020

22.3K 375 10
                                    

Suasana malam ibu kota terasa semakin nyata ketika kita berada di dalam sebuah club malam. Hal ini menjadi gambaran nyata akan dunia kota metropolitan yang biasa tergambar melalui internet dan media sosial. Kerlap kerlip lampu disko, silaunya lampu sorot, dan bisingnya suara musik menjadi suatu penggambaran identik yang paling terlihat. Tempat dimana semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, menghabiskan waktu dengan keseruannya dan foya-foya yang terasa menggembirakan.

"Lo ga ikutan Ra?" Tanya Zevan pada Adhara yang hanya duduk memandangi teman-temannya sedang asyik berjoget.

Adhara tersenyum dan menggeleng. Hanya melihat bagaimana Claudia dan Marissa berbahagia dan melepaskan lelah sejenak, cukup menenangkan untuk Adhara. Adhara tau bahwa diskotik adalah tempat pelarian bagi kedua temannya itu. Dan yang perlu Adhara lakukan hanyalah menjaga dan mengawasi kedua temannya, agar aman dan selamat sampai ke rumah mereka.

Marissa dan Claudia adalah pecinta dunia malam. Bagi mereka hal ini adalah sebuah kesenangan dan kelegaan. Kesenangan dunia inilah yang membuat mereka melupakan pikiran kusut serta masalah yang menimpa hidup mereka.

Meski Claudia punya segalanya, bukan berarti hanya bahagia yang selalu ia rasakan. Banyak kekosongan dan kekacauan dalam hidup yang membuat dirinya menjadi sosok wanita seperti sekarang ini.

Bukan keinginannya untuk bergaul dengan banyak lelaki yang bahkan tidak jelas asal-usulnya. Hanya saja, dengan melakukan itu Claudia merasa bahagia. Kebahagiaan sesaat itu yang menjadi penghiburnya dan alasannya untuk tetap bertahan hingga saat ini.

Keluarga Claudia cukup kacau. Meski terlihat rukun dan tidak pernah berkelahi, pernikahan orangtuanya yang tanpa cinta itu membuat keduanya sepakat untuk tidak saling mengurusi kehidupan satu sama lain.

Tepatnya orang tua Claudia hanya suami istri di mata hukum, karena pada kenyataannya mereka mempunyai kekasih dan kehidupan masing-masing. Membuat Claudia menjadi layaknya benalu yang tidak diinginkan.

Ayah Claudia sering bermain dengan banyak wanita, tak jarang ia bahkan berani membawanya ke rumah. Tentu tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Istrinya yang sah secara hukum itu pun tak akan peduli, karena sesungguhnya tidak ada sedikitpun cinta yang dirasakannya untuk sang suami.

Selama suaminya tidak menggangu hubungannya dengan sang kekasih, ibu Claudia akan tetap tenang untuk apapun yang dilakukan suaminya. Menyisakan Claudia dengan segala rasa sakit dan kecewa yang ia rasakan seorang diri.

Ibunya mempunyai seorang kekasih, yang sepertinya amat ia cintai. Bahkan mungkin melebihi cinta ibu pada anak kandungnya. Lagi-lagi membuat Claudia kerap kali merasa sesak melihat bagaimana ibunya bisa tertawa dan berbahagia bersama sang kekasih. Karena itu adalah sesuatu yang tidak pernah Claudia lakukan bersama ibunya.

Selama ini kebutuhan Claudia terpenuhi. Tidak pernah sekalipun ia merasa kurang akan uang. Baik ayah dan ibunya memberikan segala hal materi yang ada di dunia ini padanya. Tapi tentu bukan itu yang Claudia inginkan.

Ia mengharapkan keluarga utuh yang normal. Keluarga yang akan duduk bersama di ruang keluarga ketika malam hari, sesekali melangsungkan makan bersama disaat luang, serta menghabiskan waktu untuk jalan-jalan keluarga diakhir pekan. Hanya hal-hal kecil seperti itu yang Claudia inginkan, namun sepertinya sampai kapanpun hal itu tidak akan pernah terwujud.

Tidak cukup dengan itu, penghianatan akan cinta yang pernah dialaminya juga membuat Claudia merasa jijik untuk menjalin hubungan. Melihat bagaimana hubungan kedua orangtuanya, serta mantan kekasihnya yang brengsek semakin menguatkan tekad Claudia bahwa hidup tanpa komitmen adalah pilihan yang terbaik. Hingga saat ini pun tak ada seseorang yang mampu melepaskan Claudia dari belenggu ketakukan untuk menjalani hubungan dengan hanya satu pria saja.

Hal ini berbeda dengan Marissa yang sudah menjalin hubungan hampir lima tahun lamanya. Bertemu dengan sang kekasih ketika masih menjadi remaja puber di SMP, dan hingga saat ini hubungan keduanya masih berjalan dengan baik.

Hidup Marissa jauh dari kata beruntung. Ia adalah yatim piatu yang ditinggalkan. Hidup bertahun-tahun di panti asuhan dan kemudian mengalami pelecehan jelas menjadi suatu trauma mendalam bagi dirinya. Hingga kemudian ia diadopsi oleh sebuah keluarga, yang ia pikir bisa menjadi rumah baginya namun ternyata ia salah.

Sekali lagi, ayah angkatnya menjadi orang yang menorehkan luka dengan menjadi sosok yang melecehkan dan menggauli Marissa. Ternyata pelecehan itu tidak berakhir di panti asuhan saja, karena bahkan keluarga barunya pun melakukan hal yang sama disaat usia Marissa yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun saat itu.

Ibu angkat yang awalnya tidak mempercayainya malah berbalik melalukan kekerasan disaat Marissa mencoba mengatakan sesuatu yang ia alami. Dan kemudian, ketika ibu angkatnya mengetahui hal tersebut secara pasti, melihat dengan nyata bagaimana suaminya melecehkan Marissa membuatnya kecewa dan marah. Bukan pada sang suami, ibu angkatnya justru melampiaskan kemarahannya pada Marissa.

Masih teringat dengan jelas oleh Marissa bagaimana rasanya selamat dari kematian. Hari itu Marissa benar-benar disiksa habis-habisan. Ia sekarat, ia hampir mati. Dan baginya itu mungkin adalah pilihan terakhir dan terbaik yang pernah ada. Mati dan hilang dari dunia menjadi sesuatu yang Marissa inginkan namun ternyata sangat menyakitkan.

Namun ternyata ia tidak berakhir hari itu. Dirinya selamat dari kematian yang hanya tinggal sejengkal lagi. Ibu angkatnya yang menggila itu membuang Marissa ke sebuah bak sampah ketika melihat Marissa yang sudah pingsan dan lemas tak berdaya. Ketika Marissa ditemukan oleh seorang pemulung, ia segera dibawa ke rumah sakit dan di selamatkan. Setelahnya Marissa kembali ke panti asuhan. Panti yang berbeda tentunya.

Dari sinilah Marissa mempunyai keyakinan, bahwa ia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Hidupnya yang hancur, masa depannya yang telah rusak, dan dirinya yang sudah sangat kacau dan amat menyedihkan membuat Marissa hidup tanpa nyawa. Baginya semua orang hanya akan merasa jijik ketika melihatnya. Dan itu menjadi alasan bagi Marissa untuk berhenti. Berhenti mengharapkan kehadiran seseorang yang bisa membawanya pada sebuah kebahagiaan.

Namun nyatanya tidak selamanya hanya kepedihan yang Marissa rasakan. Di usianya yang ke empat belas tahun, seorang ibu tunggal mengadopsi nya. Iya, wanita yang bahkan tidak pernah menikah itu mengangkat Marissa menjadi anaknya. Meski awalnya Marissa menutup hati, namun kemudian ia sadar bagaimana ia begitu disayang dan di perhatikan oleh wanita itu, dan akhirnya Marissa mampu menerima kembali kebaikan hati seseorang padanya.

Pelan-pelan Marissa berusaha untuk sembuh, dengan masih rutin ke psikiater untuk melepaskan diri dari traumanya hingga saat ini. Sosok kekasih yang ia temui di sekolah barunya ketika kelas 9 juga menjadi salah satu alasan Marissa untuk kembali bangkit. Seseorang itu lah yang kini masih menemani Marissa dalam menjalani kehidupan. Juga kepercayaan dari ibu angkatnya, membuat Marissa yakin bahwa masih ada jalan baginya untuk merasa bahagia.

Adhara, Marissa, dan Claudia. Tiga remaja yang hidup dengan lika-liku nya masing-masing. Menyatukan mereka dalam pertemanan yang saling menguatkan. Sama-sama berjuang untuk kebahagiaan, mereka bersatu dan saling mengisi.

Dan ketika akhirnya mereka saling terbuka serta menceritakan luka masing-masing, ketiganya memutuskan untuk saling menjaga. Hari dimana Adhara menceritakan sesuatu tak normal dengan abangnya saat itu, juga menjadi hari dimana pertemanan mereka semakin kuat dan mendalam. Mereka berjanji untuk selalu bersama, selamanya.

________

Aku tau bukan sesuatu seperti ini yang kalian harapkan. Tapi sekarang ini dulu ya hehe. Tunggu sebentar lagi aku bakal update tentang kelanjutan hubungan Adhara sama Ian okeyy.

Terimakasih sudah membaca dan jangan lupa tinggalkan vote dan komen yawww


Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang