026

19.6K 373 11
                                    

"Adhara, kamu ngapain sayang kok lama banget keluarnya?" Sintia mengetuk kamar putrinya, mengetuk beberapa kali untuk mendapatkan jawaban.

"Masuk aja ma"

Mendengar hal itu Sintia tidak ragu untuk membuka pintu kamar putrinya. Dilihatnya Adhara masih berbaring di tempat tidur dengan memunggunginya.

"Loh kamu kenapa, bukannya masih harus sekolah?" Tanya Sintia dengan lembut.

"Maa, Adhara kayanya gak sekolah dulu deh."

Betapa terkejutnya Sintia ketika Adhara membalikkan tubuhnya. Wajah anaknya itu pucat, terdapat lingkaran hitam dibawah matanya, jangan lupakan juga dengan kondisi matanya yang cukup bengkak dan merah.

"Kamu kenapa sayang, sakit?" Adhara menggeleng, setelah di cek pun memang tubuhnya tidak panas.

"Adhara kayanya kecapean deh ma. Semalam begadang juga kan ya. Boleh gak sekolah dulu ya?"

"Yaudah gapapa istirahat aja di rumah. Jadi kamu mau ikut sarapan di bawah atau gimana?"

"Adhara sarapan disini aja ya ma?"

"Oke, nanti mama bawain ya. Kamu bersih bersih dulu gih sana." Adhara mengangguk sebagai jawaban.

Sintia tidak tau apa yang sebenernya terjadi. Apa yang sudah Ian lakukan pada Adhara hingga membuatnya begadang. Dan lagi apa yang membuat mata Adhara bengkak adalah dirinya yang terus menangis dan baru dapat tertidur ketika fajar hampir menyingsing.

"Adhara mana ma?" Tanya Brian ketika Sintia tiba di ruang makan.

"Adhara gak mau sekolah pa, kecapean katanya. Ini mama mau bawain makanan dulu buat dia." Jawab Sintia.

"Ma, boleh Ian yang bawa makanannya untuk Adhara?" Tawar Ian.

"Eh, kamu gak buru-buru berangkat kerja?"

"Enggak kok. Kebetulan Ian juga udah selesai sarapan. Jadi mama bisa sarapan aja dulu sambil nemenin papa, biar Ian yang bawain makanan Adhara."

"Oke bentar mama siapin dulu makannya ya."

Tak lama kemudian Sintia menyerahkan nampan berisi nasi goreng, roti bakar, apel, susu, dan air putih pada Ian. Agar Adhara dapat memilih sendiri makanan apa yang akan ia makan. Tanpa berlama-lama Ian menaiki tangga menuju kamar dimana Adhara berada.

Adhara dibuat terkejut, karena bukannya sang mama tapi justru sosok yang sangat tidak ingin ia lihat yang justru membawakan sarapannya. Adhara membuang mukanya, seolah tidak melihat kehadiran sosok tersebut.

"Mau makan sendiri atau saya suapin?" Tak kunjung mendapatkan jawaban Ian memilih untuk duduk disamping Adhara di tempat tidur.

Adhara menjauh, ia bergerak mundur menghindari Ian. Ian yang awalnya sempat ingin menyendokkan makanan untuk Adhara pun urung. Kemudian meletakkan nampan itu diatas nakas. Memandangi Adhara sejenak, Ian menarik nafas dalam.

"Maafin saya."

Mendengar hal itu Adhara menoleh sejenak, menatap wajah Ian. Pandangan laki-laki itu memang tampak menyesal, tapi bukan berarti Adhara bisa menerima begitu saja apa yang sudah Ian lakukan padanya semalam.

Ian meraih tangan Adhara, mencoba untuk terus mengucapkan kata maaf. Adhara yang tersentak berusaha memberontak, mencoba melepaskan genggaman Ian di tangannya. Ian tidak gentar, ia menggenggam tangan Adhara cukup erat tanpa menyakitinya.

"LEPAS! LEPASIN, JANGAN PEGANG GUE!" Adhara yang terus memberontak membuat Ian memberanikan diri memeluk tubuh wanita itu. Dan ya, Adhara berhenti melawan. Kini ia menangis di dalam dekapan Ian.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang