Page Sixty

15.5K 1K 15
                                    

60. Bubar atau Tidak?

"Lo denger gosipnya gak?"

"Tentang Ayanna sama Jose?"

"Iya! Ada orang yang lihat mereka berdua ke gudang peralatan olahraga. Mereka gak keluar berjam-jam, waktu keluar seragam mereka kayak berantakan."

Harvey tersenyum dalam hati. Kakinya melangkah dengan ringan menuju kelasnya. Ah, Harvey berangkat sendiri hari ini dikarenakan Thea yang sudah terbang menuju rumahnya sebab ia mendapat kabar duka tentang Omanya.

"Tuhkan! Gue juga mikir kemarin pasti mereka ada apa-apanya!" ucapan Xiaoting mulai terdengar saat Harvey melewatinya.

"Sayang banget ngepas gue tanding. Padahal gue kepo banget," keluh Fanya sembari menumpu dagunya.

"Awalnya otak gue udah ngarah negatif, tapi karna omongan Harvey jadi jernih lagi," jelas Haruka menatap polos Harvey yang baru saja duduk di kursinya itu.

"Kenapa gue yang salah?" heran Harvey menatap ke arah tiga temannya. Haruka berdiri lalu menempati tempat duduk Thea.

"Btw, gue sama kayak lo, Nya. Gue juga kemarin gak bisa nemuin mereka berdua, rame banget sama anak-anak lain," keluh Xiaoting dengan bibirnya yang sudah mengerucut.

"Eh!" kaget Fanya saat ingin mengusap bahu Xiaoting, tapi tak jadi kala matanya melihat ada sebuah video yang beredar di grup sekolah.

"Ini ada yang video!" pekik Fanya langsung diserbu oleh Xiaoting dengan cara menarik ponsel Fanya.

"Woi, bagi dong. Gue juga mau liat," geram Fanya sembari menarik ponselnya kembali.

"Wah, gila. Ini gak sesuai yang gue pikirin 'kan?" tanya Xiaoting menatap ke depan.

"Ting, kayaknya kita sepemikiran," ucap Fanya menatap Xiaoting yang juga ikut menatapnya.

Harvey memutar matanya. "Gue lebih kepo sama reaksi Erlang."

"Ih, gue juga sama, Vey! Secara nih ya, Jose 'kan anak buahnya," sahut Haruka sembari mencodongkan badannya ke depan.

"Woi! Erlang sama Jose berantem!" teriakan itu berasal dari siswa yang sedang berlari di koridor kelasnya.

Harvey saling bertatapan dengan teman-temannya. Seketika tanpa aba-aba, mereka bertiga langsung berlari untuk melihat perkelahian itu. Harvey menghela napasnya lalu tangannya membuka ponsel dan mengirimkan seseorang pesan.

"Semoga lo suka dapet hadiah dari gue."

***

"Gimana?" tanya Harvey ketika melihat ketiga temannya sudah kembali ke dalam kelas.

Tentu saja itu dikarenakan Guru bagian konseling. Entah apa yang terjadi, pastinya Harvey tadi mendengar ada pengumuman tentang pemanggilan siswa bernama Ayanna Alandy.

"Ck," decak Fanya seraya menarik kursinya, "gak seru, harusnya baku hantamnya sampe mereka masuk rumah sakit."

Sadis juga lo, Nya, batin Harvey merasa terkejut dengan ucapan Fanya.

"Walaupun sadis, tapi gue setuju, sih," timpal Xiaoting ikut mendudukkan dirinya pada kursi sebelah Fanya.

"Pasti geng mereka ancur, deh," celetuk Haruka yang sedang menumpu dagunya.

Harvey bergumam seraya mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. "Gue rasa gak ancur banget. Paling sekedar ngeluarin Jose dari LC?"

Mata Fanya melebar, tangannya menggebrak meja, menyebabkan beberapa siswa yang masih ada di kelas terkejut. Namun, mereka tak ingin memarahi dan memutuskan untuk kembali melakukan aktivitas mereka, yaitu bergosip atau bermain game.

"Lo sepemikiran sama gue!" seru Fanya lalu duduk kembali setelah tadi berdiri.

"Kalau mereka bubar pasti kesenengan musuhnya gak, sih? Lagipula ini masalah inti LC, masa mereka sampe bubarin? 'Kan kek?" sambungnya sembari memasang wajah akan ketidakmungkinan.

"Make sense. Setau gue geng mereka juga gede," ungkap Xiaoting menatap teman-temannya.

Sepertinya ini udah cukup.

Harvey kembali menyimak atas pendapat dari ketiga temannya ini mengenai Lion Cave akan dibubarkan atau tidak. Yah, setidaknya ini cukup membuatnya terhibur.

***

"Tumben?" heran Harvey ketika melihat Kevan yang sudah pulang padahal waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Berarti, begitu bel sekolah berbunyi, Kevan langsung pulang ke rumah.

"Males," balas Kevan seraya mengambil air dingin yang berada di kulkas.

Harvey saat ini sedang duduk di sofa sembari menonton tayangan televisi. Bibirnya menyeringai tipis lalu mulai berkata, "terus lo gak bantuin?"

Kevan menaikkan salah satu alisnya. Kemudian, kakinya mulai melangkah mendekat ke arah Harvey setelah menutup kulkas.

"Gue udah bantuin. Nih, lo liat sendiri apa yang gue dapet dari mereka," tunjuk Kevan ke arah bibirnya yang ternyata terdapat luka.

"Masa gitu aja lo nyerah, Van?" sindir Harvey menatap Kevan yang sudah duduk di sofa single.

"Lo diem, Vey. Gue sekarang males bahas masalah itu," geram Kevan karena ia juga merasa pusing akibat konflik internal yang tak terduga ini.

Harvey terdiam lalu matanya kembali fokus menonton televisi. Sesekali tawanya keluar karena ada adegan yang dirasanya lucu.

"Vey," panggil Kevan dan hanya dibalas gumaman oleh Harvey.

"Bukan lo 'kan yang nyebabin geng gue jadi kayak sekarang?" tuduh Kevan menjadikan Harvey yang tadinya tertawa langsung menolehkan kepalanya menatap Kevan dengan pandangan datar.

"Wah, sekarang lo nuduh gue, Van?" ucap Harvey terkejut akan pertanyaan dari Kevan.

"Gue gak nuduh lo, tapi gue tau kalau selama ini lo lagi balas dendam ke Ayanna," jelas Kevan memandang Harvey dengan pandangan bingungnya.

Harvey terkekeh sinis. "Padahal lo tau sendiri kelakuan tuh cewek sebenernya. Jujur sama gue, lo suka 'kan sama itu cewek?"

Kevan membulatkan matanya. "Vey, semenjak ketemu sama Ayanna gue gak pernah sekalipun taruh perasaan gue karena selama ini yang ada dipikiran gue itu lo."

Penjelasan dari Kevan membuat Harvey terdiam. Sejujurnya, ia sudah memprediksi jawaban ini. Harvey menatap Kevan yang sekarang tengah menatapnya sendu.

"Cepat atau lambat lo harus kebiasa sama kejadian kali ini, Van. Ini belum puncaknya. Lo tau 'kan gue megang semua bukti Ayanna?" ucap Harvey sebelum berlalu meninggalkan Kevan yang terdiam itu.

Kevan mengacak rambutnya. Helaan napas yang keluar dari bibirnya terdengar berat. Seakan ia sedang menghadapi masalah yang sangat berat kali ini.

"Gue cuma gak rela temen yang selama ini gue dukung jadi bego karna cewek."

Kevan sekarang benar-benar merasa kecewa. Entah apa yang akan dilakukannya sekarang. Rumah keduanya sepertinya sebentar lagi akan runtuh. Kevan juga tak bisa menyalahkan Harvey begitu saja, sebab ia juga menginginkan hari di mana Erlang membuka mata lebar akan fakta yang ada.

Hanya saja, Kevan tak menyangka jika hal tersebut dapat merusak pertemanan mereka selama hampir enam tahun. Kepalanya terasa akan meledak sebelum sebuah senyuman muncul ketika ia mendongakkan kepalanya.

"Surprise! Mommy pulang!"

♡♡♡



Thank you for vomment ^^

See u next page!

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang