058

4.4K 112 0
                                    

Sebelum baca, bisa kali vote dan komen duluuuuuuuuuuuuuuu

Kemarin malam, Adhara disambut dengan Claudia yang tampak khawatir melihat kondisi sahabatnya yang dengan jelas memperlihatkan penampilan yang cukup kacau. Mata sembab dengan wajahnya yang memucat. Tentu tanpa berpikir lama Claudia membukakan pintu rumahnya untuk Adhara yang datang mendadak itu.

Claudia jelas ingin tau sekali apa yang sebenarnya telah terjadi pada sahabatnya. Namun, karena Adhara tampak sangat lelah dan pucat, dibandingkan menanyakan rasa penasarannya, ia memilih untuk lebih dulu membiarkan Adhara beristirahat, setidaknya memejamkan matanya sejenak.

Tak lama setelahnya Adhara tampak pulas dalam tidurnya, dan Claudia segera menghubungi Marissa agar wanita itu datang ke tempatnya. Kehadiran Claudia dan Marissa mungkin akan sangat dibutuhkan melihat kondisi Adhara yang cukup berantakan dan membutuhkan tempatnya untuk bersandar dan bercerita.

Ditengah-tengah tidur nya, Andhara terusik dengan rasa mulas dan mual diperutnya. Awalnya ia mencoba mengabaikan dan tidak mempedulikan mual yang ia rasakan itu, namun semakin ia mengabaikannya, semakin menjadi pula mual yang ia rasakan sampai-sampai gejolak diperutnya membuat Adhara segera memuntahkan isi perutnya.

Adhara berlari ke kamar mandi, dengan cepat ingin mengeluarkan isi perut yang sudah terkulum di dalam mulutnya. Adhara tidak menyadari jika saat ini Claudia dan Marissa ada di sana dan memandangnya penuh rasa khawatir. Kedua wanita itu mendekati Adhara, membantu Adhara dengan menggosok lehernya dan menepuk halus punggungnya.

Setelah selesai dengan Adhara rasa mualnya, dipandangnya dua wanita yang saat ini berada di kanan dan kirinya, melihat bagaimana dua sahabatnya tampak begitu mengkhawatirkannya jelas membuat Adhara merasa halu sekaligus bersedih.

Ketiganya kini berada di kamar Claudia duduk saling berpandangan diatas kasur miliknya, dengan Adhara yang masih terus diam sementara Claudia dan Marissa yang semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan Adhara hingga membuatnya harus melarikan diri ke rumah Claudia disaat kondisinya yang sedang sakit seperti sekarang ini.

"Jujur gue takut buat cerita ini. Tapi, gue gak tau harus cerita ke siapa kalau bukan ke kalian." Akhirnya Adhara membuka suara.

"Ra, gila kali Lo, ya. Kita ini sahabat lo, jelaslah kalau ada apa-apa Lo udah semestinya cerita sama kita. Buat apa kita sahabatan kalau lo masih ragu buat sekedar cerita ke kita?" Sewot Marissa.

"Iya, Adhara. Apa yang lo takutin untuk cerita ke kita? Apapun yang bakal lo ceritain udah pasti bakal kita denger kok. Dan kita udah pasti akan bantu sebisa kita masalah apapun yang saat ini mengganggu lo." Claudia juga ikut menimpali.

"Gue cuma gak siap jadi bahan omongan orang. Dan gue takut setelah ini kalian juga akan ngejudge gue."

"Ra, lo pikir kami apaan sih? Lo sebegitu gak percayanya sama gue dan Claudia?"

"Bukan. Bukan kalian yang gua gak percaya. Tapi yang kali ini emang gue salah Sa. Gue yang bego disini, dan gue sadar betul bahwa gue amat pantas untuk mendapatkan segala macam cibiran dari orang-orang."

"Mending Lo tenang dulu deh Ra, dan hilangin semua pemikiran negatif lo itu sekarang. Apapun keadaannya, mau satu dunia mojokin lo sekalipun, gue sama Marissa ya akan tetep di pihak lo, sampai kapanpun."

Mendengar perkataan Claudia yang sudah cukup untuk sangat menenangkannya, Adhara pun akhirnya memilih untuk menceritakan hal apa yang mengganggu nya dan tengah menjadi masalah serius dalam hidupnya.

"Gue hamil. Dan tanpa perlu gue jelasin juga gue yakin kalian tau siapa laki-laki yang ngehamilin gue itu kan."

Baik Claudia maupun Marissa terdiam membeku selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka sadar dengan reaksi mereka yang salah. Adhara akan merasa semakin terpojokkan jika reaksi mereka malah seperti itu.

Claudia tersenyum lembut sebelum akhirnya mengucapkan kata selamat pada Adhara, "selamat ya, Ra. Bentar lagi gue jadi Tante dong nih?" Ucapan Claudia diakhiri dengan tawa singkat yang memang terlihat tulus dan justru bahagia.

"Claud, gue hamil. Diluar nikah. Dan dengan Abang gue sendiri. Sekarang, lo malah bilang selamat dan berpikir akan jadi Tante?!" Jelas saja Adhara tidak menyangka dengan respon sahabatnya yang satu itu.

"Iya, memang apalagi? Kalau Lo hamil kan artinya Lo bakal jadi ibu dan akan punya anak, itu jelas sesuatu yang harus disyukuri dan diucapkan selamat, kan? Anak itu rezeki Tuhan Ra, banyak orang yang menantikannya."

"Iya itu kalau gue hamil setelah menikah dan jadi istri orang. Sekarang kan yang terjadi gak kayak gitu. Gue yakin kalau orang-orang diluar sana tau soal ini, gue bakalan dilemparin batu sama orang-orang." Jawaban Adhara membuat Claudia menarik dan menghembus nafas frustasi.

"Harus berapa kali sih gue bilang Ra? Jangan pernah dengerin apa kata orang. Gak akan ada habisnya kalau kaya gitu mah."

"Jujur gue shock banget." Mendengar suara dari Marissa, perhatian Adhara dan Claudia kini beralih pada wanita itu yang sejak mendengar pengakuan Adhara memilih untuk tetap diam.

"Gue agak tidak menyangka Lo sama bang Ian sejauh itu. Tapi iya, gue tau lo dan bang Ian memang udah saling cinta, jadi harusnya hal ini gak mengejutkan gue lagi ya. Tapi, yang gue pertanyakan sekarang, selanjutnya gimana Ra? Lo dan keluarga Lo bakal gimana?"

Marissa terdengar lebih realistis sekarang. Dibanding Claudia yang justru mengucapkan selamat pada Adhara. Tanpa Adhara sadari, respon yang Claudia berikan sebenarnya adalah bentuk dukungan mental yang Claudia lakukan. Siapa yang tau jika diawal reaksi Claudia tidak seperti itu, mungkin saja Adhara akan semakin tertekan, apalagi setelah mendapatkan pertanyaan yang saat ini Marissa lontarkan.

"Itu yang jadi masalah buat gue sekarang. Gue dan bang Ian jelas udah berdosa banget dengan apa yang kami lakukan. Dan gue gak mau menambah dosa kalau harus menyingkirkan anak ini. Gue juga gak akan mau kalau sampai harus menitipkan anak ini ke panti atau semacamnya. Tapi gue juga gak mau keluarga yang gue punya sekarang harus jadi berantakan karena hal ini. Daddy udah menawarkan opsi lain sebenarnya , tapi gue gak yakin sama hal itu. Papa udah baik banget sama gue dan gue gak akan mau kalau sampai mengambil kebahagiaan papa." Merissa tersenyum prihatin mendengar ucapan Adhara, ia mengerti jika Adhara tengah berada di posisi yang sangat sulit saat ini.

"Gue ngerti gimana sulitnya posisi lo sekarang. Tapi, yang perlu Lo tau, segala sesuatunya punya resiko. Dan yang bisa lo lakuin sekarang adalah memilih resiko mana yang mau lo hadapin? Semuanya emang berat Ra, tapi Lo gak bisa egois untuk berharap gak ada yang akan berubah setelah apa yang terjadi." Mendengarnya tangis Adhara pecah. Ia tidak bisa membayangkan resiko manapun yang akan sanggup ia hadapi.

Ditengah-tengah obrolan mereka, tiba-tiba terdengar deringan ponsel milik Adhara. Segera diambilnya telepon genggam miliknya itu, dan ia dibuat cukup terkejut saat melihat sang pemanggil adalah Grace—neneknya yang ada di Australia.

"Halo Granny?"

"Adhara, kamu sudah tau apa yang Daddy mu ini lakukan?" Tanya Grace terdengar cukup serius, membuat Adhara bingung kemana arah pembicaraan ini sebenarnya.

"Dia ingin membuat Sintia dan Brian berpisah, kau harus menghentikannya Adhara. Bagaimanapun sepertinya daddymu sudah melakukan cukup banyak hal. Temui mama dan papa mu, jelaskan semuanya. Granny tidak ingin Sintia harus tersiksa lagi karena apa yang dilakukan oleh Harry." Jawab Grace ketika Adhara menanyakan apa maksud wanita itu.

Mendengar jawaban Grace, bukannya mengerti, Adhara justru dibuat semakin bingung. Iya Adhara tau kalau Harry ingin kembali bersama Sintia. Tapi, melakukan cukup banyak hal? Apa yang sebenarnya sudah Harry lakukan sampai Grace berkata seperti itu? Dan apa katanya tadi? Tidak ingin Sintia tersiksa lagi? Memangnya kapan Sintia tersiksa?

Aduhhh Adhara bingung! Kenapa hidupnya rumit banget sih???

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang