054

4.2K 115 8
                                    

Pagi itu Harry kembali menghubungi Sintia— mantan istri, atau mungkin adalah calon istrinya itu, untuk lagi-lagi meyakinkan wanita itu agar mereka kembali bersama. Harry mengirimkan pesan. Namun balasan tak kunjung ia dapatkan, sehingga Harry memilih untuk melakukan panggilan. Entahlah, beberapa hari belakangan ini, kesibukan Harry hanyalah menghubungi Sintia, terus-terusan.

Panggilan itu terjawab, akan tetapi, diluar dugaan, bukan Sinta yang menjawabnya, melainkan sang suami, Brian.

"Harry, berhentilah mengganggu istriku!" Harry cukup tertegun mengetahui Brian yang mengangkat panggilannya, namun ia berusaha tampak tenang dan tersenyum santai.

"Maaf jika menurut mu aku mengganggu. Tapi aku hanya ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku."

"Kamu gila! Setelah bertahun-tahun membiarkan Sintia berjuang sendirian, sekarang dengan santainya manusia seperti mu mengatakan ingin mengambil milikmu? Asal kamu tau, sebanyak apa Sintia berjuang sendirian, dan semuanya terlewati tanpa ada dirimu, Harry."

"Jadi maksudnya, pak Brian ini adalah penyelamat ditengah perjuangan istri saya ya?" Harry terkekang di akhir kalimatnya.

"Ayolah, Brian. Sintia tidak benar-benar bahagia bersamamu. Berapa banyak cemooh yang dia dapatkan karena menikah dengan mu. Kamu tidak tau bagaimana bahagia nya kami dulu. Sintia begitu mencintaiku, dan aku yakin sebentar lagi dia juga akan memilih untuk kembali bersama ku." Harry melanjutkan kalimatnya, yang kemudian mendapatkan tawa meremehkan dari Brian.

"Harry, dirimu bahkan sudah kehilangan ingatan mu. Siapa yang tau saat itu Sintia benar-benar bahagia atau tidak."

"Maaf jika mengecewakan mu pak Brian. Tapi, aku bahkan dapat mengingat dengan jelas bagaimana akhirnya aku dan Sintia bisa bersama. Bagaimana awal aku bisa bertemu dengan wanita yang saat itu selalu menjajakan diri di bar. semuanya tergambar dengan jelas dalam ingatanku." Tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari lawan bicaranya, Harry tau diseberang sana Brian pasti tertegun dengan ucapannya.

"Ayolah santai saja. Tidak mungkin pak Brian yang sudah menikahi Sintia tidak tau bagaimana persisnya kehidupan wanita itu kan?"

"Sepertinya selain kehilangan ingatan, sekarang kamu juga sudah gila. Ku sarankan untuk segera periksakan diri ke profesional, Harry." Brian memutuskan untuk mengakhiri panggilan, tidak ingin membiarkan Harry membual lebih banyak lagi.

Harry tertawa senang setelah panggilan itu terputus. Tentu saja dia tidak membual. Harry sudah mendapatkan ingatannya, entah sejak kapan. Yang jelas, ia ingin kembali bersama dengan Sintia dan kembali membangun keluarga bersama istri dan anaknya. Hidupnya sudah terlalu hambar belakangan ini, dia juga ingin merasakan hangat dan kebahagian berada dalam keluarga kecil yang utuh.

Harry jatuh cinta pada Sintia, tepat saat pandangan pertama. Wanita itu begitu anggun dan memukau. Namun memang benar adanya, Bar adalah tempat pertama mereka bertemu. Yang mama sejak saat itu, Harry semakin rajin mengunjungi bar tersebut hanya untuk memandang Sintia.

Namun, siapa sangka, wanita yang menarik hatinya adalah sosok wanita yang menjajakan diri. Berdasarkan atas cinta nya itu, Harry tak mempermasalahkan hal itu. Menurutnya, cintanya adalah murni. Dan jika Brian tau soal kebenaran ini, ia yakin lelaki itu akan membuang Sintia. Dan pada akhirnya, sampai kapanpun, hanya Harry seorang yang dapat menerima segala kekurangan Sintia.

__________________________

Saat ini, Adhara dan Ian sedang terlibat perdebatan tak berujung. Disaat Ian menyarankan mereka untuk kembali ke Indonesia dan menyelesaikan semuanya, Adhara justru masih dihadapkan pada kebingungan dan ketidaksiapan akan apa yang akan terjadi kemudian.

Ian mengerti akan ketakutan Adhara, namun tentu saja ia menolak untuk mengikuti keinginan Adhara yang satu ini. Ian benar-benar tidak akan bisa jika harus membiarkannya lebih lama lagi. Ia harus menyelesaikan permasalahan secepatnya. Bagaimanapun, waktu yang mereka miliki tidak banyak lagi. Meski menyakitkan, Brian dan Sintia harus mengetahui sudah sejauh mana hubungan mereka, dan apa yang dihasilkan dari hubungan keduanya itu.

Pelan-pelan Ian meyakinkan Adhara, semua akan baik-baik saja. Mereka akan mampu melewati semuanya. Dan papa mama mereka, meski kecewa juga pasti tidak akan sanggup melakukan hal buruk apalagi sampai memisahkan keduanya. Yang jelas, Adhara dan Ian hanya butuh keberanian, agar kebenaran soal kehamilan Adhara bisa tersampaikan, sebelum orangtua mereka tau dengan sendirinya nanti.

Setelah perdebatan alot keduanya, Adhara memutuskan untuk percaya pada keputusan yang Ian ambil. Ia yakin, Ian juga pasti memilih jalan yang terbaik untuk mereka. Toh, sekarang atau nanti akan sama saja. Cepat atau lambat keberadaan anaknya akan diketahui, karena bagaimanapun Adhara jelas tidak akan menyingkirkan anaknya. Tekadnya sudah bulat untuk tidak menambah dosa lebih banyak lagi dengan menggugurkan atau pun menelantarkan anaknya.

Disisi lain, pada waktu yang sama, Sintia dan Brian sedang duduk bersama. Keduanya tampak memasang wajah yang serius, entah percakapan apa yang terjadi, akan tetapi ini jelas tampak tidak biasa.

Sintia jelas ragu, namun ia memutuskan untuk memberitahu Brian kebenarannya. Brian sudah berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa dalam hubungan harus saling terbuka dan percaya. Jadi mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk membuka semua tentang dirinya, sampai bagian terdalam sekalipun.

"Pa, mama tidak tau harus memulai darimana. Yang jelas, ini tidak mampu mama simpan lebih lama lagi. Sebelumnya mama benar-benar ingin minta maaf yang sebesar-besarnya sama papa karena telah menyembunyikan fakta ini begitu lama. Mama hanya berusaha untuk melupakannya. Bukan bermaksud untuk menyembunyikannya dari papa, tapi ini adalah hal yang sebenarnya ingin mama kubur dalam-dalam, namun sepertinya mama dihadapkan pada sesuatu yang mengharuskan mama untuk kembali membuka luka ini." Melihat sang suami yang hanya diam saja, jelas Sintia menjadi sangat gugup, namun ia tidak ingin mundur, karenanya, Sintia melanjutkan ucapannya.

"Mama pernah ada pada masa terburuk dan paling kelam. Titik terendah kehidupan yang membawa mama pada sesuatu yang mungkin akan mengecewakan papa. Mama..." Sintia menjeda ucapannya, keraguan jelas terpancar disana.

"Mama—" sekali lagi Sintia tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Brian hanya diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh sang istri dan dalam diam harap-harap cemas bahwa ini bukan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang sempat ia dengar dari Harry.

"Mama pernah menjadi wanita bayaran."

Satu kalimat itu jelas berhasil memberikan gemuruh hebat dalam dada Brian. Ditengah diamnya, ia begitu berharap bahwa apa yang sejak tadi berkecamuk dikepalanya bukanlah suatu kebenaran. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Dengan sadar dan tepat Sintia justru mengatakannya dengan mulutnya sendiri.

Tidak tau harus bereaksi bagaimana, Brian memilih bangkit dari duduknya. Ia butuh waktu dalam hal ini. Mendinginkan kepala dan pelan-pelan mencerna segala situasinya adalah pilihan terbaik.

Kepergian Brian memberikan ketakutan besar pada diri Sintia. Membuatnya berpikir bahwa hasil dari kejujurannya adalah kemungkinan terburuk yang sempat ia pikirkan. Ya, perpisahan.

Dan jika memang perceraian adalah ujungnya, apakah ini saatnya Sintia kembali pada mantan suaminya?

_____________________

Aku putuskan untuk update meski baru setengah target. Sebenernya iseng aja sih pasang target. Sadar diri juga akunya aja jarang update, berharap apa sama pembaca ku yang mungkin udh pada hilang.

Oke deh selamat membaca, dan selamat berpuasa bagi yang menunaikan.

See you!



Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang