051

6.4K 156 16
                                    

Setelah kurang lebih sepuluh menit Adhara dan Fania melakukan perjalanan dengan taxi menuju kediaman Fania, akhirnya kedua wanita itu tiba di tempat yang mereka tuju.

Fania terlihat santai, melangkah dengan riang menuju pintu rumahnya dengan diikuti langkah kecil Adhara di belakang gadis ceria itu.

"Mom, I'm back!" Fania berteriak kecil, menghimbau ibunya untuk datang menghampiri tamu mereka.

"Halo honey! Oh, wow, Who's the cute lady coming with you, darling?" Ibu muda itu berujar tak kalah girang, sepertinya energi positif milik sang anak diturunkan dari dirinya.

"Ok, this is Adhara mom, my close friend!"

"Btw mom, we came with a purpose. Can mommy help us, please?" Sambung Fania, ucapannya penuh harap.

"Of course darling. What should I do?"

"Adhara wants to check her womb, mom."

"No! I just want to confirm whether I'm pregnant or not, ma'am." Adhara segera meralat omongan Fania.

"Yeah, whatever!" Sahut Fania.

"Um, okay... so, shall we check now?"

"Yes."

Tanpa banyak bicara Adhara mengikuti semua instruksi yang diberikan oleh Halena, ibu Fania. Pada awalnya Adhara diberikan sebuah wadah kecil berbentuk bulat, yang mana setelahnya Adhara diminta untuk membuang air kecil dan menyimpannya sedikit pada wadah itu. Meski ragu, Adhara tidak punya pilihan lain, ia harus melakukannya.

Didalam toilet milik Fania, Adhara bergerak gelisah. Wadah yang tadi diberikan sudah ia isi dengan air seni miliknya, namun keraguan sekali lagi menghantuinya. Adhara belum siap dengan segala kemungkinan yang ada. Ia harus memastikan bahwa ketakutannya tidaklah benar, namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sesuatu yang sebaliknya?

Menarik nafas dalam, dengan langkah berat Adhara akhirnya keluar dari bilik kecil itu. Memutuskan untuk menghadapi kenyataan secepatnya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berharap apa yang berkecamuk di kepalanya sejak kemarin malam hanyalah ketakutannya semata.

Setelahnya Adhara menyerahkan wadah kecil itu pada Fania yang kemudian diserahkan lagi pada ibunya. Dua wanita yang berada bersama Adhara saat ini tidak memberikan respon yang berlebihan, hanya senyum hangat yang mungkin bertujuan untuk menenangkan Adhara yang tampak tengah dilanda panik.

Dan hasil apa yang keluar adalah sesuatu yang kemudian meruntuhkan kehidupan Adhara. Dua garis berwarna merah pada sebuah benda pipih ditangannya adalah bukti dan awal dari kehancuran hidupnya yang lain. Dengan segala perasannya yang campur aduk, Adhara tidak bisa menahan dirinya dari kehilangan kesadaran dan kemudian jatuh pingsan.

Adhara membuka kedua matanya, cahaya yang memasuki indra penglihatannya menyadarkannya bahwa kini ia berada pada tempat yang asing yang tidak ia kenali. Ditengah kebingungan itu, Fania membuka pintu ruangan tempat dimana Adhara berbaring.

"Ra, kamu udah sadar? Ini minum dulu," ujar Fania memberikan segelas Air pada Adhara.

"Udah berapa lama aku gak sadar?" Tanya Adhara kala menyadari suasana diluar tampaknya sudah mulai gelap.

"Mungkin sekitar tiga jam."

"By the way, sorry Ra. Tadi daddy kamu nelpon, karena takut dia khawatir jadi aku angkat." Sambung Fania lagi.

"Hah? Terus kamu bilang apa aja ke daddy?!"

"Tenang, aku gak bilang apa-apa kok, aku cuma bilang kamu ketiduran. Tapi karena itu Daddy kamu ngotot mau jemput kesini."

"Oh my god... okey deh Fan, thanks banget ya buat bantuannya hari ini. Aku juga berterimakasih banget sama mama kamu."

"Ya, santai aja. Aku sama mommy bakal selalu siap buat bantuin kamu. Jadi kamu jangan terlalu maksain diri dan jangan sampai kelelahan ya. Yang terpenting, no abortion!" Mendengar hal itu Adhara tersentak.

Sejujurnya Adhara tidak sama sekali terpikir untuk melakukan aborsi. Namun, jika mungkin nanti itu adalah satu-satunya cara, maka mau tidak mau Adhara akan melakukannya. Untuk saat ini, Adhara hanya tengah memikirkan bagaimana caranya memberitahu Ian terkait hal ini.

Tidak lama setelah itu, Harry tiba dirumah Fania. Sebelumnya Fania memang mengirimkan share location pada Harry sesuai dengan apa yang pria itu minta. Tidak ingin Daddy-nya bertanya banyak hal, dengan cepat Adhara berpamitan dan masuk kedalam mobil, siap untuk kembali ke rumahnya.

"Can someone tell me what's going on?"

"Hmm?" Adhara bingung dengan arah pembicaraan Harry.

"Come on Adhara! Kamu gak mungkin ketiduran gitu aja, kamu kecapean? Atau kamu sakit?" Tanya Harry, terdengar kekhawatiran dalam nada bicaranya.

"I'm okay dad. Yahh mungkin kecapean, tapi selebihnya aku baik baik aja." Mendengar hal itu Harry bernafas lega.

_________________________________

"Kamu kenapa?" Ian dibuat bertanya melihat kondisi Adhara yang tampak tidak seperti biasanya. Wanita yang selalu penuh energi itu kini tampak kehilangan sembilan puluh persen dari energinya.

"Kamu bisa datang kesini?" Ujar Adhara akhirnya.

Setelah Adhara berpikir cukup lama, tampaknya ia tidak akan sanggup untuk mengatakan kebenaran yang baru diketahuinya pada Ian jika hanya sekedar melalui telpon. Dan alasan lainnya adalah, dengan kehadiran Ian disampingnya, Adhara yakin semuanya akan menjadi lebih baik. Ya, meski tidak akan benar-benar selesai, setidaknya Adhara mempunyai tempat untuk bersandar.

"Kamu udah kangen banget ya?" Ian tertawa namun tawa nya kembali hilang kala menyadari Adhara tidak bergeming dengan ekspresi seriusnya.

"Aku benar-benar butuh kamu secepatnya kesini."

"Iya sayang, nanti setelah urusan kantor lebih santai aku kesana ya ..." Ian mencoba memberikan pengertian.

"Udah dulu deh, aku ngantuk." Adhara langsung mematikan telponnya, suasana hatinya yang sedang kacau membuatnya kesal dengan Ian yang tidak langsung menuruti keinginannya.

Esok paginya ketika bangun tidur, Adhara berusaha membuat semuanya tampak sama seperti biasa. Sebisa mungkin ia mencoba melupakan fakta tentang kehamilannya dan menjalani hari seperti hari sebelumnya ketika ia masih hidup tanpa tau fakta bahwa didalam dirinya kini terdapat nyawa kecil yang tumbuh.

Menyambut pagi dengan menyapa kakek nenek serta ayahnya dimeja makan, Adhara melebarkan senyumnya, menampilkan suasana ceria untuk mengelabui keluarga barunya tentang dirinya yang sebenarnya saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Setelah itu, Adhara berangkat menuju kampusnya, kebetulan hari ini ia mempunyai kelas pagi yang membuatnya bersiap lebih awal. Seperti biasa, satu-satunya teman yang akan ia temui dikelas hanyalah Fania. Dan Fania yang melihat Adhara dari kejauhan segera menyambut kedatangannya.

"You okay?" Tanya Fania cukup khawatir.

"Seperti yang kamu lihat." Jawab Adhara mencoba memperlihatkan tampilannya yang memang terlihat baik-baik saja, sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Do you want to hangout after class?"

"Hmm, of course."

Kelas hari itu pun berakhir. Sesuai dengan apa yang sebelumnya disepakati oleh Adhara dan Fania, kedua wanita itu akan pergi hangout, mungkin mereka akan shopping ke mall atau sekedar chill di cafe.

Adhara dan Fania tiba di salah satu mall yang letaknya tidak begitu jauh dari kampus mereka. Keduanya berkeliling, menjajaki satu toko ke toko lainnya, mencuci mata dengan melihat berbagai barang dan menjatuhkan pilihan pada beberapa yang memang mereka inginkan.

Ditengah keseruan keduanya, Adhara merasakan seseorang menarik tangannya dan kemudian memeluk tubuhnya, Adhara yang kaget ingin berteriak kencang sebelum menyadari bahwa sosok itu ternyata adalah Ian.

"Ian?!"

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang