044

9.3K 173 8
                                    

Sejuknya suasana pagi hari di pulau itu membuat Sintia ingin ke kamar mandi, langit bahkan belum begitu cerah saat itu. Ketika Sintia keluar dari kamar mandi, ia melihat Harry yang sedang mengambil air di pantry, setelah Sintia memikirkannya sejenak, ia memutuskan untuk memastikan sesuatu saat ini juga.

"Hai," sapa Sintia pada Harry. Selama ini obrolan mereka sebatas obrolan bersama saja, belum pernah melakukan interaksi empat mata seperti ini.

"Oh, halo," balas Harry yang pada mulanya cukup terkejut.

"Boleh kita bicara sebentar?" Tanya Sintia terus terang yang membuat Harry bingung dan memandang sekeliling.

"Hanya, berdua?" Tanya Harry memastikan. Dan setelah mendapatkan anggukan yakin dari Sintia, Harry secara perlahan mengikuti langkahnya.

Sepanjang perjalanan Sintia tidak mengucapkan sepatah katapun membuat Harry bertanya-tanya sendiri di kepalanya, apa yang sebenarnya ingin Sintia katakan. Hingga akhirnya Harry menghentikan langkahnya tepat ketika langkah kaki wanita di depannya juga telah berhenti.

Dibawah sinar matahari yang hampir terbit, keduanya membisu, terlebih dulu menyaksikan indahnya sunrise dalam keheningan.

Sekitar delapan belas tahun yang lalu, persis pada tempat dimana kini kaki Sintia berpijak, seorang pria bersujud di depannya, dengan mengangkat tangan yang membawa bunga mawar serta sebuah cincin, pria itu menghadap menatap Sintia.

Laki-laki itu adalah seseorang yang dua bulan belakangan ini dekat dengan Sintia. Pertemuan yang tidak disengaja ketika keduanya saling bertabrakan menjadi awal untuk kebetulan kebetulan lainnya yang mempertemukan mereka. Hingga akhirnya keduanya memilih untuk saling mengenal, dan berakhir di tempat ini.

"Sintia Nathania, maukah kamu menikah denganku?" Ujar pria itu, menatap penuh harap pada Sintia.

Sintia yang memang mendapatkan banyak perhatian dari pria itu belakangan ini jelas mustahil untuk mengatakan tidak. Maka tepat ketika wanita dihadapannya menganggukkan kepala, pria itu dengan terburu-buru memasangkan cincin di jari manis Sintia, seperti ketakutan jika jari manis itu direbut orang lain nantinya.

"Ingat tempat ini, Harry?" Kembali pada saat ini, akhirnya Sintia membuka suara dan memecahkan keheningan.

"Tidak, ini pertama kalinya untukku liburan ketempat ini." Jawab Harry tanpa keraguan.

"Benarkah? Apa kau yakin?" Sintia masih tidak menyerah, ia mencoba meyakinkan Harry.

"Ya, sejauh ingatanku, ini pertamanya aku datang kesini."

Sintia yang tidak sabar akhirnya menunjukkan sebuah foto pada Harry. Foto yang sudah sejak bertahun-tahun lalu tersimpan di dalam dompetnya, foto yang selama bertahun-tahun itu pula berada di tumpukan foto lain yang tidak pernah lagi tersentuh sedikitpun olehnya.

Harry memandang foto yang ditunjukkan oleh Sintia. Dalam foto itu terlihat Harry sedang bersama dengan seorang wanita yang mengenakan gaun selutut berwarna kuning dengan rambut kuncir kuda. Harry terus memandang hingga tanpa sadar ingatannya membawanya pada sebuah nama yang sudah lama terlupakan.

"Sahla ..." Gumam Harry tanpa ia sadari.

Mendengar nama itu terucap di bibir Harry, Sintia membeku, membuat selembar foto itu terjatuh, bersamaan dengan air matanya yang juga ikut jatuh. Melihat Sintia yang tiba-tiba meneteskan airmata nya jelas membuat Harry panik dan berusaha menenangkannya.

"Sintia, kau kenapa? Mengapa kau menangis? Apa kau tidak apa-apa?" Harry yang panik bingung harus melakukan apa untuk menghentikan air mata yang mulai membanjiri wajah Sintia.

"Kamu, Arya..." Nada tanpa ekspresi itu menghancurkan segala pertahanan Sintia, Isak tangis Sintia semakin pecah. Ia tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi dimana suaminya yang sudah hilang selama bertahun-tahun kini berada di hadapannya.

Keyakinan Sintia tentang Harry yang merupakan suaminya datang ketika nama Sahla itu diucap. Sintia ingat dengan baik bagaimana saat itu suaminya sering kali menggumamkan nama yang sama ketika sedang tidur atau mengigau. Nama yang selalu membuatnya penasaran selama ia menjalankan rumah tangga bersama Arya, suaminya dulu.

Pada awalnya Sintia memang bertanya-tanya siapa wanita pemilik nama Sahla itu, namun melihat semuanya yang baik-baik saja setelah Arya bangun esok paginya, Sintia selalu mengurungkan niat untuk bertanya. Ia merasa pertanyaan itu akan membawa perpecahan pada rumah tangganya, membuatnya memilih untuk bungkam.

"Mama, om Harry? Disini rupanya. Adhara nyariin daritadi. Yang lain udah pada nungguin tuh buat sarapan, kalian ngapain?" Tanya Adhara, yang berdiri di belakang Sintia.

"Oh, itu -" Harry bingung harus menjawab apa, dia sendiri sebenarnya tidak tau apa yang sedang terjadi saat ini, hanya saja sekarang Harry mulai merasa sedikit familiar dengan tempat ini.

"Mama lagi jalan pagi aja, kebetulan ketemu om Harry disini," jawab Sintia mengulum senyum pada Adhara. Sintia sudah sempat menghapus air matanya karena posisinya yang menghadap kelaut dan memang membelakangi Adhara.

"Yaudah ayo kita sarapan dulu, udah ditungguin tuh," ajak Adhara yang kemudian merangkul tangan mama nya.

"Masih pagi sudah pada pergi saja," ujar Grace setibanya mereka disana, Sintia hanya membalas ucapan itu dengan senyumnya saja.

"Mama darimana?" Tanya Brian yang juga merasa penasaran.

"Jalan pagi pa, bagus pemandangannya."

Brian hanya mengangguk, berusaha menutupi kecurigaannya, karena bagaimanapun Sintia berpura-pura Brian tau ada yang tidak beres dengan istrinya. Melihat kondisi Sintia saat ini, bisa Brian yakini bahwa istrinya itu baru saja menangis.

"Udah ayo sarapann, Adhara laper nihh."

Semua orang pun sibuk menyantap makanan masing-masing, sambil sesekali mengobrol singkat mengenai banyak hal random. Dan sekali lagi, Sintia hanya diam, pikirannya begitu rumit hingga membuatnya tidak berminat masuk kedalam obrolan mereka.

"Sebelum pulang kita foto bersama mau gak?" Ajak Adhara.

"Boleh boleh, sekalian buat kenang-kenangan."

Sesi foto itu berlangsung cukup lama. Meski kemarin mereka juga sudah banyak mengambil foto, tapi foto bersama dengan kondisi orang-orang yang lengkap belum sempat mereka lakukan. Dan setelah akhirnya sesi foto itu berakhir, mereka semua bersiap untuk pulang serta menaiki speedboat untuk menyebrangi laut dan kembali ke kota Jakarta.

Jangan lupa vote dan komen!!!


Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang