030

16.3K 330 7
                                    


"Capek ya pa, kalo lagi kaya gini bbq an enak kayanya." Ujar Sintia ketika mereka semua sedang dalam perjalanan pulang.

"Setujuu!" Teriak Adhara antusias.

"Yaudah, kalau kalian berdua udah ngomong gitu pasti harus dilakuin kan."

"Hehehe."

Ian dan Brian menyiapkan tempat untuk BBQ malam ini. Tidak banyak yang perlu dipersiapkan sebenarnya, karena semuanya telah disediakan oleh penyedia tempat disini. Paling hanya perlu mengeluarkan dan menyusun alat yang dibutuhkan.

Sintia sudah pasti menyiapkan bahan-bahan yang akan mereka panggang. Ada ayam, sosis, beef, dan lainnya. Dan untuk princess Adhara, ia hanya bolak-balik memperhatikan pekerjaan orang-orang disana. Sesekali membantu Sintia memindahkan bahan-bahan masakan mereka.

Semuanya hampir selesai di tangan Sintia, yang tentunya banyak dibantu oleh sang suami. Hingga tiba-tiba Adhara mulai membicarakan sesuatu yang penting. Ian yang duduk dihadapan Adhara pun menjadi tidak sabar untuk sesuatu apa yang ingin dikatakan oleh gadis itu.

"Adhara..." Ujar Adhara menggantung, membuat keluarganya tak sabar dengan apa yang sebenarnya ingin dikatakan.

"Kenapa Dhar, bikin mama penasaran aja."

"Jadi, Adhara..." Sekali lagi Adhara menggantungkan ucapannya.

"Cepet dong, bilang aj-"

"Adhara lolos beasiswa ke Sydney!"

"...."

Tidak ada yang memberikan respon apapun ketika Adhara selesai mengatakan apa yang ingin diucapkannya.

Ekspresi Adhara yang tadinya cukup excited berubah seketika. Bibirnya mencebik dengan kerutan di dahi. Reaski orang-orang tidak seperti harapannya.

"Gak ada yang seneng?" Tuntut Adhara.

Sintia tersenyum canggung. "Ahaha, iya itu bagus. Tapi kamu yakin mau lanjut disana?" Adhara menghembus nafas frustasi mendengarnya.

"Kenapa ma? Bukannya katanya boleh kemana aja? Adhara udah siapin ini dari lama, belajar keras biar lolos beasiswa ini dan ngasih surprise ke kalian semua. Tapi kok gak ada yang seneng gini sih."

"Papa seneng Dhar. Papa bangga sama kamu. Tapi kenapa harus Sydney?"

"Kenapa pa, apa yang salah disana?"

"Kalau kamu memang mau ke luar negeri, kenapa gak milih ke New York aja? Abang kamu kan bertahun-tahun disana, biar ada yang jagain juga Dhar." Ujar Sintia hati-hati.

Adhara melirik sekilas pada abangnya yang hanya diam, memandang Adhara dengan ekspresi yang entah apa artinya. Adhara mengambil beasiswa ini sebelum hubungannya dan Ian menjadi baik seperti sekarang, itulah kenapa New York tidak masuk kedalam pilihan list Adhara.

"Papa lebih seneng kamu disini Dhar. Kalau nanti Abang balik lagi ke New York, terus kamu kuliah di Sydney, yang nemenin papa sama mama siapa?"

"Mama sih pengennya kamu tetap aman. Kalau di Indonesia mama juga bisa terus-terusan bolak-balik liatin kamu. Kalau di luar negeri ya baiknya emang ditempat Abang kamu."

"Abang gimana? Mau nyalahin Adhara juga? Gak setuju juga sama keputusan Adhara?" Adhara menuntut jawaban Ian yang sejak tadi hanya diam. Gadis itu tidak lagi menghiraukan ucapan mama dan papanya.

Melihat Ian yang hanya diam saja, Adhara tertawa hambar dan kemudian tersenyum miris.

"Adhara tuh nunggu waktu yang tepat banget loh buat ngasih tau soal ini. Biar bisa jadi momen berharga ngeliat semua orang ikut excited sama sesuatu yang bikin Adhara seneng. Tapi ternyata Adhara salah ya. Gak ada satupun yang seneng sama pencapaian Adhara ini!"

Adhara berlari meninggalkan semua orang disana. Berjalan menuruni tangga rofftop. Satu per satu air matanya menetes. Entah mengapa rasanya amat menyakitkan ketika orang-orang yang mengatakan akan mendukung kita sepenuhnya tapi ternyata baru sebatas ini saja sudah tidak sejalan.

Adhara terus berjalan. Melangkah kemanapun kakinya membawa. Sudah sekitar setengah jam dia berjalan tanpa arah. Perutnya mulai memberontak meminta makanan. Melihat sebuah restoran yang cukup ramai, Adhara pun segera masuk kesana. Berharap untuk menghilangkan laparnya.

Setelah seorang waiters datang, dan Adhara menyebutkan menu yang ingin ia pesan, Adhara melanjutkan dengan melihat sekeliling. Disana sangat ramai, namun seorang pria yang duduk sendirian di meja sebelah Adhara cukup mengusik hatinya.

Pesanan Adhara datang bersamaan dengan bill yang harus ia bayar. Adhara segera merogoh koceknya, berharap mendapatkan uang cash disana. Namun ternyata tidak ada apapun disana.

"Bisa bayar pake m-banking gak kak?" Tanya Adhara akhirnya, dan kemudian diangguki oleh waiters itu.

Sialnya lagi, Adhara baru sadar bahwa ia tidak membawa tasnya. Dan tentu saja handphone nya berada disana. Wajah Adhara berubah pucat, tidak tau harus apa dalam kondisi ini.

"Kak maaf banget sebelumnya. Ini saya baru sadar kalau ternyata saya gak bawa tas. Gimana ya solusinya, apa boleh saya pulang dulu atau-"

"Ini saya ada handphone kak, bisa sekiranya kakak menghubungi seseorang yang bisa membantu ya." Ekspresi waiters itu berubah, memandang Adhara seakan penipu yang tidak akan dia biarkan lepas.

Adhara yang tadi meninggalkan keluarganya tiba-tiba, tidak mungkin akan menghubungi mereka. Gengsinya cukup besar meski dalam kondisi mendesak seperti ini sekalipun.

"Permisi..." Lelaki yang duduk di meja sebelah Adhara memanggil waiters itu, membuat sang pelayan beralih ke meja sebelah.

"Iya pak, ada yang bisa saya bantu?"

"Pesanan saya bawa ke meja sebelah ya, sekalian bill nya dia saya yang bayar."

Mendengar hal itu Adhara memandang ke arah meja sebelahnya, bertepatan dengan lelaki berusia sekitar 40 tahunan yang berjalan mendekati meja Adhara.

"Boleh saya duduk disini?" Izin pria itu terlebih dahulu, meminta persetujuan Adhara.

"Oh iya, boleh om. Makasih banyak ya sebelumnya."

"Tidak masalah. Begini juga lebih enak, saya jadi punya temen makan."

"Om memang sendirian aja?" Tanya Adhara basa basi.

"Yah begitulah. Saya lagi seneng traveling, tapi ya cuma bisa sendiri aja."

"Keluarga om gak ikut?" Mendengar hal itu, pria itu tertawa.

"Ini apa gak mau kenalan dulu?" Lelaki itu mengalihkan topik.

"Oh iya, saya Adhara om." Adhara memperkenalkan diri sembari berjabat tangan. "Harry" balas pria itu.

"Nama kamu bagus, Adhara." Adhara hanya tersenyum mendengarnya. Hening beberapa saat sebelum akhirnya Harry kembali bersuara.

"Keluarga saya ya cuma orangtua saya. Diusia mereka sekarang, kayanya lebih baik banyak menghabiskan waktu untuk istirahat dibandingkan harus mengikuti hobi baru saya yang melelahkan ini." Pelan-pelan Harry menjelaskan perihal keluarganya.

"Maaf om Harry kalau saya lancang, om ... Tidak menikah?" Tanya Adhara hati-hati. Ia tau ini tidak sopan, tapi rasa penasarannya mengalahkan etikanya hingga akhirnya ia nekat menanyakan hal itu.

"Hidup saya terlalu rumit Dhar, istilahnya penuh plot twist lah ya. Sampai akhirnya saya berada di titik ini, hidup yang kadang terasa kosong." Adhara diam, merasa tidak pantas untuk melanjutkan pembicaraan ini ketika Harry mulai menampilkan ekspresi sedihnya.

"Oh iya, om Harry dari mana asalnya?"

"Saya dari Australia."

"Tapi kok bisa ba-"

"Sekarang memang tinggal disana, tapi saya besar di Indonesia. Makanya bisa lancar ngomongnya." Adhara belum selesai berbicara, tapi Harry sudah mengerti maksud dari pertanyaan itu.

"Aduh gara-gara saya jadi kebanyakan ngobrol ya, makanannya malah dianggurin. Ayo dimakan dulu Dhar." Setelahnya Adhara dan Harry pun mulai menyantap makanan mereka.

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang