012

40.6K 564 2
                                    

"Abang, boleh Adhara nanya sesuatu?" Ujar Adhara menatap Ian dengan serius.

Berjam-jam waktu telah Adhara habiskan di kantor untuk menemani sang Abang menyelesaikan pekerjaannya. Ketika waktu sudah menunjukkan sore hari, satu persatu karyawan bubar diikuti dengan Ian dan Adhara yang juga akan bergegas pulang.

Brian mengikuti rapat siang tadi, itulah mengapa ia tidak sempat bertemu dengan kedua anaknya yang datang ke kantor hari ini. Ian bebas dari amarah Brian, dan Adhara juga tidak akan di interogasi mengenai kebolosannya hari ini.

"Mau tanya apa, babe?" Satu kata itu berhasil membuat Adhara melotot sebal, merasa kesal dengan abangnya yang semakin berani.

Saat ini mereka sedang duduk disalah satu taman yang tidak jauh dari komplek rumah mereka. Adhara melihat penjual es serut yang merupakan favoritnya, memaksa Ian untuk mampir sebentar.

"Gak usah kaya gitu bang, nanti ada yang denger." Ujar Adhara memberi peringatan.

"So, why? You my baby, my little sister."

"Fine. Yaudah lah balik aja yuk"

"Loh, tadi katanya mau nanya sesuatu?" Ian masih belum bangkit dari duduknya, memandang Adhara yang sudah berdiri dan bersiap pergi.

"Ga jadi, udah gak mood."

"Humm, dasar perempuan. Yaudah deh, ayo balik" Ian berdiri dan menyamakan posisinya disamping Adhara, kemudian merangkul bahu gadis itu, membuat warna merah padam terbit di telinganya.

"Eh ada Adhara. Udah lama ga keliatan main di komplek sejak masuk SMA. Makin cantik aja ya?" Saat hendak jalan menuju mobil, Adhara dan Ian bertemu dengan ibu-ibu komplek yang sepertinya merupakan tetangga mereka juga.

"Ah iya Tante, bisa aja." Adhara hanya tersenyum dan tertawa canggung, tidak biasa berbicara dengan ibu-ibu tetangga disekitarnya. Tak lupa Adhara memaksa tangan Ian untuk lepas dari pundaknya.

"Siapa ini, pacarnya kamu Adhara?"

"Bukan Tante, ini bang Ian."

"Loh, Sebastian? Yaampun, udah lama gak keliatan, pangling deh Tante. Anaknya pak Brian emang pada cakep-cakep semua ya." Ibu itu terus saja mengoceh panjang lebar, membuat Adhara dan Ian agak kewalahan menanggapinya.

"Haha iya nih Tan, emang udah lama gak balik kan ya."

"Bener, Tante pikir gak bakal ketemu kamu lagi. Tante sempet panik kirain tadi pacarnya Adhara, kalau sampai anak Tante tau, aduh aduh pusing Tante gimana jelasinnya biar dia gak galau. Udah suka sama Adhara dari jaman SD loh, kamu masih belum mau juga Dhar?"

"Ahahaha, Tante ... Adik saya emang cantik banget, tapi masih terlalu kecil buat yang kaya gituan. Kami pulang dulu ya Tan, udah sore."

"Oh iya, hati-hati."

Ian tidak tahan lagi mendengar ocehan wanita tua itu. Membuatnya mengehentikan pembicaraan mereka dengan paksa. Adhara yang ditarik hanya diam saja, dia juga malas membahas hal yang sama berulang kali tiap bertemu dengan Tante Hesti. Iya, nama setengah baya itu adalah Hesti.

"Kamu kenal sama anaknya Tante tadi?" Tanya Ian penuh selidik.

"Temen SD Adhara."

"Temen SD doang?"

"Iya SMP dan SMA masih satu sekolah, tapi gak pernah sekelas lagi."

"Dia suka sama kamu?"

"Mana Adhara tau, Tante itu doang yang selalu ngomong gitu."

"Saya gak mau ada cowok-cowok yang suka sama kamu." Kata-kata Ian benar-benar berhasil membuat Adhara ternganga.

"Abang gila ya? Gak sampai segitunya juga kali."

"Segitunya Dhar. Kamu cantik, dan membayangkan bagaimana laki-laki bajingan diluar sana melihat kecantikan kamu membuat saya marah. Saya mau wajah kamu ini cuma untuk saya."

Adhara menepis tangan Ian yang menyentuh wajahnya. Posesif nya Ian benar-benar membuat perasaan Adhara campur aduk, disatu sisi ia senang diperhatikan, namun disisi lain merasa ngeri mendengar tiap kalimat yang diucapkan oleh Ian.

"Cuma untuk sebulan kedepan aja Adhara diam dan ngikutin kelakuan gila Abang, jangan berlebihan, semua ini bakal berakhir."

Segera Adhara keluar dari mobil Ian, mereka memang sudah sampai di rumah sejak beberapa waktu lalu. Ian tersenyum miring, merasa semakin tertantang dengan penolakan keras Adhara.

___________

"Papa dan mama seneng banget kalian bisa akrab kaya sekarang." Ujar Brian ketika mereka sedang berkumpul di ruang keluarga bersama.

Melihat bagaimana Ian usil mengganggu Adhara yang sibuk dengan handphone nya membuat rasa hangat menjalar di relung hati orangtua mereka. Inilah persaudaraan yang seharusnya, tidak seperti sebelumnya yang nyaris tanpa bicara.

"Makasih ya Ian, kamu bisa menerima mama dan juga Adhara. Perlahan-lahan tidak masalah, dengan kamu tidak membenci mama dan Adhara itu udah bikin mama seneng banget."

"Syutt, Sintia kamu ini ngomong apa." Brian tidak senang mendengar perkataan istrinya itu.

"Ma, kepergian Ian selama ini karena emang mau mandiri, tidak ada maksud lain. Ian sama sekali gak pernah benci sama mama apalagi Adhara, Ian sayang sama Adhara."

Perkataan Ian itu diikutin dengan dirinya yang mengacak rambut Adhara dan kemudian merangkul bahu wanita yang duduk tepat di sebelahnya itu.

Membuat Sintia benar-benar tersenyum bahagia sementara Adhara menahan diri untuk tidak segera menghempaskan tangan laki-laki itu dari tubuhnya. Ia tidak ingin melihat Sintia kecewa jika benar-benar melakukan hal itu.

"Nah, biar keluarga kita makin harmonis lagi papa ada rencana nih. Sebentar lagi Adhara kan tamat, bagaimana jika kita melakukan perayaan untuk kelulusan Adhara?" Tawaran Brian membuat Adhara sumringah.

"Perayaan? Perayaaan apa pa?" Tanya Adhara penuh antusias.

"Kalau soal itu tergantung bagaimana pencapaian kamu. Jika nilainya memuaskan, baru akan kita rayakan."
Adhara merengut, hilang sudah setitik harapannya.

"Kasih tau dulu dong pa apa perayaannya, biar Adhara punya motivasi."

"Oke. Ini hanya untuk kamu jika berhasil dapat nilai diatas 8 ya, dibawah itu papa tidak akan kasih apapun. Nah kalau nilai akhir kamu 8 keatas, papa bakal renov kamar kamu seperti yang kamu minta kemaren, tapi Kalau nilai kamu 9, kita bakal jalan keluar negeri dengan bonus satu barang apapun yang kamu mau. Dan mungkin kalau papa lagi baik, renov kamarnya bisa tetap dilakukan juga."

Mendengar hal itu wajah Adhara kembali sumringah, Sintia hanya bisa geleng-geleng kepala, hafal sekali bagaimana anaknya itu.

"Tapi tetep harus yang masuk akal ya Dhar kalau minta barang." Ujar Sintia mengingatkan.

"Mama tenang aja!" Adhara mengangguk senang, membulatkan tekad untuk belajar keras menjelang ujian kelulusannya sebentar lagi.

"Abang juga bakal kasih hadiah nanti" ujar Ian menimpali, membuat ketiganya memandang ke arahnya hampir serentak.

"Tapi hadiah dari Abang masih rahasia." Ian memberikan tatapan penuh arti pada Adhara, yang sepertinya tidak disadari oleh wanita itu.

"Oke, kalau kaya gini Adhara jadi makin semangat belajar nihh. Tunggu aja ya, Adhara pasti berhasil. Papa sama Abang siapin deh hadiahnya dari sekarang." Adhara terlihat sangat percaya diri untuk sesuatu yang sebenarnya dia sendiri pun masih tidak yakin.

Jangan lupa vote dan komen!

Brother [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang