NVJ Part 34

593 91 12
                                    

Happy reading all 🥰

          Jangan lupa vote + comen ✨

Spam comen juga!!! Awas aja kalo enggak 🤧



     (Tandai kalo ada typo!)










"J-jika Mirza diberikan Hukuman Nya, bukankah Gadis itu juga harus diberikan Hukuman juga?"

Deg

Mirza langsung berdiri dari duduknya saat mendengar perkataan Umi Nya. Dengan cepat, Mirza langsung menghampiri sang Umi. Dia menekuk kedua lututnya sambil memegang tangan sang Umi.

"Tidak, Umi. Mirza mohon jangan hukum gadis itu, dia tidak bersalah." Mohon Mirza sambil menggelengkan kepalanya.

"D-disini Mirza lah yang salah. D-dan hanya Mirza yang pantas menerima hukumannya. Y-ya Mirza yang salah," Mirza mengangguk pelan.

Umi Mirza menatap anaknya dengan pandangan terluka, "Se sayang itu kamu sama dia, Nak? S-sampai-sampai kamu membelanya seperti ini."

Mirza menunduk, tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipinya. Sayang? Membela? Bukankah ini yang harus dia lakukan sebagai sosok kakak?

Lima tahun dia kehilangan hak sebagai seorang kakak yang gagal melindungi adiknya. Dan hanya karena dia ingin melindungi posisi adiknya agar aman, sudah di katakan sayang?

Bahkan dia berfikir, jika ini belum ada apa-apanya untuk menembus kenangan lima tahun yang kosong.

Umi mengikuti Mirza yang tertunduk di lantai. Dia mengusap kepala Mirza dengan sayang. Dia juga membuat wajah sang anak mendongak untuk menatapnya.

Dia tertegun saat melihat air mata yang jatuh itu. Dengan tangan yang gemetar, dia mengusap lembut air mata Mirza.

"Umi tidak sanggup melihat mu mengerjakan hukuman itu, Nak. Umi tidak mau melihat anak Umi terluka."

Mirza menggeleng sambil mengambil tangan sang Umi yang berada di wajahnya. Dia menggenggamnya, "Mirza salah. Jadi biarkan Mirza menanggung nya. Apa yang dikatakan Arvi benar Umi, hukuman di dunia tidak se menyeramkan hukuman di akhirat. Jadi, Biarkan Mirza melakukannya. Dan Mirza mohon, jangan bawa-bawa gadis itu Umi. Dia ... Tidak bersalah."

Umi langsung memeluk tubuh tegap Mirza. Apa yang suami dan anaknya katakan benar. Tapi, apakah tidak ada cara lain selain mencambuk tangan?

Umi melepaskan pelukannya saat teringat sesuatu, "Bukankah Allah maha pengampun? Kenapa Mirza tidak mohon ampun saja kepada Allah? Tidak perlu menyakiti diri bukan?"

Umi menoleh kepada Mirza dan suaminya.

Suaminya menghela nafas pelan, "Ini hanya peringatan keras agar Mirza tidak mengulangi kesalahannya lagi, Umi."

"Tapi apa harus hukum cambuk?"

Suaminya menggeleng, "Tidak. Menikah juga lebih bagus."

Mirza langsung menggeleng, "T-tidak. B-biarkan Mirza mencambuk tangan Mirza dan solat taubat kepada Allah."

Abi mengangguk. Dia cukup puas mendengarnya.

"Tapi nak--"

"Hanya lima puluh puluh cambukan, Umi."

Mata Umi langsung melotot, "Tidak! Sepuluh!"

Mirza tetap kekeh dengan pendiriannya. Sedangkan Umi masih dilanda ke khawatiran.

"Oke, dua lima?" Kata Umi yang masih dibalas gelengan oleh Mirza.

"Ini bukan pasar yang bisa tawar menawar, Umi." Ujar Mirza.

NANAS vs JAMBU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang