016

28.6K 428 6
                                    

Adhara masih tertidur pulas di sampingku, dengan inisiatif aku memegang dahinya, mencoba merasakan bagaimana suhu tubuhnya saat ini. Syukurlah, dia sudah jauh lebih baik, meski belum pulih sepenuhnya.

Aku melihat sekeliling, melirik pada jam dinding di kamar wanita itu, sudah hampir jam tujuh malam. Bergegas aku keluar dari kamar itu, berharap kedua orangtua kami belum pulang dan melihat kondisi kami saat ini.

Setelah pakaian ku kembali lengkap, tak lupa aku memakaikan pakaian Adhara juga. Dengan pelan dan hati-hati tentunya, agar dia tidak terbangun.

Tepat saat aku keluar dari kamar Adhara, ku lihat mama menaiki tangga dengan masih mengenakan pakaian lengkapnya pagi tadi.

"Gimana kondisinya Dhara, yan?"

"Udah jauh lebih baik ma, Ian baru aja ngecek tadi." Padahal aku tidur bersama wanita itu sepanjang hari, namun tidak mungkin aku mengatakannya.

"Syukur deh kalau gitu. Makasih banyak ya Ian udah mau nemenin Adhara. Maaf mama ngerepotin"

"Enggak sama sekali ma, Ian malah seneng kalau bisa bantu mama sama Adhara."

Satu kalimat itu tampaknya berhasil membuat mama tersentuh. Aku dapat melihat dengan jelas raut wajahnya yang terlihat sangat bahagia.

"Mama istirahat aja dulu, Adhara biar Ian yang ngurusin. Udah waktunya minum obat lagi ini." Ucap ku lagi.

Aku dapat melihat penampilan wanita di hadapanku itu cukup kusut, mungkin dia kelelahan dengan segala aktifitas nya hari ini ditambah lagi memikirkan Adhara yang sakit di rumah jelas membuat pikirannya tambah kacau.

Setelah mama kembali turun dan mungkin membersihkan dirinya, aku menuju dapur, mengambil makanan untuk Adhara. Sebelumnya aku sempat berpesan pada bibi agar menyiapkan creamy soup untuk makan malam Adhara.

Aku kembali ke kamar Adhara, dengan membawa nampan yang berisi mangkuk sup lengkap dengan air putih dan coklat panas. Aku tau coklat panas bukan pilihan yang tepat untuk kondisi Adhara saat ini, hanya saja membawakan sesuatu yang menjadi kesukaannya mungkin akan bekerja untuk memperbaiki suasana hatinya yang pasti juga akan berpengaruh kepada kesehatannya.

Saat aku memasuki kamar Adhara, ku lihat ia sudah bangun. Duduk di teras balkon sambil melamun, entah apa yang wanita itu pikirkan.

"Adhara jangan disitu, angin malam gak baik buat kamu." Meskipun mengatakan hal itu, aku justru bergabung dengannya.

"Makasih ya" ucapnya membuatku tersenyum.

"Sekarang makan lagi yuk, biar setelah itu minum obat." Adhara menganggguk, ia bangkit dari duduknya dan kembali ke tempat tidur.

"Suapin..." Ujarnya manja, membuatku yang awalnya tertegun langsung bergegas mengambil mangkok dan menyuapinya perlahan.

Tidak seperti tadi siang, Adhara berhasil menghabiskan makanannya saat ini tanpa paksaan dan tanpa banyak reaksi penolakan dari tubuhnya. Tampaknya dia benar-benar sudah kembali pulih.

Aku terkejut dengan kehadiran mama di ambang pintu. Ya sejujurnya aku lupa menutupnya tadi. Tapi untunglah yang mama lihat hanya pemandangan diriku yang dengan telaten menyuapi anak perempuannya.

"Gimana keadaan kamu Dhar?" Tanyanya yang kemudian bergabung bersama kami dan mulai merasakan suhu tubuh Adhara.

"Jauh lebih baik ma"

"Syukurlah kalau gitu, mama seneng kamu baik-baik aja sekarang. Dan ... Mama juga seneng kalian semakin dekat." Mendengar hal itu aku hanya tersenyum.

"Ian bawa ini ke bawah dulu deh ya." Ujarku hendak pamit, ingin membiarkan ibu dan anak itu berduaan.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang