055

4.2K 86 3
                                    

Katakanlah Adhara gila sekarang. Tapi, memang benar adanya dia melihat sendiri daddy-nya yang terus-terusan tersenyum memandangi foto wanita yang terpajang di kamarnya itu. Entahlah, Adhara yakin ia tidak salah lihat, tapi mengingat bagaimana ekspresi Harry tadi, benar-benar tidak pernah terbayangkan oleh Adhara bahwa pria itu akan berkelakuan demikian.

Tadinya Adhara ingin berpamitan pada Harry mengenai kepulangannya ke Indonesia besok. Bagaimanapun ia sudah tinggal di rumah Daddy nya, jadi tidak mungkin baginya untuk pergi begitu saja tanpa berpamitan. Namun ternyata, pamit nya Adhara berujung pada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.

Selain dengan Harry yang terus-terusan memandangi foto itu dengan senyum dan ekspresi yang tidak jelas apa maksudnya, Adhara yang terus memperhatikan daddy-nya mendengar gumaman lirih dari Harry. Hingga pria itu kemudian meneteskan air matanya.

Nama Sahla berkali-kali diucapkan secara lirih oleh Harry, membuat tanda tanya besar dalam diri Adhara, siapa sebenarnya sosok Novita itu. Apakah wanita dalam foto itu adalah Sahla?

Ditengah lamunannya, Adhara dikejutkan dengan kehadiran Ian yang mengajaknya untuk ke ruang makan, karena kakek dan nenek Adhara sudah menunggu disana untuk makan malam. Dan saat di ruang makan itu dijadikan kesempatan oleh Adhara untuk sekalian berpamitan pada keluarga barunya itu.

Mungkin saja mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin Adhara yang baru sebentar menempuh pendidikannya sudah ingin ambil cuti untuk pulang, namun mengingat Adhara yang belum pernah berpisah dari sang mama membuat mereka mengerti bahwa mungkin Adhara sedang ditahap amat merindukan rumahnya.

"Kamu mau pulang Dhar?" Harry yang baru saja berjalan menuju ruang makan tanpa sengaja mendengarnya. Mendapatkan pertanyaan dari sang Daddy, Adhara mengangguk sebagai jawaban.

"Kapan kamu berangkat? Daddy juga ingin ikut."

"Tidak!" Dengan cepat Adhara menyahut.

"Maksud ku, daddy tidak bisa ikut untuk sekarang. Aku dan bang Ian akan kembali besok, dan terlalu mendadak untuk Daddy. Mungkin Daddy bisa menyusul lain kali." Ralat Adhara cepat.

"Yahh, baiklah kalau begitu. Hati-hati dalam perjalanan kalian besok ya."

"Have dinner first, Harry." Tegur Grace mendapati anaknya yang sudah kembali hendak beranjak meninggalkan ruang makan. Namun sepertinya Harry sama sekali tidak mendengarkan ucapan wanita paruh baya itu, hingga punggung nya sudah benar-benar menghilang.

"He's back like that again. I don't know what made it like that, I'm tired..."

"Honey..." Alex menegur istrinya, mencoba mengingatkan jika sang istri lupa bahwa saat ini Adhara dan Ian masih bersama mereka.

"Granny, apa maksudnya itu? Ada apa dengan daddy?"

"Oh, Emm..." Grace kebingungan, bagaimana harus menjawab pertanyaan cucunya.

"Bukankah Adhara perlu mengetahui semua tentang daddy? Apa maksud granny soal again?"

Terdengar tarikan nafas dalam sebelum akhirnya Grace memutuskan untuk menjelaskan pada Adhara.

"Sejak kecelakaan itu Harry tidak benar-benar baik-baik saja. Secara fisik mungkin iya, dia sudah kembali pada kondisi yang utuh dan sehat. Hanya saja, benturan di kepalanya itu sejujurnya mempengaruhi banyak hal. Di tahun-tahun awal pasca kecelakaan, banyak tingkah aneh yang ia lakukan, dan menurut dokter, itu adalah hal wajar untuk seseorang yang selamat dari kecelakaan maut dengan benturan keras di kepala. Kami hanya perlu terus mengawasinya agar dia tidak melakukan hal-hal berbahaya. Gangguan pada saraf otaknya mempengaruhi banyak hal dalam hidupnya."

Mendengar penjelasan Grace, tentu saja Adhara terkejut. Ia pikir, Harry sudah benar-benar sembuh dan kecelakaan itu hanyalah bagian dari masa lalu kelam belasan tahun lalu. Namun ternyata semuanya tidak sesederhana itu.

"Bagaimana kami memperlakukan Harry yang membuat banyak orang bertanya-tanya jelas bukan sesuatu yang tanpa sebab. Kami membiarkan Harry melakukan apapun sesuai keinginannya karena itu adalah apa yang mampu kami lakukan. Tapi untungnya sejauh ini dia tidak pernah mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya"

Apa yang Adhara dengar dari neneknya hari ini jelas adalah suatu informasi baru baginya. Dan mungkin, apa yang Adhara lihat sebelumnya, tentang Harry yang tampak aneh juga sebenarnya berhubungan dengan apa yang Grace jelaskan. Bahkan bisa saja, nama Sahla yang terus-menerus terucap lirih oleh Harry juga bukanlah sesuatu yang nyata. Yah, bagaimanapun hanya Harry yang mengetahuinya. Dan menurut Adhara, ia tidak perlu mencari tau terlalu banyak.

__________________

Waktu yang kurang lebih 12 jam dilalui Adhara dan Ian untuk melakukan perjalanan pulang jelas terasa melelahkan. Namun semuanya terbayarkan ketika melihat Sintia, wanita yang sedang sangat Adhara rindukan itu tengah sibuk dengan bunga-bunga nya di halaman rumah.
Adhara berlari kecil, bergegas mendekati mama nya dan kemudian memeluk wanita itu.

Sintia yang tidak siap mendapatkan serangan peluk tiba-tiba itu hampir saja limbung, untuk dia berhasil menjaga keseimbangan dan membalas pelukan putrinya. Ini adalah kejutan yang tidak disangka Sintia akan ia dapatkan hari ini. Anaknya kembali, tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

"Adhara, kamu pulang kok gak bilang-bilang?!" Ucap Sintia setelah pelukan keduanya terlepas.

"Surprise untuk mama ku tercinta." Jawab Adhara yang kemudian memberikan kecupan di pipi kanan Sintia.

"Papa mana ma?" Tanya Adhara bersemangat, yang tanpa Adhara sadari ekspresi wajah Sintia berubah kelam.

"Papa di kantor, sayang." Jawab Sintia mencoba memaksakan senyumnya.

"Sepagi ini ma?" Ian yang sejak tadi diam pun terpengaruh juga ketika mendengar bahwa di pagi buta seperti ini papa nya malah sudah di kantor.

"Iya, lembur semalem. Udah udah yuk masuk, kalian pasti capek kan. Mau mama buatkan sarapan apa?" Ujar Sintia yang kemudian melangkah masuk diikuti oleh Adhara dan Ian.

Sebenarnya Ian masih ragu. Bagaimana mungkin papa nya itu lembur sampai tidak pulang ke rumah? Sejauh ingatan Ian, papa nya paling tidak bisa tidur tanpa ada Sintia di sebelahnya. Untuk perjalanan bisnis saja Sintia selalu dibawa kemana-mana. Ian yakin sekali ada sesuatu yang tidak beres dan membuat Brian yang biasanya akan selalu mengusahakan pulang cepat memilih menginap di kantor.  Apapun itu, Ian hanya berharap bukan sesuatu yang buruk. Karena jujur saja, Ian mengharapkan momen yang tepat agar dapat segera memberitahukan semuanya pada Brian dan juga Sintia.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang