Ian menyadari ada yang tidak beres dirumahnya, namun memilih bungkam agar tidak merusak suasana hati Adhara yang tengah melepas rindu dengan rumah dan mama nya.
"Ayo Ian mau sarapan apa? Adhara mau apa nak?"
"Adhara kangen nasi goreng seafood mama. Emm tapi sebenernya Adhara kangen sama semua masakan mama sih, gak ada yang seenak masakan mama." Jawab Adhara antusias.
"Ian bebas aja ma. Kan yang udah lama gak makan masakan mama Adhara."
"Oke deh, mama masak dulu, kalian istirahat aja dulu sambil nunggu."
"Adhara mau bantuin mama ajaa"
"Ian kedepan ya ma." Ucap Ian yang kemudian berlalu menuju halaman depan rumah, ia ingin bersantai sejenak di teras.
Di saat kondisi Ian yang duduk sendiri seperti ini, pikirannya kembali penuh akan masalah yang saat ini harus ia hadapi. Kehamilan Adhara sebenarnya jelas bukan masalah yang mudah, namun Ian hanya berusaha menepiskan segala ketakutannya dan meyakinkan Adhara bahwa mereka bisa melalui semuanya bersama.
Menyadari Adhara dan mama yang mungkin sedang sibuk di dapur, Ian memutuskan untuk menghisap rokoknya sejenak. Mungkin hal itu dapat melepas sedikit jenuhnya.
Pikiran Ian kacau. Berbagai kemungkinan berkecamuk di kepalanya. Pelan-pelan Ian menghisap rokoknya dengan menutup mata, mencoba meresapi rasa nikotin yang terhirup disana. Setelah seperkian detik kemudian ia melepaskan asap rokoknya, membiarkannya mengudara di sekitar.
"Ian?"
Meski sedikit terkejut, Ian mencoba biasa saja ketika panggilan itu terdengar olehnya. Melihat Brian yang tengah berjalan dari garasi mendekat ke arah Ian menuju pintu rumah.
"Kapan kamu pulang?" Tanya Brian, mendudukkan dirinya di samping putranya itu.
"Baru aja sampai pa."
"Masalah apa lagi?" Tanya Brian terus terang. Jelas dia menyadari anak nya tidak baik-baik saja jika sedang merokok seperti sekarang ini.
Ian mengangkat bahu acuh, tidak menjawab pertanyaan Brian sama sekali. Ian memang akan memberitahukan orangtuanya, tapi hal itu jelas tidak dalam kondisi seperti ini.
"Ian, ayo makan, nasi goreng nya udah jadi," ujar Sintia yang baru datang dari dalam rumah, hendak menghimbau Ian untuk makan dan saat itu pula lah didapatinya sang suami yang juga tengah duduk disana.
"Ah papa udah pulang, ayo makan sekalian." Ucap Sintia meski tampak kecanggungan dalam nada nya. Melihat hal itu semakin menguatkan keyakinan Ian bahwa orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.
Tidak ambil pusing, semua orang termasuk Brian memilih untuk berjalan menuju meja makan. Menikmati sarapan sekaligus menyambut Adhara yang baru saja pulang setelah sekian lama.
"Ma, pa, ada yang ingin Ian bicarakan setelah ini." Ucap Ian cukup serius, ketika semua orang telah menyelesaikan sarapan mereka. Sintia dan Brian menatap bingung, pasalnya Ia hanya perlu mengatakan apa yang ingin ia katakan tanpa perlu membuat suasana menjadi serius seperti ini.
Sementara itu, di tempat duduknya Adhara terpaku. Gerak jantungnya berpacu tidak normal. Berdetak lebih cepat daripada biasanya. Ia ketakutan dan tidak siap jika Ian harus mengatakannya secepat ini. Setidaknya, sebelum menghadapi kemarahan orangtuanya, Adhara ingin terlebih dahulu melepaskan rindu bersama mereka.
"Tidak disini, ma, pa. Ini bukan sesuatu yang bisa dibicarakan di meja makan." Mendengarnya bertambahlah kebingungan Sintia dan Brian, namun karena rasa penasarannya mereka pun menuju ruang tengah, dengan tidak sabar menanti apa yang akan dikatakan oleh anak sulung mereka.
"Bang," Adhara menarik lengan Ian, menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia belum siap dengan hal ini. Sementara Ian hanya tersenyum hangat dengan menggenggam tangan Adhara, berusaha meyakinkan Adhara bahwa mereka mampu melalui ini semua.
"Ada apa Ian? Kenapa serius sekali?" Sintia bertanya tidak sabar.
"Duduk dulu ma, pa. Ini pasti akan mengejutkan, tapi kalian perlu tau hal ini." Mendapatkan jawaban Ian yang tampaknya memang benar-benar serius, Brian dan Sintia pun mengambil tempat duduk, yang tanpa mereka sadari kini mereka duduk berdekatan, melupakan bahwa sebelumnya keduanya terlibat perang dingin.
Setelah Brian dan Sintia telah terlihat nyaman dengan duduknya, Ian dan Adhara menyusul untuk duduk juga. Jelas Adhara amat ketakutan, akan tetapi melihat Ian yang tampak yakin Adhara pun menguatkan hatinya dan mencoba percaya pada pria itu. Setelah menarik nafas cukup dalam dan berhasil menenangkan hati dan pikirannya, Adhara memutuskan untuk mengatakannya sendiri, tidak ingin menggantungkan kesalahannya bersama Ian pada Ian seorang saja.
"Mungkin mama dan papa akan kecewa sama Adhara, tapi Adhara harus jujur dan mengakui semua ini." Mendengar kalimat Adhara yang terjeda Brian dan Sintia semakin penasaran, hal mengecewakan seperti apa yang sebenarnya dilakukan Adhara.
Adhara menghentikan Ian ketika pria itu terlihat akan angkat bicara. Adhara ingin mengatakan hal ini dengan mulutnya sendiri.
"Adhara hamil."
Dua kata itu memberikan hening yang mendalam pada keluarga itu. Sebelum akhirnya suara tamparan keras menggema, membuat tiga orang lainnya selain pelaku yang menampar Adhara tercengang.
Adhara memegang pipinya yang panas akibat tamparan mama nya. Pipinya pedih, namun hatinya lebih pedih lagi mendapati bahwa dirinya telah membuat sang ibu sedemikian murka. Tidak pernah sekalipun Adhara mendapatkan perlakuan kasar dari Sintia selain daripada hari ini. Baik Adhara maupun Sintia, tidak ada yang berhasil menahan air matanya, air mata kedua wanita itu mengalir deras, menggambarkan luka pada diri masing-masing.
"Mama membesarkan kamu dengan begitu baiknya, dan ini balasan kamu?! Kamu pergi belum lama Adhara, bagaimana bisa hal seperti itu kamu lakukan!! Dasar tidak tau diuntung!"
Sintia jelas murka. Terlebih lagi, masalah satu per satu tidak henti-henti menghampiri kehidupannya. Kini ia sampai pada titik terendahnya. Ia merasa benar-benar gagal dan semua ini adalah karma akan semua kesahalannya di masa lalu.
Sintia menangis histeris, membayangkan isi pikiran Brian yang pasti akan semakin merendahkan dirinya dan anaknya. Kata-kata seperti buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, seorang pelacur juga melahirkan pelacur lainnya, menggambarkan dengan jelas bagaimana hubungannya dengan sang anak saat ini. Orang-orang akan semakin mengucilkan dirinya, dan yang pasti semua hinaan itu sekarang tidak hanya untuk dirinya, tapi juga mengarah kepada putri semata wayangnya.
Berbanding terbalik dengan Sintia yang mengarahkan amarahnya pada Adhara, Brian justru kini berdiri menjulang menghadap sang putra yang duduk ditempatnya. Tangan Brian mengepal penuh amarah, urat-urat tubuhnya yang terlihat menjadi bukti seberapa besar amarahnya saat ini.
Dengan sekuat tenaga, ditariknya kerah baju Ian, sang ayah itu mengangkat dan kemudian melempar putranya kesamping. Dalam keadaan marah seperti ini, semuanya terasa ringan dan mudah. Dengan membabi buta Brian melemparkan tinjunya pada Ian, kanan dan kiri, terus menerus tanpa henti sampai akhir Adhara dan Sintia berhasil menghentikan pergerakan pria itu.
Ian sendiri hanya diam, memasrahkan dirinya untuk menerima semua pukulan yang memang pantas dia dapatkan. Dengan hanya kalimat singkat dari Adhara, tanpa perlu waktu untuk berpikir, Brian jelas langsung mengetahui siapa lelaki brengsek yang menghamili Adhara. Meskipun sebelumnya Brian sudah tau mengenai hubungan antara kedua anaknya, jelas saja Brian tetap tidak menyangka bahwa semuanya akan sampai sejauh ini.
Sekali lagi, masalah baru kembali menghantam rumah tangganya dengan Sintia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother [END]
RomanceBaca aja sendiri Start : 25 Maret 2023 Finish : 25 Maret 2023 ⚠️⚠️ [Area Brother Sister Complex]