Aku baru saja menyelesaikan tugas praktikum untuk mata pelajaran kimia di sekolah ku. Dalam satu kelas kami dibagi menjadi lima kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari enam orang. Tugas yang harus kami kerjakan adalah membuat sabun batang. Dan ya, itu cukup mudah bagiku.
Aku memesan ojek online untuk pulang ke rumah. Tentu itu karena bang Ian yang belakangan menjemput ku tidak juga mengabari bahwa ia akan datang. Selalunya ia mengirimi pesan jika akan menjemput ku. Dan, jika ia tidak memberikan pesan apapun, maka ia tidak akan menjemput kan?
Aku senang, akhirnya hari penuh tekanan untuk berada di mobil bersama bang Ian mendapatkan libur sehari.
Tidak, bukan sehari tapi libur tiga hari!
Aku senang sih dia tidak menganggu ku lagi selama tiga hari itu. Hanya saja aku kepikiran, wajar kan?
Malam ini aku mendapatkan kesempatan berdua dengan Abang. Aku yang pulang terlambat karena mencari peralatan untuk kerja kelompok baru bisa makan malam di pukul sembilan, dan ternyata Abang juga baru saja pulang.
Mama dan papa yang sudah asyik bersenda gurau di depan televisi jelas memungkinkan kami untuk mengobrol berdua. Aku hanya penasaran, dan saat ini aku hanya ingin memastikan.
"Bang," aku belum melanjutkan kalimatku, membiarkan pria dihadapan ku itu mengubah fokusnya pada ku terlebih dahulu.
"Kenapa Abang gak pernah antar-jemput Adhara lagi?" Tanyaku akhirnya.
"Gak ada alasan khusus. Pekerjaan saya makin banyak, gak sempet kalau harus antar-jemput kamu juga." Aku hanya mengangguk sebagai balasan.
Pertanyaaan ku hanya sebatas itu, tidak lebih. Meski sebenarnya rasa penasaran ku tidak hanya tentang itu. Aku juga sangat penasaran bagaimana dengan kesepakatan kami waktu itu.
Setelah aku sembuh dari sakit ku tempo hari, mama sudah kembali memberikan uang jajan padaku. Seharusnya tidak ada lagi keharusan bagiku melanjutkan hubungan dengan Abang untuk mendapatkan uang.
Hanya saja, diawal kesepakatan, ini akan berjalan satu bulan kan? Apa Abang tidak ingin mendapatkan kejelasan atas keinginan ku, melanjutkan atau mengakhiri semuanya?
Melihat bagaimana waktu seminggu ini berlalu tanpa interaksi yang intens antara kami berdua, aku semakin yakin bahwa pilihan Abang jatuh pada, mengakhiri semuanya.
Aku mencoba terbiasa, dengan banyak hal-hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi lagi antara aku dan bang Ian. Seharusnya aku senang karena sudah terbebas dari belenggunya kan? Namun mengapa sisi lain dari diriku merasakan kekosongan?
Papa dan mama mungkin ikut merasakan bagaimana hubungan aku dan Abang yang perlahan semakin akrab tiba-tiba saja berubah dalam waktu singkat. Kami kembali pada mode kakak-adik yang layaknya orang asing. Tidak ada obrolan, percakapan, atau interaksi lain seperti antar-jemput sekolah yang sempat menjadi rutinitas Abang.
"Kalian gak berantem kan?" Pertamanya dari papa membuat aku dan bang Ian terkejut.
Abang menatap papa heran, dengan alis yang menyatu ia bertanya maksud papa menanyakan hal tersebut. Aku hanya diam saja, karena aku tidak tau harus bagaimana.
"Iya, papa penasaran aja. Belakangan ini kan kalian makin akrab tuh, bahkan kamu sering antar jemput adik kamu. Tapi kenapa udah gak pernah lagi?"
Bang Ian menatapku, mata kami sempat bertemu sebentar sebelum akhirnya aku mengalihkan pandangan.
"Enggak lah pa, Ian lagi banyak kerjaan aja. Gak mungkin berantem lah, iya kan Dhar?" Aku mengangguk singkat.
Malam Minggu ini, papa dan mama mengajak kami untuk berkumpul bersama di ruang keluarga. Sesuatu yang sebenarnya jarang terjadi untuk anggota keluarga yang lengkap.
"Bagus deh kalau begitu. Kalian juga udah pada besar, papa rasa gak mungkin ada sesuatu yang perlu di ributkan juga."
Semua orang kembali pada televisi, melihat tayangan film Netflix yang diputar di sana. Sesekali tertawa dan saling memberikan komentar untuk adegan yang menarik agar dikomentari, terutama mama yang memang tampak paling bersemangat dengan film kali ini.
"Rencana kamu kapan mau nikah yan?" Pertanyaan dari papa ini keluar ketika film itu menayangkan scene pernikahan.
"Belum ada rencana pa."
"Loh, nunggu apa lagi? Kamu sudah dua puluh delapan tahun loh. Sudah sangat cukup untuk usia pernikahan."
"Ian belum kepikiran kesana aja. Mungkin nunggu punya usaha sendiri dulu baru mikirin itu."
"Jangan kelamaan Ian, kasian kamunya juga. soal usaha mah gampang, malah kadang ada orang yang rezeki nya lancar setelah menikah. Lanjutin usaha papa kamu kan juga gak masalah." Kali ini mama yang bersuara. Aku sangat yakin mama berpikir dengan keras untuk mengatur kalimat agar tidak menyinggung perasaan Abang.
"Iya ma, tapi emang Ian belum ketemu sama calon nya aja."
"Hmm, mungkin kalau kamu mau, banyak anaknya temen mama yang penasaran sama kamu. Ya, sekedar bertemu siapa tau cocok kan?" Abang diam sejenak untuk berpikir sebelum akhirnya ia menjawab.
"Boleh ma, kenalan dulu gak ada salahnya juga."
Dan ya, mulai saat itu aku semakin kehilangan sosok Abang yang selama dua Minggu kemarin sempat menemani hari-hari ku.
Jujur saja, aku semakin tidak mengerti dengan perasaan ku sendiri. Mengapa aku harus merasa kehilangan disaat ini adalah sesuatu yang aku inginkan?
Aku ingin Abang menjauh kan?
Aku ingin Abang kembali seperti dulu kan?
Aku ingin Abang tidak lagi mempedulikan ku kan?
Aku ingin Abang melupakan apa yang pernah terjadi diantara kami kan?
Aku ingin hubungan antara Abang dan aku kembali seperti saat dimana sebelum semua tragedi itu dimulai kan?Lantas mengapa aku merasa kehilangan dan sedih untuk semua harapan ku yang telah tercapai?
Apa selama ini, aku membohongi perasaanku sendiri ya?
Karena pada kenyataannya, aku mulai jatuh. Jatuh pada sosok yang seharusnya tidak membuatku jatuh.
Jangan lupa vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother [END]
RomanceBaca aja sendiri Start : 25 Maret 2023 Finish : 25 Maret 2023 ⚠️⚠️ [Area Brother Sister Complex]