031

15.2K 324 19
                                    

Adhara berlari meninggalkan semua orang di sana. Ia merasa kecewa dengan respon keluarga yang tidak sesuai ekspektasi nya. Melihat Sintia yang hendak mengejar Adhara, Brian menahannya.

"Biarkan saja ma. Adhara butuh waktu buat nerima penolakan kita. Kalau langsung dipaksa yang ada dia makin memberontak nanti."

"Tapi pa... Hahh ya sudahlah. Dia juga belum makan, pasti balik sendiri nanti," Gumam Sintia menenangkan dirinya.

Sudah sepuluh menit waktu berlalu, makanan mereka benar-benar telah selesai seluruhnya dan siap untuk disantap. Namun tak satupun dari mereka menyentuh makanan itu. Ketiganya sama-sama menunggu kedatangan Adhara.

"Pa, ini udah lima belas menit loh. Adhara gimana ya?" Sintia mulai cemas.

"Kita tunggu bentar lagi ya ma. Adhara gak mungkin berani pergi terlalu jauh." Brian masih mencoba berpikir positif dan menenangkan istrinya.

"Tapi pa, ini tempat asing loh. Mama takut Adhara kenapa-napa."

"Mama tenang aja, mending sekarang kita makan dulu deh yuk. Inget mama kan gak boleh telat makan." Akhirnya Sintia pasrah, menerima tawaran sang suami untuk menyantap makanannya.

Tidak hanya Sintia yang cemas, sebenarnya Ian sejak tadi hanya memikirkan Adhara saja. Ia tidak ingin terlalu gegabah untuk segera mencari Adhara disaat papanya secara terang-terangan mengetahui perasaannya. Bahkan ketika makanan sudah tersaji dihadapannya, Ian sama sekali tidak fokus.

Tiba-tiba sebuah ponsel berdering, mengejutkan ketiga orang disana. Suara itu berasal dari tempat duduk Adhara, segera Ian melihatnya, nama Zevan tertera disana. Namun bukan hanya itu, tas Adhara yang terletak di kursi mengalihkan pikiran Ian.

"Ma, Pa, Ian harus cari Adhara sekarang. Dia pergi tanpa bawa apa-apa." Mengerti kekhwatiran Ian, Sintia mengangguk setuju.

"Tolong ya Ian," ujar Sintia berharap sesuatu yang buruh tidak terjadi.

Ian terus berjalan, ia telah menyusuri seluruh area resort mereka, namun kehadiran Adhara sama sekali tidak terlihat. Hingga ketika Ian menunjukkan potret Adhara pada salah seorang pekerja di Lobby, ia mengatakan bahwa Adhara keluar dari area Resort.

Ian semakin panik, bergegas mencari Adhara. Meyakini bahwa Adhara tidak membawa sepeserpun uang, Ian percaya Adhara tidak berjalan terlalu jauh dari sini.

Sekali lagi, handphone Adhara berbunyi. Dengan masih nama Zevan yang tertera disana. Ian yang merasa tidak senang akan hal itu pun segera mengangkatnya.

"Hai..." Sapa seseorang diseberang sana dengan suara lembut, membuat Ian semakin tidak senang.

"Lagi sibuk ya?" Tidak mendengar jawaban apapun dari Adhara, Zevan melanjutkan berbicara.

"Lo gak bisa lihat jam kah? Ini udah malem, gak pantes cowok cewek telponan di jam segini. Apalagi untuk sesuatu yang gak penting." Jawab Ian ketus.

Zevan cukup kaget, namun mencoba biasa saja. "Eh haha, ini abangnya Adhara ya? Maaf bang." Tanpa menjawab apapun lagi Ian memutuskan sambungan telpon.

Ian hendak melanjutkan pencariannya sebelum akhirnya ia melihat Adhara di restoran yang ada di sebrang Ian berdiri. Tanpa sadar Ian tersenyum, menandakan kelegaan setelah akhirnya menemukan Adhara.

Dari kejauhan Ian tau Adhara sedang bersama seseorang. Sesekali Adhara tertawa dan tersenyum lebar. Adhara yang sulit akrab dengan orang asing, namun bisa tersenyum selebar itu sekarang lagi lagi membuat perasaan Ian tak senang.

Segera Ian melangkahkan kakinya, menyeberangi jalan menuju tempat Adhara berada. Ian semakin dekat dan samar-samar percakapan itu terdengar di telinganya.

"Jadi kamu gak suka bubur kacang hijau?" Pertanyaan dari Harry membuat Adhara mengangguk semangat.

"Jadi kalau misalnya mama masak itu, pasti harus bikin yang versi pulut hitam biar Adhara bisa makan juga. Eh, om Harry tau kan?"

"Hahaha, tau dong. Saya ini Indonesia tulen!" Adhara tertawa mendengar lelucon itu.

"Dhar." Suara berat itu sangat tidak asing di telinga Adhara. Membuat Adhara dan Harry sama-sama menoleh ke sumber suara.

"Kamu pergi gitu aja, bahkan handphone dan tas pun gak kamu bawa. Saya khawatir Dhar." Ian tidak begitu menghiraukan kehadiran Harry, ia hanya fokus pada adik perempuannya.

Adhara bangkit dari duduknya, menatap penuh harap pada Ian. Melihat wajah Ian yang tidak baik-baik saja membuat Adhara lupa bahwa pada awalnya ia lah yang sedang marah.

"Maaf ya ..." Adhara mengeluarkan suara melasnya, berharap Ian lulus dengan itu.

"Pacarnya yaaa?" Harry yang menyaksikan hal itu mencoba menggoda Adhara, membuat wajah Adhara memerah.

"Haha, bukan kok om. Oh iya, ini om Adhara udah ada uang sekarang," Adhara sedang mengeluarkan uang dari dompetnya ketika ucapan Harry menghentikannya.

"Udah gak perlu, saya ikhlas kok. Lagipula kamu bilang kita temenan kan sekarang? Masa teman begitu hahaha" Harry tertawa khas bapak-bapak mendengar perkataan yang agak lucu menurutnya. Adhara pun tersenyum.

"Om, Adhara takut dimarahin nih, keluarga Adhara juga pasti udah khawatir deh. Adhara duluan ya?"

"Oh ya, ya, silahkan..." Harry tersenyum ramah pada Adhara dan Ian, namun Ian hanya membalasnya dengan senyum formal.

Di sepanjang perjalanan kembali ke penginapan, Ian hanya diam dan tidak menggubris Adhara. Adhara yang merasa kesal terus-terusan diabaikan pun menghentikan langkah kakinya, dan ia mulai ngedumel.

Menyadari Adhara yang tak lagi berada disampingnya Ian pun ikut berhenti. Memutar tubuhnya dan memandang Adhara. Ian sempat menarik nafas dalam sebelum akhirnya berjalan kembali mendekati Adhara.

Ian memilih untuk memeluk wanita itu. Berharap Adhara berhenti kesal padanya. Ya, beginilah pria, saat ia marah pun akan selalu kembali luluh jika wanitanya mulai ngambek.

"Adhara udah minta maaf karena pergi gitu aja, tapi Abang malah nyuekin Adhara. Padahal kan Abang juga salah karena gak ngasih support buat Adhara..." Adhara bergumam didalam pelukan Ian.

"Iya, saya minta maaf yaa"

"Abang kenapa diam aja? Adhara gak sukaa"

"Kamu kenapa bisa sama om-om tadi? Gimana kalau dia orang jahat? Gimana kalau dia ada niat tersembunyi sama kamu? Saya takut Adhara, saya takut kamu kenapa-napa." Ian yang tadinya sangat marah namun memilih untuk berbicara dengan hati-hati.

"Om Harry baik kok. Buktinya Adhara gak kenapa-napa kan?"

"Sekarang kamu beruntung, gimana kalau ternyata kamu ketemunya sama yang jahat?"

"Maaf... Adhara janji gak bakal terlalu percaya lagi sama orang asing." Mendengar kegigihan Adhara membuat janji, Ian pun luluh.

Kini mereka berjalan beriringan dengan Ian yang terus merangkul Adhara dan Adhara sedikit menumpukan kepalanya pada tubuh Ian.

"Tadi Zevan nelpon." Ujar Ian tiba-tiba, Adhara memandang Ian dengan senyum liciknya.

"Cemburu yaa..." Ledek Adhara pada Ian.

"Iya." Jawaban dari Ian membuat Adhara tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat sekarang.

"Hahaha, Abang Abang tuh emang kadang suka overprotektif ya ke adek perempuannya." Sebenarnya kalimat itu Adhara keluarkan untuk menampar perasaannya sendiri, namun ternyata Ian juga dibuat tidak senang dengan itu.

Ian menatap wajah Adhara, dan Adhara pun balik menatap mata Ian. Dan Ian langsung mengecup bibir Adhara cukup lama. Adhara tidak menolak, ia memejamkan matanya merasakan kecupan Ian.

Tanpa sadar setetes air mata Adhara terjatuh. Ian yang menyadarinya segera menghapus air mata itu dengan tangannya. Ian sangat tau arti setetes air mata itu, dan karena itulah Ian maupun Adhara tidak melakukan percapan apapun bahkan hingga mereka tiba di villa mereka.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang