Lama banget ya buat bisa sampai target. Mana yang lama target komennya pula. Padahal kan komen bisa spam, kenapa pada gak mau sih?
Tapi karena aku udah gak sabar banget pengen post ini, jadi yaudah deh aku post aja walau gak mencapai target. Sejujurnya sedih sih, padahal tujuannya biar aku makin termotivasi buat cepet update kalau lihat kalian berusaha menuhin target. Tapi yaudah lah ya mau gimana lagi. Kedepannya gak bakal ada target lagi, tapi ya gitu suka suka aku mau up kapan wkwk
Btw part ini bikin aku mewek ngebayangin adegannya. Sayangnya penulisan aku gak begitu bagus untuk menggambarkan isi kepala aku, tapi semoga kalian bisa ikut merasakan sesuatu yang mau aku salurkan ya.
Selamat membaca~
________________________________________
Sudah seharian ini Sintia terus saja mengurung diri di dalam kamar. Adhara sudah mengetuk pintu kamar sang ibu berulang kali. Memohon maaf dan terus meminta kesempatan untuk menjelaskan. Isak tangis pun tak luput dari bibir Adhara. Namun tetap saja, Sintia belum mau membukakan pintunya.
Apa yang Sintia dengan dengan jelas kemarin malam benar-benar membuat perasaanya berantakan. Ia masih tak percaya bahwa hal semacam ini benar-benar terjadi. Rasa marah jelas ada dalam dirinya, namun sesungguhnya kekecewaan dan kesedihan lah yang lebih mendominasi.
Brian yang melihat istrinya menangis ketika masuk ke kamar dibuat bertanya-tanya. Memilih untuk tidak mempertanyakan banyak hal, Brian hanya mencoba untuk menenangkannya. Memeluk dan membujuk sang istri agar berhenti menangis.
Dilihatnya Adhara berdiri dengan panik di depan pintu kamar mereka. Brian sadar bahwa apa yang terjadi berhubungan dengan Adhara. Itulah mengapa ketika Sintia akhirnya tertidur dalam isakan tangisnya, Brian memutuskan untuk menanyakan hal tersebut pada Adhara.
Adhara tidak menjelaskan apapun pada Brian. Air matanya terus mengalir, merasa menyesal karena sudah membuat ibunya bersedih. Kata maaf terucap lirih dari bibir Adhara. Namun semua itu jelas belum berhasil menjawab rasa penasaran Brian. Hingga akhirnya Ian datang dan memberitahu pada ayahnya bahwa Sintia sudah mengetahui tentang hubungan tidak wajar antara Ian dan Adhara.
Mengetahui hal itu jelas Brian murka. Ia sudah mewanti-wanti sejak jauh hari jangan sampai Sintia mengetahui tentang hal ini. Karena sebagai seorang suami, Brian tau dengan jelas bagaimana usaha Sintia dalam menyatukan keluarga ini. Bagaimana kasih sayangnya pada Ian dan Adhara, menganggap keduanya adalah sama dan selama bertahun-tahun terus berusaha agar diterima dengan baik oleh Ian dan bisa menjadi sosok ibu yang pantas untuk putranya. Tentu saja, mengetahui anak-anaknya ternyata terikat dalam perasaan yang tidak seharusnya membuat Sintia merasa terpukul sebagai sosok ibu.
Pagi itu, baik Brian maupun Sintia tidak ada yang pergi bekerja. Sintia yang terus mengurung dirinya membuat Brian tidak tega meninggalkan sang istri. Itulah mengapa ia seharian ini pun ikut menemani sang istri, berusaha menenangkan dan sedikit-sedikit memberikan pengertian padanya.
"Dhar, kamu belum makan apa-apa loh dari pagi." Khawatir Ian, melihat Adhara yang terus menunggu di depan kamar Sintia. Hanya sesekali ia beranjak dari sana, dan secara berkala mengecek apakah Sintia sudah sudi membukakan pintu itu untuknya.
"Adhara gak laper." Tubuhnya lemah tak berdaya, wajahnya pucat dan tampak letih, Adhara benar-benar terlihat berantakan.
"Jangan gini Dhar, mama juga pasti gak akan seneng kalau liat kamu begini." Ian tetap kekeuh, berusaha menyusupkan sesendok makanan pada Adhara.
"Ck, udah dibilang gak laper juga!" Adhara meninggikan suaranya, tangannya menepis sendok makan yang Ian pegang hingga terjatuh.
"Kalau bukan karena Abang, keluarga ini gak bakal kacau kaya sekarang!" Bentak Adhara yang kemudian meninggalkan Ian, dimana ia kemudian melangkah menaiki tangga menuju kamar tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother [END]
RomanceBaca aja sendiri Start : 25 Maret 2023 Finish : 25 Maret 2023 ⚠️⚠️ [Area Brother Sister Complex]