Adhara bersenandung riang di kamarnya. Tangannya tidak berhenti untuk terus bergerak, memasukkan satu per satu barang kedalam kopernya. Ia sudah memutuskan, bahwa ia dan keluarganya akan berlibur ke Raja Ampat.
Siapa yang tidak tau Raja Ampat? Pasti semua orang mengetahui nya.
Raja Ampat merupakan surga yang berada di wilayah Indonesia timur. Sebuah Kepulauan di Papua Barat yang berada di ujung barat laut pulau Papua tepatnya. Dikenal sebagai tambang emas bagi para penggila petualangan. Dan Adhara yakin, pilihan destinasi ini juga pasti cocok untuk liburan keluarganya.
Tidak perlu terlalu banyak persiapan, karena keluarga kecil itu kini sudah siap untuk melangsungkan liburan mereka. Terbang menuju ke Raja Ampat. Sementara mereka berlibur, renovasi kamar Adhara akan tetap dilanjutkan, sehingga ketika kembali nanti, kamar Adhara sudah siap untuk langsung ditempati.
Brian sudah menyewa villa untuk liburan mereka selama seminggu kedepan. Villa indah dengan pemandangan yang luar biasa indah. Brian tidak akan tanggung tanggung jika terkait soal keluarganya, itulah mengapa ia menyiapkan liburan sebaik mungkin untuk mereka.
Setelah tiba di sana, mereka langsung berkeliling, selama seharian penuh yang tentunya menguras banyak tenaga. Hingga ketika malam hari tiba, mereka semua kelelahan hingga bahkan tak sempat untuk sekedar merapikan barang bawaan mereka.
Villa yang mereka tempati ini hanya memiliki dua kamar, karena itulah Sintia tidur bersama Adhara dan Brian bersama dengan Ian. Adhara senang sekali dengan hal ini, karena sudah sangat lama sejak terakhir kali ia tidur bersama sang mama.
Berbeda dengan semua orang yang sudah tertidur, Ian justru masih berdiri di balkon memandangi keindahan langit malam raja amat. Tidak, dia tidak benar-benar memandangi langit, itu hanya pelarian untuk pikirannya yang rumit.
Ian bingung dengan hati dan pikirannya yang berantakan. Ia merasa dirinya begitu labil untuk berani mengambil satu keputusan mutlak. Ia tidak siap untuk melepaskan salah satu dari pilihan yang ada dihadapannya. Namun rasanya, ia pun juga tidak bisa terus-terusan seperti ini. Terus terbawa dua arus berbeda yang saling bertentangan.
Ian tidak ingin Adhara terseret dalam kerumitan perasaannya. Namun nyatanya Adhara adalah alasan untuk kerumitan yang ia alami itu. Masa depan Adhara masih terlalu panjang untuk memenuhi ego Sebastian. Ian tau itu.
Namun jika harus melepas Adhara ia juga amat sangat tidak sanggup setelah apa yang sudah mereka lalui.
"Kenapa kamu?" Suara itu cukup mengejutkan Ian, namun tubuhnya masih mampu untuk tidak bereaksi.
"Gak papa, lagi nyari udara segar aja. Papa bukannya udah tidur?" Jawab Ian.
"Hah, gimana mau tidur nyenyak, itu asap kamu ganggu." Ujar Brian sinis.
"Hahaha, sorry."
"Sejak kapan kamu begini?" Ian melirik rokoknya yang masih setengah, dan kemudian memilih untuk mematikan dan membuangnya. Ian tau maksud dari pertanyaan itu adalah tentang dirinya yang merokok.
"Udah lama" jawab Ian santai.
"Kenapa papa gak pernah tau?"
"Pakenya kadang-kadang doang kalau Ian lagi butuh."
"Jadi sekarang kamu lagi butuh? Kenapa?" Pertanyaan Brian itu membuat Ian diam hingga kemudian dia menggeleng.
"Enggak ah bukan apa-apa, lagi suntuk aja sekarang."
"Ian..." Nada Brian yang merendah dan berubah jadi serius membuat Ian menoleh ke arah sang papa.
"Kamu sudah dewasa, dan papa percaya kalau kamu sudah bisa membedakan mana yang boleh dan tidak boleh kan?" Mendengarnya Ian menarik nafas dalam, membuat kepalanya menjadi berdenyut.
"Makanya aku tau kalau aku sama Adhara boleh pa. Kami gak sedarah!"
"Sebastian!" Brian sedikit meninggikan suaranya, tidak percaya bahwa putranya secara terang-terangan mengungkapkan hal itu.
"Salahnya dimana pa?" Suara rendah Ian, menandakan dirinya yang hampir frustasi.
"Papa memang pernah mengatakan akan menerima apapun keputusan kamu, dan siapapun wanita pilihan kamu. Tapi bukan berarti harus Adhara nak. Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan mama jik-"
"Ck, Sintia lagi." Ian membuang muka kesal. Bisa dibilang ia merasa muak sekarang.
"Sebastian, sampai kapan kamu begini terus? Harus nunggu berapa lama lagi supaya kamu bisa nerima Sintia?"
"Aku udah nerima dia sebagai istri papa, tapi sampai kapanpun dia tetap tidak akan bisa menggantikan mama." Kini Brian yang menghembus nafas kasar, lelah dengan sikap anaknya.
"Papa harap kamu bisa pikirkan kembali perasaan kamu itu. Jangan sampai karena rasa penasaran sesaat kamu sambai bikin keluarga ini jadi berantakan." Ujar Brian dan kemudian meninggalkan Sebastian sendirian disana.
_________
"Selamat pagi mama, selamat pagi papa..." Adhara yang baru keluar dari kamar menyapa orangtuanya yang sudah duduk di meja makan, memberikan kecupan di pipi mamanya dan memeluk tubuh kekar sang papa.
"Ih bau Iler kamu tuh, sikat gigi dulu sanaa" Canda Sintia yang justru diladeni Adhara dengan menghembus nafas di depan Sintia, memberikan bau Iler yang dikatakan oleh mamanya.
"Loh, Abang mana? Belum bangun kah? Kirain Adhara yang paling lambat bangun."
"Kenapa nyariin, kangen?" Ledek Ian yang baru saja keluar dari kamar mandi, dan kemudian Adhara berlari ke arahnya, memeluk tubuh abangnya itu.
"Widih Abang udah mandi..." Adhara memeluk Ian dan kemudian menghirup aroma tubuh pria itu, "wangi" lanjutnya.
Brian hanya mampu melihat interaksi dua anaknya tanpa memberikan komentar apapun. Senyum dan kebahagiaan yang ditampilkan istrinya membuat Brian tidak tega menghentikan interaksi mereka.
"Mimpi apa kamu Dhar, pagi pagi gini udah manja manjaan aja." Ucap Sintia membuat Adhara tertawa.
"Hehe, gapapa ma. Adhara seneng aja tau, akhirnya bisa liburan bareng kaya gini. Kapan lagi ya kannn." Sebenarnya Adhara punya alasan lain untuk kebahagiaannya pagi ini, tapi ia memutuskan untuk tidak mengatakannya terlebih dulu.
"Yaudah duduk dulu deh, ini bentar lagi roti bakarnya selesai." Ucap Sintia.
"Okey dokey!" Adhara berlari kecil untuk kembali ke meja makan dan kemudian mengambil tempat duduknya. Seperti biasa, Ian duduk disampingnya.
Roti bakar buatan Sintia sudah tersaji dan siap disantap. Dan kini, wanita keibuan itu beralih menyiapkan minuman hangat untuk keluarganya. Coklat panas menjadi pilihan mereka pagi ini.
"Ih, Abang kok mukanya lesu? Itu juga matanya hitam. Abang gak tidur ya?!" Adhara baru saja ingin memandangi ketampanan pria disebelahnya, namun ia justru dibuat kehilangan fokus melihat wajah Ian yang tampak tidak seperti biasanya.
"Sok tau kamu. Itu rotinya dingin nanti." Ian mengalihkan topik, menyuruh Adhara untuk segera menyantap sarapannya. Hal itu membuat bibir Adhara mencebik dan akhirnya ia memutuskan untuk mulai melahap roti bakarnya.
"Habis ini kita lanjut keliling lagi kan??" Ujar Adhara penuh antusias.
_________
Dua ini dulu ya guys. Doain semoga bisa cepet cepet lanjut. Target aku juga sebenernya tamat sebelum Juli sih. Semoga tercapai yaaaaa.
Jangan lupa vote dan komen buat mood buat nulis aku nambah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother [END]
RomanceBaca aja sendiri Start : 25 Maret 2023 Finish : 25 Maret 2023 ⚠️⚠️ [Area Brother Sister Complex]