015

34K 503 3
                                    

Jangan lupa vote dan komen!

Pagi ini, Adhara sama sekali tidak bisa dibangunkan, padahal hari sudah sangat terang, ia akan segera terlambat. Sintia sudah berteriak berkali-kali memanggil nama anak gadisnya, namun yang dipanggil tak kunjung menyahut.

Mulai merasa khawatir Sintia terpaksa masuk ke kamar anaknya itu tanpa izin. Ya, Sintia adalah orangtua yang mengerti privasi anak, ia tidak pernah sekalipun masuk ke kamar Adhara jika belum mendapatkan izin dari pemiliknya.

Betapa terkejutnya Sintia ketika melihat Adhara yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya pucat, peluh bercucuran disekujur tubuh, membuat Sintia panik bukan main.

Sintia berlari ke lantai bawah, meminta pekerja di rumah untuk menyiapkan kompresan dan memanggil dokter. Brian dan Ian yang melihat hal itu pun ikut panik, bertanya akan hal apa yang terjadi.

"Adhara pa, Adhara demam. Badannya panas banget." Sintia kembali bergerak gelisah menuju ke kamar Adhara, meletakkan kompres di dahinya dan sesekali mengelap bagian tubuh Adhara yang lain.

Brian dan Ian ada disana, turut merasa khawatir melihat Adhara yang melemah. Padahal gadis itu terbilang cukup tangguh karena jarang sekali terserang sakit, termasuk demam.

"Adhara gak papa ma, paling bentar lagi sembuh"

Adhara merasa tak enak, ia senang mendapatkan banyak perhatian dari sang ibu, akan tetapi sampai mengganggu waktu kerja ibunya bukanlah hal yang Adhara inginkan.

"Gak papa gimana Dhar, ini badan kamu panas banget loh. Kamu jarang banget sakit, kalau sampai kaya gini pasti ada sesuatu. Mama udah panggil dokter buat datang."

"Benar kata mama mu, gak mungkin kami gak khawatir kalau kamu sampai kayak gini."

Adhara pun hanya pasrah, mau melawan ia juga tidak punya banyak energi. Sambil menunggu dokter datang, Adhara kembali memejamkan matanya, kepalanya amat pusing sampai sampai mau pecah rasanya. Sekilas Adhara melihat pada Ian yang duduk di meja riasnya, mata mereka sempat bertemu namun Adhara terlalu lemah untuk melihat ekspresi apa yang ditampilkan Ian.

"Papa sama Ian keluar dulu, mama mau ngompres semua tubuh Adhara." Kedua lelaki itu menurut.

Beberapa waktu kemudian dokter datang, keadaan Adhara segera di periksa. Adhara membuka matanya, melihat masih ada Sintia dan Brian disana, namun lelaki itu, abangnya, pergi entah kemana.

"Tidak ada masalah serius, Adhara hanya kelelahan, sepertinya tubuhnya tidak dapat menahan semua kegiatan hariannya hingga akhirnya ia demam. Hal wajar kok, ketika imun tubuh melemah dan jadi sakit seperti ini." Jelas dokter itu.

"Tuh kan ma, Adhara gak papa. Cuma butuh istirahat aja, bentar lagi juga sembuh."

"Benar, tapi obatnya tetap perlu diminum ya biar sembuhnya makin cepat."

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan bapak ibu, setelah minum obat dan istirahat 2-3 hari Adhara juga akan kembali seperti biasa." Sambung dokter itu lagi.

"Baik dok, terimakasih banyak ya."

Setelah dokter itu pergi, Brian pamit untuk berangkat ke kantor, ia akan sudah terlanjur mempunyai jadwal meeting di kantor yang tentunya tidak bisa dihindari.

"Mama, Adhara gak papa. Mama pergi ajaa..." Adhara masih tidak berhasil membujuk Sintia agar berangkat kerja, wanita itu tetap kekeuh untuk menjaga anaknya.

"Gak papa Dhar, percuma juga mama kerja kalau nantinya gak fokus. Mama batalin janji temu sama klien aja deh."

"Jangan dong ma! Adhara gak mau kalau jadi ganggu kerjaannya mama. Nanti setelah pekerjaan mama selesai, mama bisa jagain Adhara lagi kok."

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang