032

14.9K 318 8
                                    

Marissa dan Claudia mengajakku untuk bertemu hari ini. Ditinggal selama seminggu ini membuat mereka amat merindukan ku sepertinya. Tentu saja untuk yang kali ini aku tidak menolak untuk bermain, karena aku jelas juga merindukan mereka.

Seperti biasa, kami menghabiskan waktu disalah satu bar disini. Dan tampaknya kemampuan ku terhadap alkohol juga semakin meningkat. Entah mengapa aku bisa lebih menikmati suasana hari ini dibandingkan biasanya.

Oh ya, aku lupa mengatakan sesuatu. Kami tidak hanya bertiga saja disini, karena Zevan dan kekasih Marissa ikut bersama kami. Anggota kelompok kami sepertinya semakin bertambah. Bahkan dulu jarang sekali aku dan Claudia bisa bertemu dengan kekasih Marissa, namun setelah Zevan ikut bersama kami ia menjadi tidak segan juga untuk bergabung.

__________________

"Dhar, Zevan jam berapa kesini?"

"Hah, maksudnya ma?"

"Loh, dia gak ngomong sama kamu?"

"Soal apa ma, Adhara gak tau."

"Ituloh, mama udah bilang ke Zevan buat meeting hari ini. Dia kan mau mama jadiin brand ambassador restaurant mama." Mendengar hal itu Adhara diam sejenak.

"Kenapa harus Zevan sih ma, kan banyak model lain." Kening Sintia mengkerut.

"Loh, ya karena dia temen kamu Dhar, lagian bener kata Marissa sama Claudia. Dia itu model remaja, dan mama butuh pelanggan dari kalangan remaja juga kan. Selama ini tuh yang dateng ke restaurant kita jarang banget anak anak muda. Dengan begini kan restaurant kita bisa dikenal kalangan remaja."

Adhara menarik nafas sebelum akhirnya menjawab, "yaudah tersebut mama aja, tapi jangan libatin Adhara loh ya."

"Kamu kenapa sih, ada masalah sama Zevan?"

"Enggak ma, Adhara cuma risih aja. Kalau mama makin deket gini sama Zevan, Adhara jadi bingung nolaknya."

"Ck masalah ABG toh. Kalau kamu memang gak suka mama yakin Zevan bisa ngerti kok, gak harus sampe menjauh gini kan."

"Eh, btw mama inget om Harry yang pernah Dhara ceritain itu kan? Yang kemaren Adhara ketemu waktu di Raja Ampat." Adhara mencoba mengalihkan topik, ia tau mama nya tidak akan paham bahwa Zevan tidak sebaik yang ia pikirkan. Ada alasan yang jelas mengapa Adhara ingin menjauh darinya.

"Iya inget, kenapa tuh?"

"Nah jadi sejak seminggu lalu, setelah kita pulang darisana Adhara rutin komunikasi sama om Harry. Beliau bener-bener baik banget ma, seru juga orangnya. Nih Adhara ketemu Instagram nya terus kami chatingan sampai sekarang."

"Dhar, selera kamu bukan ..." Ucap Sintia menggantung, memandang curiga pada putrinya.

"Apaan sih ma! Enggaklah. Adhara seneng aja, kaya nambah keluarga lagi. Mama mau liat Instagram nya?"

"Mana sini mama mau liat," ujar Sintia sembari melirik handphone Adhara.

"Loh kok gak ada muka nya sih, mama kan mau lihat juga."

"Om Harry emang gak suka foto katanya. Semua postingan dia tuh pemandangan selama dia traveling doang. Keren ya ma, diusia segitu masih punya jiwa bebas buat berpetualang."

"Wow Dhar, ini sih perjalanan dia udah bener-bener jauh banget. Hitungannya udah keliling dunia dia ini." Sintia dibuat kagum melihat tempat tempat yang terlihat di postingan itu.

"Ya kan maa, Adhara pengen kaya om Harry deh."

"Apa katanya?" Tanya Sintia saat tiba-tiba notifikasi chat dari Harry berbunyi.

"Om Harry mau jalan-jalan kesini ma..." Adhara tidak percaya bahwa pertemuan singkat dengan Harry akan sampai sejauh ini.

"Dhar, kamu gak takut dia ..."

"Mama! Jangan negatif thinking gitu lah. Mama ketemu dulu deh sama om Harry, pasti mama bisa langsung percaya sama dia."

"Yaudah nanti kalau dia beneran jadi kesini, bilang sama papa dulu Dhar."

"Papa sama om Harry udah temenan tau ma. Papa pasti seneng lah. Udah ah Adhara mau ke kamar dulu. Inget ya ma, jangan bawa-bawa Adhara di urusan mama sama Zevan." Ujar Adhara kemudian bangkit dari sofa.

___________________

Setelah kembali dari liburan di Raja Ampat, keseharian ku berlangsung seperti biasa, sebatas rumah ke kantor, itu saja. Namun satu hal yang baik telah terjadi, yaitu, aku telah selesai.

Iya, aku selesai dengan semua sandiwara bersama Hani. Entah apa yang papa lakukan hingga masalah pertunangan itu tidak pernah lagi terdengar. Tapi aku tetap tidak bisa tenang sebelum mendapatkan penjelasan yang pasti. Itulah mengapa aku memilih berbicara langsung dengan Sintia.

Hari itu aku mendatanginya, dan untuk pertama kalinya aku berinisiatif untuk memulai pembicaraan dengannya.

"Ma, boleh aku ngomong sesuatu ma?" Ujarku mendekati mama yang sedang duduk dan menonton serial Netflix di televisi.

"Eh Ian, boleh dong." Dengan sigap ia merespon ucapanku dan segera mematikan siaran TV itu, duduk dengan menghadap ke arahku.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanyanya lagi melihat aku yang tak kunjung memberi jawaban.

"Ma, ini soal Hani. Aku mau bilang ke mama kalau aku gak suka sama Hani, dan aku mau perjodohan perjodohan ini cukup sampai disini."

Setelah aku menyelesaikan kalimat ku, Sintia bukannya menjawab ia justru hanya tersenyum hangat menatapku. Tatapan yang selalu ia berikan pada Papa dan Adhara juga ia berikan padaku. Tatapan penuh kasih sayang itu.

"Mama seneng deh kalau kamu bisa terus terang gini ke mama. Semuanya tergantung kamu Ian. Kamu yang menentukan siapa yang bisa menjadi bahagia kamu."

Jujur aku sangat terkejut dengan respon Sintia. Aku pikir paling tidak akan terjadi sedikit perdebatan diantara kami, namun nyatanya, Sintia dengan tangan terbuka dan senyum lebarnya itu menerima setiap keputusan ku.

__________________________

Hai guysss...
Maaf ya baru update lagi hehe.
Disini aku pelan-pelan mau memperbaiki plot hole di cerita ini. Maklum ya ceritanya memang tidak terstruktur alias spontan, apalagi nulisnya juga banyak rentang waktunya, jadi kadang ada bagian yang terlewat.

Coba deh kalian kasih tau aku disini kalau misalnya ada hal-hal yang belum terjawab atau masih gantung di part part sebelumnya.

Aku niatnya mau baca ulang sih, tapi kayanya malah buang waktu deh, jadi mending lanjutin nulis aja biar cepat selesai dan revisi kemudian hehehe.

Aku tunggu yaaa.
Jangan lupa vote dan komen!

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang