Page Thirty Four

27.6K 1.6K 16
                                        

34. Kebenaran.

Suara kecupan terdengar pelan, membuat Thea memutar bola matanya dengan malas. Tanpa banyak pikir, ia mengambil earphone dari tasnya, memasangnya di telinga, dan mengalihkan pandangan ke depan. Di sebelahnya, Harvey hanya melirik sekilas ke arah Sean yang baru saja mengecup pipinya. Ekspresi Harvey tampak datar, nyaris malas menanggapi.

Sean seperti biasa tampak tidak peduli. Bahkan ketika mobil mulai melaju, pandangannya tetap tertuju pada Harvey yang sibuk dengan ponselnya. Sean seakan tidak pernah kehabisan alasan untuk mengamati gadis itu.

Bagi Thea yang duduk di kursi depan dan sang sopir yang fokus pada jalan, pemandangan ini bukan hal baru. Sudah beberapa minggu terakhir rutinitas itu terus berulang. Setiap kali Harvey naik ke dalam mobil dan sedang memasang sabuk pengaman, Sean selalu menyempatkan diri untuk mencium pipi Harvey. Awalnya mungkin terasa aneh, tapi lama-lama, semua terbiasa.

"Kemarin ada apa?" suara Sean memecah keheningan setelah sekian lama ia memandang Harvey.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, Harvey menjawab seadanya, "Cuma caper."

Sean mengangguk, seolah memahami maksud Harvey, meskipun tak ada penjelasan lebih lanjut. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap kepala Harvey. Sentuhan itu membuat Harvey perlahan merasa nyaman. Matanya mulai berat dan tanpa ia sadari, kantuk mengambil alih. Dalam hitungan menit, Harvey sudah tertidur pulas, sementara Sean tetap memandanginya dengan senyum kecil yang sulit diartikan.

***

Harvey memandangi sekelilingnya yang serba putih. Tidak perlu berpikir lama, ia tahu persis di mana dirinya berada sekarang.

"Harvey, terima kasih karena akhirnya kamu bisa mencapai ruangan ini lagi." Suara yang sangat akrab menyapa telinganya memecah keheningan.

Harvey mengernyit merasa aneh. "Kenapa gue harus ke sini?" tanyanya kebingungan bercampur curiga.

"Saya menjalani hukuman. Saya tidak bisa bertemu denganmu kecuali kamu sendiri yang datang ke tempat ini," jelas suara itu terdengar penuh penyesalan.

"Lo ngapain sampai kena hukuman?" Harvey bertanya, rasa penasaran mulai merayapinya.

"Saya dihukum karena tidak sengaja menukar jiwa kamu dengan jiwa Grace Aradina Diandra."

Mata Harvey melebar. Informasi itu seperti bom yang tiba-tiba meledak di kepalanya. Ia hanya terdiam, otaknya memproses fakta yang baru saja diterima.

Melihat Harvey yang tak bersuara, suara itu kembali berbicara, "Sebenarnya, saya ingin menjelaskan semuanya saat kita bertemu kemarin. Sayangnya, saya tidak punya waktu banyak karena kamu hanya menyukai Arsean, bukan mencintainya."

Harvey mengerutkan kening. "Kenapa jadi Sean?" tanyanya bingung.

"Kamu bisa mencapai ruangan ini karena kamu melakukan skinship intens dengan Arsean. Syaratnya sederhana: kamu hanya perlu mencintai takdirmu, Arsean, dan melakukan salah satu dari dua skinship intens, yaitu ciuman atau hubungan fisik."

Pipinya memerah mendengar penjelasan itu, meski raut wajahnya tetap datar. "Ini hidup gue! Kenapa syaratnya harus sama Sean?!" Ia menghardik, frustrasi dengan keanehan yang baru saja ia dengar.

"Karena takdirmu memang bersama Arsean. Itu sudah ditentukan sejak awal. Saya tidak bisa mengubahnya, karena jika takdirmu diubah, hukumannya akan lebih berat bagi saya," jawab suara itu tenang.

Harvey mendengus. "Jadi, gue udah ngulang hidup empat kali?" tanyanya suaranya mulai melemah.

"Benar," jawab suara itu lugas.

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang