005

65.6K 784 5
                                    

Sejujurnya aku tau semalam adalah pertama kalinya untuk Adhara. Namun, entah mengapa mulut ku ini mengeluarkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku keluarkan. Padahal kemarin aku melihat dengan jelas noda darah milik Adhara di tempat tidur.

Jelas Adhara tersinggung dengan apa yang aku katakan, apalagi sampai menjelekkan mama. Tapi aku sama sekali tidak menyesal. Karena tujuanku hanya untuk membuatnya mengerti, bahwa apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak seharusnya.

Sintia, apa yang ia lakukan sebagai seorang ibu? Apa mengawasi satu anak perempuannya itu begitu sulit hingga membuatnya lengah? Selama ini, Adhara yang aku pikir gadis pendiam dan lugu ternyata juga bisa terlibat dengan hal-hal liar seperti itu.

Dari apa yang ku pahami, Adhara memberi alasan untuk menginap di rumah Marissa. Maka mulai sekarang aku akan membatasi pertemanan mereka! Jelas Marissa yang membantu Adhara untuk melakukan hal-hal nakal itu.

Aku melihat Adhara menuruni tangga, hingga kemudian ia berhenti dihadapan kami yang sedang duduk santai di ruang keluarga. Ada aku, papa dan mama.

"Pa, ma, Adhara izin ke rumah Marissa ya"

"Tidak."

Sialan, mengapa refleks ku begitu buruk?! Satu kata yang aku ucapkan itu jelas membuat papa, mama dan Adhara menatapku secara bersamaan.

"Hahh..." Aku menarik nafas dengan mata terpejam, merasakan sakit kepala untuk sesuatu yang entah apa.

"Abang yang nganter" ujarku akhirnya.

Aku dapat melihat dengan jelas keterkejutan papa dan mama atas apa yang aku katakan. Namun biarlah, Aku tidak bisa membiarkan Adhara terus bergaul dengan temannya yang tidak benar.

"Enggak mau!" Ujar Adhara tegas.

"Loh kenapa sih Dhar? Gapapa dong. itu Abang kamu udah baik mau nganterin." Mama tampak membujuk anak perempuannya, rasanya ia terlihat senang melihat ku yang mencoba akrab dengan Adhara.

"Mama..." Rengek Adhara, mencoba membuat mama mengerti bahwa ia tidak ingin diantar oleh ku.

Namun disinilah kami berakhir, dalam sebuah mobil yang untuk kedua kalinya hanya ada aku dan Adhara saja disini.

Karena bagaimanapun Adhara merengek, mama dan papa tetap memaksanya untuk ikut denganku. Mungkin mereka takut kehilangan momen langka seperti ini, momen dimana aku dan Adhara melakukan interaksi.

"Kenapa sih jadi sok baik. Udah Adhara bilang lupain aja semuanya dan hidup kayak biasa."

Aku tetap diam dan fokus menyetir. Banyak hal yang sebenarnya ingin aku katakan.

"Abang yang bilang Adhara udah sering main kan? Satu kali main sama orang random gak akan berpengaruh apa-apa di hidup Adhara, walau itu Abang sekalipun!"

"Abang juga gitu dong! Jangan berperilaku seolah-olah kejadian kemaren mempengaruhi Abang. Kita sama-sama udah gede kok, semuanya bakal baik-baik aja kalau kita lupain."

Melihat aku yang masih tidak memberikan respon membuat Adhara melanjutkan kalimatnya. Sungguh ini menjadi momen yang tidak terbayangkan olehku, Adhara yang pendiam itu juga bisa mengoceh panjang-lebar ternyata.

"Maaf" kata itu yang akhirnya aku ucapkan, membuat Adhara memandang jengah ke arah ku.

"Yaudah, sekarang Abang udah tau Adhara gak suka Abang kaya gini. Jadi mulai sekarang stop ya!"

"Enggak, saya bukan minta maaf untuk itu. Saya minta maaf karena apa yang saya ucapkan ke kamu itu gak benar. Saya tau itu pertama kalinya untuk kamu, dan jelas itu membuat saya semakin merasa bersalah."

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang