007

52.2K 709 8
                                    

"Adhara, apa-apaan semua ini?!" Sintia, memandang tak percaya pada anak perempuannya yang kini hanya mampu tertunduk.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Adhara dan Sebastian sampai di rumah. Yang tidak mereka sangka, Sintia dan Brian menunggu mereka di ruang tamu dengan cemas.

Bagaimana tidak cemas, Adhara dan Ian pergi dari siang hari hingga tengah malam begini masih belum pulang juga. Izinnya untuk main ke rumah Marissa namun ketika Marissa dihubungi ternyata Adhara tidak ada disana. Dengan handphone keduanya yang tidak mengangkat telepon membuat sepasang suami istri itu jelas merasa cemas.

Dan ketika akhirnya Adhara bersama Sebastian sampai di rumah, pemandangan di depan matanya justru membuat Sintia semakin marah.

"Siapa yang ngajarin kamu boros? Dan lagi, ini semua Ian yang bayar kan? Kamu sengaja ingin meras Abang kamu ya Dhar?" Sintia masih tidak habis pikir, tak percaya anaknya dapat melakukan hal seperti itu.

"Gak papa ma, emang Ian yang mau beliin kok," Ucap Sebastian, membela adiknya yang kini sedang dimarahi.

"Ian, apa kamu gak sadar lagi dimanfaatin adik mu itu? Adhara gak pernah kayak gini sebelumnya. Dia pasti sengaja ingin mau ngerjain kamu."

"Abang aja gak marah kok," cicit Adhara dengan masih menundukkan kepalanya.

"Adhara, bercanda juga ada batasnya, kamu tau itu kan. Berapa banyak duit Abang yang kamu habiskan?" Sintia kembali beralih pada Adhara.

Memijat pelipisnya yang agak pening, Sintia menggeleng pasrah dan mendudukkan dirinya di sofa. Brian datang memberikan segelas air pada istrinya.

"Papa senang jika kalian mulai saling mendekatkan diri setelah sekian lama. Tapi Ian, gak kayak gini caranya. Papa mendidik Adhara selama ini bukan untuk menjadi anak yang manja dan boros. Jadi papa harap kamu bisa ngerti untuk gak terlalu manjain dia." Brian memberikan pengertian pada putra sulungnya, yang diberi tahu hanya mengangguk.

"Pokoknya kamu mama hukum, tidak akan ada uang jajan selama satu bulan!"

Kalimat itu bagaikan petir di siang bolong. Adhara jelas tidak akan bisa bertahan hidup tanpa uang jajan dari mama nya.

"Ma, jangan kayak gitu juga dong," ujar Brian pada istrinya.

"Biarkan saja pa. Mama yakin semua belanjaannya saat ini setara dengan uang jajannya selama satu bulan. Jadi ini cukup setimpal."

"Mama!" Adhara yang kesal segera berlari ke kamarnya.

Adhara benar-benar sangat marah. Bagaimana bisa mamanya melakukan hal seperti itu? Apa Adhara harus menjelaskan alasan yang sebenarnya? Tapi tentu saja tidak!

Adhara yakin jika Sintia mengetahui semuanya, kemarahan itu pasti tidak hanya akan ditujukan padanya saja tapi Ian juga.

Bagaimana cara membuat mamanya mengerti? Bahwa Adhara melakukan semua ini karena abangnya yang gila. Apa yang mereka lakukan malam itu jelas tidak seharusnya, akan tetapi tidak cukup sampai situ saja, Sebastian bahkan juga mengajak Adhara untuk melanjutkan hubungan yang tidak seharusnya itu.

Adhara sangat kesal karena tidak bisa menolak Sebastian. Itulah kenapa akhirnya Adhara memilih untuk melakukan hal-hal yang sekiranya akan membuat Sebastian berubah pikiran. Adhara tidak salah kan?

Belum puas Adhara dengan kekesalannya, tiba-tiba ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Adhara sangat terkejut, dan keterkejutannya semakin bertambah ketika menyadari bahwa sosok itu adalah Sebastian. Terlalu sibuk dengan amarahnya, Adhara tidak menyadari ketika pria itu mengetuk pintu dan kemudia melongos masuk kedalam.

"Abang ngapain?!" Adhara yang terperanjat kaget terduduk di kasurnya.

"Maaf gara-gara saya kamu jadi dimarahi." Mendengar hal itu Adhara mengalihkan pandangannya.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang