033

13.2K 261 4
                                    

Pertemuan ku dengan gadis kecil bernama Adhara itu membawaku pada suatu perasaan yang sudah lama tidak kurasakan. Bertahun-tahun belakangan ini hidupku terasa hampa, namun ketika bersama Adhara entah mengapa rasanya aku bisa menampilkan diriku yang sesungguhnya.

Usiaku sudah hampir menginjak kepala lima, tapi aku yakin kekuatanku masih setara remaja awal dua puluhan haha. Aku tidak bercanda, buktinya aku bisa selalu traveling untuk menjalani hobiku dan hal-hal itu jelas cukup melelahkan.

Selama di Australia aku tinggal bersama orangtuaku yang juga masih amat sehat diusia mereka yang cukup renta. Keduanya hampir menginjak tujuh puluh tahun. Usia dimana seharusnya mereka sudah pensiun dan beristirahat di sebuah rumahan kayu ditepi bukit menikmati masa tua.

Namun pada kenyataannya orangtuaku masih sibuk bekerja. Mengurus perusahaan mereka. Bukan perusahaan besar, namun memiliki pengaruh yang cukup di kota kami tinggal. Mereka sama sekali tak pernah memaksaku untuk menggantikan posisi mereka, mereka akan selalu menunggu hingga aku siap. Dan mereka juga terus memintaku untuk menikmati hidup, melakukan apapun yang aku inginkan.

Hari itu, ketika Adhara dan pacarnya keluar dari restauran aku juga keluar, berniat memanggilnya dan meminta untuk bertukar nomor atau mungkin sekedar sosial media. Namun pemandangan yang aku lihat akhirnya membuatku mengurugkan niat itu.

 Namun pemandangan yang aku lihat akhirnya membuatku mengurugkan niat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pasangan yang sangat romantis pikirku. Melihat bagaimana mereka saling memperlakukan satu sama lain membuatku teringat sosok dimasa lalu. Akhirnya aku tidak jadi menggangu mereka dan membiarkan keduanya saling memadu kasih.

Esok paginya aku berjalan-jalan di pagi hari, sekaligus berolahraga. Dan dari kejauhan aku dapat melihat Adhara dengan koper ditangannya. Bersama seorang paruh baya yang kuyakini sebagai ayahnya.

"Hai Adhara." Sapaku pada gadis itu.

"Eh om Harry, halo om!" Obrolan kami menarik perhatian pria dibelakangnya yang kemudian ikut mendekat.

"Pa, ini om Harry yang semalem bantuin Dhara."

"Brian."

"Harry." Kami saling berjabat tangan dan melemparkan senyum ramah.

"Terimakasih sudah membantu putri saya. Yah biasa, terjadi kesalahpahaman dan sedikit perdebatan." Candanya padaku, aku tertawa kecil mendengarnya.

"Ya tidak masalah, saya mengerti. Ini udah mau pulang?"

"Iya, sudah seminggu kami disini banyak pekerjaan yang nunggu di Jakarta."

"Hahaha, liburan keluarga yang menyenangkan."

"Ayo kapan-kapan datang ke Jakarta, nanti biar saya yang bantuin disana." Basa-basi Brian padaku.

"Aman itu, nanti kalau saya berkunjung saya hubungi anda ya." Jawabku merespon tawarannya.

"Pa, ini barangnya udah semua." Datang seorang lagi yang kuyakini adalah pria yang kemarin malam menjemput Adhara.

"Mama dimana?"

"Masih di resepsionis ngembalikan kunci."

"Oh iya Harry, ini putra tertua saya. Ian ayo kenalan sama om Harry yang bantuin Adhara semalem."

"Sebastian."

"Harry."

"Iya iya, saya ingat semalam Sebastian yang datang menyusul Adhara." Ujarku.

Saat kami asyik mengobrol, Adhara menimpali untuk berbicara denganku.

"Om Harry punya Instagram? Boleh Adhara minta gak?" Sepertinya bukan aku saja yang berpikir untuk melanjutkan silaturahmi dan perkenalan ini. Maka dengan senang hati aku memberikan akun Instagram ku, yang sebagian besar adalah postingan tentang perjalanan traveling ku.

"Baiklah, kalau gitu saya duluan ya. Hati-hati dijalan buat kalian semua."

"Haha terimakasih Harry."

Begitulah akhir pertemuan ku dengan keluarga Adhara. Meski awalnya aku merasa janggal namun aku mengerti, mungkin hubungan persaudaraan Adhara dan Sebastian memang sangat dekat hingga aku bahkan salah mengira mereka sebagai pasangan.

Ketika aku pulang ke Australia aku disambut oleh kedua orangtuaku yang begitu hangat. Seperti biasa, mereka akan menanyakan bagaimana perjalanan ku dan apakah aku bahagia. Pertanyaan yang setiap hari selalu mereka tanyakan adalah "apakah aku bahagia?". Tampak seperti kebahagiaan ku adalah sesuatu yang amat berarti bagi mereka.

Persoalan Adhara dan keluarganya jelas tak luput dari ceritaku pada mereka. Dan keduanya sangat menyetujui jika aku ingin berkunjung ke Jakarta untuk kembali bertemu dengan keluarga itu. Dan dengan yakin aku akan mempertimbangkan hal tersebut.

Memasuki kamarku, sebuah figura foto menjadi fokusku. Foto wanita cantik yang selama bertahun-tahun ini selalu terpajang disana. Tak sekalipun aku memindahkan figura indah itu dari dinding di hadpan tempat tidurku. Setiap kali aku membuka mata, itu adalah sesuatu yang pertama kali akan memasuki indra penglihatan ku.

Cinta ku, wanita ku.

Selama beberapa waktu aku dan Adhara saling bertukar pesan melalui Instagram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selama beberapa waktu aku dan Adhara saling bertukar pesan melalui Instagram. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang mengunjunginya. Papa dan mamaku pun sangat antusias mendengar hal itu. Hingga sesuatu yang tidak aku duga diucapkan oleh mereka.

"If it's Jakarta, I think we'll come with you." Ujar mama.

*Jika itu Jakarta, aku rasa kami akan ikut denganmu.

"Really? Why? You don't usually want to come along." Aku setengah tak percaya.

*Beneran? Kenapa? Biasanya kau tidak mau ikut.

"Jakarta is something special for us." Kali ini papa yang menjawab, membuatku yakin bahwa kedua orangtuaku itu memang serius untuk ikut denganku.

*Jakarta sesuatu yang spesial untuk kami.

Dan ya, sekitar satu Minggu lagi kami memutuskan untuk berangkat. Dan sekarang orangtuaku sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka agar perusahaan siap ketika akan mereka tinggalkan. Tak enak jika hanya berdiam diri sementara mereka tampak sibuk, maka aku pun memutuskan untuk membantu sebisaku.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang