018

23.1K 405 11
                                    

Adhara bersama dengan Marissa dan Claudia akan menghabiskan waktu untuk hangout di salah satu mall langganan mereka. Waktu ujian yang hanya tinggal sebulan lagi membuat ketiganya ingin refreshing sebelum akhirnya sibuk belajar dan fokus dengan masa depan masing-masing.

"Gilaa, seru banget film nya!" Marissa berteriak heboh, membuat kedua temannya geleng-geleng kepala.

"Ke cafe yuk" Ajak Claudia yang jelas diangguki dengan semangat oleh Marissa dan Adhara.

"Adhara, itu Abang Lo gak sih?" Pertanyaan itu membuat Adhara refleks menoleh pada arah yang ditunjuk temannya. Setelah mendapati bahwa sosok itu benar-benar adalah Ian, Adhara hanya berdehem untuk mengkonfirmasi.

"Gue penasaran deh, hubungan Lo sama Abang Lo itu gimana sekarang?"

"Ya enggak gimana gimana. Gitu aja" Jawab Adhara seadanya.

Sesuatu yang diketahui kedua temannya itu hanya sebatas kejadian di pesta topeng, mengenai uang yang Adhara pakai untuk mengganti uang Claudia, tidak ada yang tau dari mana asalnya, dan bagaimana kelanjutan setelah itu.

"Gak mungkin tetap normal kan Ra? Secara kalian udah sampai ngelakuin itu." Kali ini Claudia yang menimpali.

"Ya tetep normal kok, kalian bisa liat sendiri kan?"

"Tapi bukannya kemaren Lo sempet diantar jemput Abang Lo?"

"Ya sebatas itu doang. Dan itupun udah gak pernah lagi sekarang."

"lo punya perasaan lebih ke Abang Lo Ra?"

"gila Lo, gak mungkin lah Adhara kaya gitu. Itu Abang nya woii!" Marissa berucap ngegas ke Claudia.

"We never know sa!"

"Iya tapi kan, eh tunggu... Itu siapa Ra? Kok nempel banget sama Abang Lo?" Marissa bertanya kala melihat seorang wanita menghampiri meja Ian dan mereka berpelukan.

Melihatnya sekilas, Adhara mengangkat bahu. "cewek nya paling."

Setelahnya Adhara meminta untuk mengganti topik pembicaraan. Mereka bertiga pun melanjutkan jalan-jalan tanpa ada pembahasan mengenai Abang Adhara sedikit pun.

Pada jam yang sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam, ponsel Adhara berdering. Menghentikan langkah ketiga gadis remaja itu untuk turun melalui eskalator.

"kenapa?" Suara Adhara yang terdengar oleh kedua temannya.

"Pulang sama saya aja. Saya tau kamu disini juga."
Mendengar suara dari sosok di sebrang telpon membuat Adhara melihat sekelilingnya, mencari kehadiran Ian di sekitar. Entah sejak kapan ia menyadari bahwa Adhara ada di sana. Apa mungkin Ian mendengar percakapannya di cafe bersama teman-temannya tadi?

"Adhara sama Claudia aja gapapa "

"Enggak! Pulang sama saya aja." Mendengar kalimat tegas yang diucapkan Ian, membuatnya tidak dapat menolak lagi. Hingga akhirnya Adhara mengiyakan.

"Guys, gue pulang sama Abang." Adhara berkata pada kedua temannya dengan lesu, padahal mereka sudah sepakat untuk menginap di rumah Claudia setelah izin dengan Sintia nantinya.

"Gapapa, next time yaaa" Claudia menyemangati, membuat senyum samar terbit di bibir Adhara.

Ian memintanya menunggu di loby. Adhara pikir kata menunggu yang Ian maksud hanya untuk 2-3 menit saja. Namun nyatanya sudah 15 menit Adhara berdiri dan pria itu belum juga terlihat. Ian tidak sedang membohonginya kan?

Tidak berapa lama setelah Adhara berpikir seperti itu, Ian akhirnya datang menghampiri. Dengan seorang wanita yang bergelayut manja di lengan lelaki itu. Jujur saja membuat Adhara merasa jijik, ditambah lagi dengan penampilan wanita itu yang sangat seksi dengan croptop ketat tanpa lengan dan celena pendek yang bahkan tidak menutupi setengah pahanya.

"Ayo Dhar." Ujar Ian yang diangguki oleh Adhara.

Adhara dan wanita itu ditinggal berdua ketika Ian pergi mengambil mobil. Adhara hanya diam, tak sedikit pun memandang wanita di sebelahnya.

"Hai Adhara, kenalin gue Hani. Sebastian sering cerita tentang Lo, loh!" Adhara yang memang malas menanggapi hanya menyambut uluran tangan wanita itu singkat.

"Kita harus sering-sering ketemu gak sih? Ya, biar makin akrab aja gitu, sebelum gue sama Sebastian lanjut ke hubungan yang makin serius nantinya."

Adhara mengernyitkan dahinya, meragukan keputusan abangnya untuk memiliki hubungan serius dengan wanita bernama Hani itu.

Tak lama kemudian, mobil Ian tiba dihadapan mereka. Dengan langkah cepat Hani membuka pintu dan duduk di sebelah Ian, hingga yang tersisa untuk Adhara hanyalah kursi belakang.

Adhara merasa tidak begitu nyaman dengan suasana ini. Hani yang duduk di sebelah Ian berbicara banyak hal random, yang sesekali di sahuti Ian. Namun mata Ian tak lepas memandangi Adhara melalui kaca dasbor, membuat Adhara semakin kikuk untuk bergerak dan harus melakukan apa.

Selang beberapa waktu, mereka tiba di rumah Hani. Setelah wanita itu turun, Ian meminta Adhara untuk pindah ke sebelahnya. Mau tidak mau Adhara menurut dengan kata-kata Ian yang amat kaku dan terasa tidak bisa untuk dibantah.

Hening.

Baik Adhara dan Ian tidak melakukan pembicaraan apapun. Sebenarnya Adhara punya pertanyaan di benak nya, hanya saja ia bimbang untuk bertanya atau tidak. Merasa tak nyaman terus-terusan berada dalam suanasa ini, Adhara akhirnya memecah keheningan.

"Abang beneran serius sama si Hani itu?" Pertanyaan itu jelas membuat Ian menatap Adhara.

"Dia wanita yang dipilihkan mama, tidak ada salahnya mencoba."

"Mama Cuma bantu Abang buat kenal sama perempuan itu. Kalau Abang gak suka, ya tinggal bilang enggak. Kan bukan berarti Abang harus setuju." Kalimat Adhara menggebu, tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Ian.

"Saya tidak bilang kalau saya tidak suka kan? Dia baik kok, pribadi nya yang ceria justru melengkapi sikap saya yang lebih banyak diam ini." Adhara semakin melotot tak percaya, merasa bahwa abangnya itu buta dengan penilaiannya.

"Adhara gak suka dia bang!" hening sesaat sebelum akhirnya Ian bersuara.

"Dia akan menjadi pasangan saya, bukan kamu." Kalimat itu menusuk Adhara amat dalam, hingga tanpa ia sadari matanya meneteskan air mata.

"Abang jahat! Di awal Abang yang berusaha buat deketin Adhara, tapi coba lihat sekarang, dalam waktu singkat Abang udah bisa beralih ke perempuan lain. Pasti ini karena Abang udah dapetin yang Abang mau kan? Abang udah bosan sama tubuh Adhara kan?!"

Adhara tersenyum sinis sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya, "semua laki-laki itu sama aja, bahkan Abang gak lebih dari sekedar laki-laki brengsek. Apa bedanya ngelakuin itu sama Abang atau sama laki-laki random diluar sana!"

"Adhara!" bentakan itu membuat Adhara terdiam. Dan setelahnya, tidak ada percakapan yang terjadi karena mereka telah tiba di halaman rumah.

Ian yang berlalu terlebih dahulu, meninggalkan Adhara sendirian disana memberikan satu keyakinan pasti untuk wanita itu. Semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi hubungan terlarang yang terlibat diantara mereka. Sesuatu yang seharusnya membuat Adhara senang. Namun anehnya bukan kesenangan yang Adhara rasakan.

Sebastian telah berhenti dari kegilaannya, ia memilih semuanya untuk berakhir. Namun kini, mengapa Adhara yang merasa gila karena ditinggalkan?

Jangan lupa vote dan komen!

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang