Page Fifty Five

16.8K 1K 56
                                    

55. Succes

Tawa cekikikan memenuhi ruangan kedap suara itu, bercampur dengan tepuk tangan kecil sebagai ekspresi kepuasan. Kevan dengan sorot mata tajam terus menatap layar monitor yang menunjukkan rencananya berjalan dengan sukses.

Suara pintu terbuka tak membuatnya terganggu. Langkah-langkah pelan mendekat, lalu sebuah tangan melingkar lembut di lehernya. Itu adalah Harvey, adik perempuannya, yang ikut mengarahkan pandangan ke rekaman CCTV yang sedang diputar di layar.

"Gimana?" Kevan bertanya sambil melirik sekilas.

"You did very well, Kev," jawab Harvey menahan senyumnya yang masih tersisa. Tawa kecil kembali lolos dari bibirnya.

Kevan tersenyum tipis, lalu menambahkan, "Gue juga naruh kamera di kamar. Lo tau sendiri itu cewek sama siapa."

Harvey mengangguk paham, wajahnya sedikit berubah serius. "Cowok sok polos itu ternyata main belakang juga, ya? Kalau temen-temennya tau, gimana menurut lo? Gue nggak sabar liat reaksi mereka."

"Hm...." Kevan bergumam pelan, tampak memikirkan sesuatu. "Kayaknya, mereka berdua bakal tamat hidupnya."

"Berapa hari lagi ke upacara kelulusan?" Harvey bertanya sambil menggerakkan mouse-nya, membuka folder berisi video dan foto yang mereka kumpulkan.

"Tujuh hari lagi," jawab Kevan santai, jarinya bermain-main dengan rambut Harvey yang kini sepenuhnya telah berganti warna menjadi hitam.

Harvey tersenyum kecil. "Ah, right. Besok kita ada class meeting, kan?"

Kevan mengangguk sambil mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Gueduluan, lo istirahat aja seharian ini. Besok udah sibuk."

"Good night." Harvey mengucapkan salam lebih dulu, yang segera dibalas oleh Kevan dengan nada hangat yang sama. Kevan berjalan keluar ruangan dengan langkah tenang, meninggalkan adiknya yang masih terdiam di depan layar monitor. Tatapan Harvey tak beranjak dari rekaman CCTV yang terus berputar, bibirnya menyunggingkan senyum kecil.

Namun, pikirannya mulai melayang ke masa lalu, ke sebuah rencana licik yang mereka susun. Sebuah peristiwa di taman belakang, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan berbahaya mereka.

"Inget, waktu gue kasih tanda, lo harus langsung jalan ke gue. Gelas yang udah lo kasih obat ada di kiri. Lo salah sedikit aja, abis di tangan gue. Paham?" Suara perempuan itu terdengar dingin, nadanya penuh ancaman.

Sosok di depannya hanya mengangguk cepat, wajahnya tegang. "Paham," jawabnya singkat.

"Nih," lanjut perempuan itu sambil menyodorkan sebuah amplop cokelat kecil.

"Terima kasih, saya pasti tidak akan lupa," balas pelayan itu mantap, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

"Gue percaya sama lo. Jangan bikin gue kecewa," ucap perempuan itu sebelum berbalik, meninggalkan taman belakang dengan langkah anggun. Tujuannya jelas: menghampiri kekasihnya, pria yang sebentar lagi akan resmi bertunangan dengannya usai kelulusan mereka.

Pelayan itu berdiri di tempat, membuka amplopnya perlahan. Matanya berbinar saat melihat isinya. "Mudah banget," pikirnya sambil tersenyum kecil. Hanya perlu melakukan perintah sederhana, dan uang sebanyak ini sudah di tangannya.

Namun, senyumnya tak bertahan lama.

"Balikin duit gue!" teriaknya panik. Pelayan itu mendongak dan melihat seorang pria berdiri di hadapannya, mengenakan setelan mahal yang tampak jauh lebih berkelas dibandingkan si perempuan tadi.

"Apa-apaan ini?" tanyanya bingung sekaligus marah.

Pria itu tidak menjawab langsung. Dengan gerakan santai, ia mendekat, menunduk sedikit, dan berbisik. "Lo tukar posisi gelas yang ada obatnya ke kanan dan gue kasih duit yang lebih banyak dari cewek tadi. Atau...." Pria itu menggerakkan ibu jarinya dari leher sisi kiri ke kanan, sebuah ancaman yang tak perlu penjelasan lebih lanjut. "Gue nggak main-main."

Gue Figuran? | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang