Page Sixteen

26.8K 1.5K 5
                                    

16. Free

Langit gelap sudah menguasai malam, pertanda waktu telah beranjak ke tengah malam. Cahaya bulan adalah satu-satunya penerang. Di depan meja belajarnya, seorang gadis duduk sambil mencoret-coret kertas notebook, terdiam dalam pikirannya.

"Gue inget dia siapa," gumam Harvey sambil mengetuk-ngetukkan penanya ke meja.

"Sesuai artikel yang gue baca, Vicenzo, keluarga konglomerat nomor satu di dunia ini, penguasa atas dan bawah. Damn it!"

Ia mencatat dengan hati-hati informasi yang ia ingat. "Di novel, urutan keluarga berkuasa jelas: Vicenzo nomor satu, Vedra kedua, Vaden ketiga. Davies di posisi tujuh, Grayra kesepuluh, Alandy di sebelas. Keluarga Valley ada di urutan sembilan."

Harvey mendesah. "Antagonis dan figuran malah punya kekuatan lebih tinggi dari pemeran utama di sini. Agak aneh."

"Tapi posisi gue aman," lanjutnya menyadari bahwa ia punya pendukung kuat. "Sean bahkan mungkin rela mati kalo gue yang nyuruh," gumamnya mengenang sifat Sean yang bucin terhadap Harvey asli.

"Selama kehidupan kedua ini, gue gak pernah dapet ingatan apa pun dari Harvey asli. Gue udah sering berdoa setiap malam, tapi hasilnya nol. Berarti Harvey asli beneran udah hilang dan sekarang tubuh ini milik gue."

Harvey tersenyum miring, lalu berpikir tentang bagaimana hidup barunya berjalan. "Sean juga ganteng, perfect. Hidup gue di dunia ini bakalan lebih tenang. Kevan juga gak ada tanda-tanda naksir sama Ayanna. Keputusan gue buat pindah ke negara ini emang gak salah."

Harvey tersenyum lega. "Berarti gue udah bisa hidup bebas?"

Namun, senyum itu memudar digantikan tawa sinis. "Gue gak merasa bersalah soal Harvey asli. Salahin aja orang yang bawa gue ke dunia ini dan bikin takdir gue ribet. Udah tau gue orangnya mageran."

Harvey menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap notebook di depannya dengan perasaan lega. "All clear dan gue bakalan bebas."

Tapi sejenak kemudian dia meringis. "Tapi gue gak bakal bebas-bebas amat kalo masih terlibat sama Sean. Mau gak mau, gue harus belajar bela diri lagi."

Ia menghela napas panjang. Hidupnya yang pertama penuh ancaman dan kali ini sepertinya bakal sama saja. Kalau begitu, kenapa dia dihidupkan kembali?

"Ya udahlah, gue bakal hidup sesuka gue."

Setelah berkata begitu, Harvey bangkit dan berjalan menuju balkon untuk menyegarkan pikirannya, menatap langit malam dengan perasaan yang sedikit lebih ringan.

***


Pintu kamar Harvey terbuka dengan kasar, mengejutkan Harvey yang sedang melamun di balkon. Suara pintu itu terdengar jelas hingga ke balkon, padahal jaraknya cukup jauh.

"Aveyyy! I'm sorry!" teriak Thea sambil berlari cepat menghampiri Harvey. Mata Thea berkaca-kaca dan tanpa ragu, dia menggenggam tangan Harvey erat-erat.

Orang yang membuka pintu itu ternyata adalah Thea.

Harvey melepaskan tangannya dari genggaman Thea, lalu menyilangkan tangan dan menatapnya dengan tatapan serius.

"I'm sorry," ulang Thea dengan wajah penuh penyesalan. "Soalnya Kevan tiba-tiba nanyain lo, padahal gue baru keluar dari mobil dan mukanya serem banget."

"Bukan salah lo," ucap Harvey sambil kembali memandang pemandangan dari balkon. "Kevan udah tau dari bawahannya. Dia cuma nanya ke lo buat mastiin."

Thea menghela napas lega karena Harvey ternyata tidak marah.

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang