapi tulus. Ia menatap Harvey yang kini kembali menatap pemandangan kota yang dihiasi lampu-lampu malam.

Thanks. Kalau gini, gue jadi nggak perlu ribet jelasin semuanya. Harvey bersyukur dalam hati. Salah satu hal yang ia suka dari Thea adalah kemampuannya menerima sesuatu tanpa terlalu banyak pertanyaan.

Setelah beberapa saat, Harvey akhirnya memecah keheningan lagi. "Udah, sana balik. Besok masih sekolah," ucapnya, kali ini dengan nada santai tanpa menoleh ke arah Thea.

Thea mendecak pelan, tetapi ia berdiri. "Besok bolos aja, gimana?" tawarnya sambil berjalan menuju pintu.

"Nggak," jawab Harvey cepat, tetap memandang lampu-lampu kota.

"Kenapa enggak?" tanya Thea penasaran, tangan sudah di gagang pintu.

"Gue nggak mungkin lewatin adegan seru," sahut Harvey sambil tersenyum kecil, kali ini menoleh untuk menatap Thea.

Thea mengangkat alis. "Maksud lo apa? Emang besok ada apa?"

Harvey mengangkat bahu. "Siapa tau ada kejadian luar biasa? Gue juga nggak tau."

Thea mendengus, tetapi ada senyum tipis di wajahnya. "Yaudah, besok gue juga masuk," katanya sebelum membuka pintu.

Harvey menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. Begitu pintu tertutup, ia kembali menatap langit. Bintang-bintang bertebaran di atas sana, bersinar terang di tengah kegelapan malam. Sesaat, ia merasa tenang, meskipun tahu badai lain mungkin akan segera datang.

***

"Berhasil, Kev?" tanya Harvey dengan nada setengah mengantuk ketika ia tak sengaja melihat Kevan pulang pada pukul empat pagi. Harvey sendiri sedang turun ke dapur untuk mengambil minum.

Kevan mengacak rambutnya dengan frustasi. "Mereka ngebohongin kita," jawabnya sambil melepas jaket yang tampak kusut. "Yang diculik bukan Ayanna, tapi murid lain yang namanya juga mirip."

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang