Page Twenty One

23.7K 1.6K 10
                                    

21. Plan

Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara coretan pena di atas kertas. Seorang gadis duduk di kursi meja belajarnya, fokus pada kertas di hadapannya. Sebuah lampu kecil menjadi satu-satunya penerang, menyorot langsung ke notebook yang digunakan Harvey untuk mencatat.

"Gue belum ada seminggu di sini, tapi udah kelibat banyak masalah," gumam Harvey, suaranya dipenuhi rasa kesal.

Tangannya terus menulis, mencatat setiap detail penting. "Hari Sabtu, Kevan kecelakaan waktu ikut balap liar," ucapnya sambil menuliskan waktu dan lokasi kejadian.

Ia mengingat semuanya dengan jelas, walaupun kejadian itu tidak pernah tertulis dalam novel yang ia kenal. Dalam kehidupan keduanya, Harvey pernah menelepon Kevan, tapi yang mengangkat telepon justru Raka. Dengan nada tegang, Raka menjelaskan kronologi kecelakaan itu—sebuah momen yang membekas di benaknya.

"Beban banget jadi ketua," gerutunya menumpahkan rasa frustrasi. Di pikirannya, Erlang adalah sumber malapetaka bagi Kevan.

Kevan sudah mengalami tiga kejadian yang hampir merenggut nyawanya, dan semuanya, menurut Harvey, terkait Erlang dan Ayanna. Yang pertama, ketika Kevan menggantikan Erlang dalam pertandingan balap motor. Kedua, saat tawuran yang dipicu oleh musuh Inti Lion Cave menculik Ayanna. Ketiga, ketika Kevan mendorong Ayanna ke pinggir jalan untuk menyelamatkannya dari kecelakaan akibat ulah Fanya—dan justru dirinya sendiri yang tertabrak mobil.

"Terakhir karena Fanya, tapi Fanya begitu karena mereka. Jadi, salah mereka berdua." Harvey bergumam dengan nada penuh penegasan, memaksakan pikirannya untuk menyalahkan Erlang dan Ayanna, tokoh utama dalam novel Destiny.

"Gue urus masalah Kevan terus urus yang lainnya," keluhnya dengan napas panjang, merasa kelelahan. Hanya masalah Kevan saja sudah rumit, apalagi jika ditambah masalah-masalah lainnya.

Saat Harvey terdiam, melamun dalam pikirannya sendiri, pintu kamarnya terbuka. Seorang gadis berambut pirang masuk dengan langkah tergesa-gesa, sempoyongan karena baru bangun tidur.

"Gimana?" tanya gadis itu, Thea, dengan suara serak.

"Cuci muka dulu," tegur Harvey sambil melempar bola kertas ke arah Thea. Gadis itu tampak setengah terpejam, berusaha membuka matanya walau masih dikuasai rasa kantuk.

"Cepet jawab," ketus Thea tidak sabar menunggu respons.

"He said yes," jawab Harvey malas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

Mata Thea langsung terbuka lebar, meskipun kantuk masih tersisa. Tanpa menunggu lama, ia melompat mendekati Harvey dan memeluknya erat, senyumnya penuh kegembiraan.

"Engap, minggir," ucap Harvey sambil mendorong tubuh Thea yang masih memeluknya terlalu erat.

Thea akhirnya melepaskan pelukannya, tetapi ekspresi gembiranya tetap terpampang jelas. "Babeee, thank you so muchhh," katanya sambil membuka-tutup matanya yang masih berat karena kantuk.

Harvey hanya mendengus, lalu menjawab datar, "Anytime. Tapi lo bisa kan tanya besok? Ini udah jam segini. Gila lo?"

Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Harvey memang baru tiba di rumah tepat tengah malam setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan.

Thea menguap lebar sebelum menjawab, "Gue tadi nungguin lo pulang karena lo nggak jawab chat gue. Waktu nungguin lo, gue ketiduran. Gue bangun karena inget lo."

Harvey mendengarkan sambil menghela napas panjang, lalu berdecak. "Balik sono. Gue juga mau tidur."

Namun, Thea justru mengabaikan perkataannya. Tanpa basa-basi, dia langsung merebahkan diri di atas kasur Harvey, menarik selimut seadanya. Tidak butuh waktu lama, napasnya sudah teratur, tanda bahwa dia benar-benar sudah tertidur.

Harvey menatapnya sejenak, lalu menghela napas lagi. "Nyusahin aja," gumamnya pelan. Namun, ada sedikit senyum tersungging di wajahnya.

Harvey kemudian bangkit dari kursinya, berjalan ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, serta kaki. Rutinitas kecil itu membuat tubuhnya terasa lebih bersih dan segar, meski kantuk tetap tidak tertahankan.

Setelah selesai, Harvey mematikan lampu meja belajarnya dan merebahkan diri di sebelah Thea yang sudah terlelap sepenuhnya. Dengan menarik napas panjang, Harvey memejamkan matanya, membiarkan dirinya larut dalam keheningan malam dan perlahan menuju alam mimpi.

***

Pagi hari telah datang, ditandai dengan sinar matahari yang perlahan menyinari dunia. Akan tetapi, suasana di meja makan keluarga Davies terasa tegang. Kevan duduk dengan tatapan tajam yang tak lepas dari seseorang di samping Harvey. Anehnya, orang itu tidak terlihat terganggu, bahkan dengan santai menatap Harvey dari samping sambil sesekali menahan rambutnya agar tidak mengganggu Harvey yang sedang menikmati sarapannya.

“Gak capek mata lo?” tanya Harvey akhirnya, merasa risih dengan tatapan Kevan yang intens sejak orang di sampingnya bergabung di meja makan.

“Ga—”

Babeee, lo kenapa gak bangunin gue?!” teriak Thea tiba-tiba memotong ucapan Kevan saat keluar dari lift.

Kevan mendengus kesal, memilih melanjutkan makannya tanpa mempedulikan situasi. Namun, Thea tampak terkejut, matanya membulat ketika melihat seseorang yang tak asing baginya.

“Oh!” pekiknya. “Arsean!”

Mendengar namanya dipanggil, Sean—orang yang duduk di samping Harvey—menoleh ke arah Thea dengan alis terangkat, menyiratkan rasa heran.

“Gue mau ucapin thank you so much karena lo udah nurutin apa mau gue. Gue seneng banget soalnya mimpi gue jadi nyata!” ucap Thea penuh antusias, tatapannya berbinar-binar. Ia langsung duduk di kursi kosong di samping Kevan, tepat berhadapan dengan Sean.

Sean hanya mengangguk santai, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Harvey. Di sisi lain, Kevan kini menatap Thea dengan ekspresi penuh kebingungan.

“Lo minta apa?” tanya Kevan berusaha memahami ucapan Thea.

Thea, yang sedang mengunyah makanannya menoleh ke Kevan dengan ekspresi bingung, lalu buru-buru menelan makanannya sebelum menjawab.

I just ask his subordinates to be my teacher. Gue suka hal yang berbau…” jawab Thea sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Kevan, lalu berbisik, “mafia.”

Kevan mendengus sambil menggelengkan kepala. “Anak kan lo aneh, Vey. Sukanya macem begituan.”

Harvey hanya mengangkat bahu, tampak tidak peduli. “Gue duluan. Lo anter Thea,” katanya datar sambil bangkit dari kursi makan.

Kevan hendak memprotes, tetapi Harvey sudah berjalan pergi diikuti oleh Sean yang dengan tenang mengiringinya keluar.

“Lo udah sarapan?” tanya Harvey setelah mobil yang dikemudikan Sean melaju meninggalkan mansion Davies.

“Sudah,” jawab Sean singkat, tanpa banyak basa-basi.

Percakapan mereka terhenti di situ. Suasana di dalam mobil pun kembali hening, hanya diiringi suara mesin yang menderu pelan. Mobil meluncur mulus hingga akhirnya tiba di halaman sekolah Harvey yang masih sepi. Harvey memang sengaja berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari tatapan dan bisikan tidak menyenangkan yang biasanya menghampirinya.

“Nanti saya jemput,” ujar Sean ketika Harvey membuka pintu mobil.

“Iya. Hati-hati,” balas Harvey singkat sambil melangkah keluar dari mobil.

Sean memperhatikan Harvey hingga gadis itu benar-benar masuk ke dalam area sekolah. Barulah ia menyalakan kembali mesin mobilnya dan melaju meninggalkan tempat itu.


♡♡♡





Baru kali ini nulis page cuma ada 800+ words.. biasanya nyampe 1k+ atau 2k+ 🥲

Tapi next apdet langsung 2 page dalam 1 apdet, yeayy!

Ak lagi berharap semoga ceritanya gak melenceng kemana mana :D

Btw selamat hari minggu!!

Thank you udah vomment ^^

See you next pagee, bubayy ♡

Revised, 19/11/24

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang