29. Ketimpuk Bata

231 43 1
                                    

TEU-HA!




Alena sama Yedam yang baru aja nyampe di kosan langsung disambut Jeongwoo, Junghwan, Doyoung, dan Pak Asep yang lagi main badminton di jalan depan rumah.

"Lah, Bapak ikut main?" tawa Alena.

"Iya, Non. Tadi diajakin main sama yang lain, soalnya Dek Asahi gak jadi ikut main," jelas Pak Asep beringsut membuka pagar rumah agar Yedam bisa memasukkan motor.

"Kenapa gak jadi?" tanya Alena, "lu kenapa udah pulang, Wan?

Junghwan tertawa, "Kak Asahi gak bisa main. Toko bunganya hari ini tutup, makanya Wawan gak kerja."

Jeongwoo tiba-tiba masuk ngikutin Yedam. "Yedam, Yedam, Bang Yedam," panggilnya bernada.

Yedam terkekeh, "Kenapa, dah?"

"Bawa oleh-oleh?" tanya yang lebih muda dengan cengiran khasnya.

"Bawa!" seru Alena menyusul mereka sambil mengangkat box isi donat kopi, "Junghwan, donat!"

Junghwan yang lagi main badminton 2 vs 1 langsung nengok. Senyumnya mengembang sempurna. "Yay! Makasih Kak Alen. Sayang banget," pekiknya berlari dan memeluk Alena.

"Dek, mainnya udahan?" Doyoung memutar-mutar raketnya.

"Belum. Kak Uwoo, ayok! Donatnya simpen dulu aja ya, Kak. Nanti kita makan bareng-bareng," pesan Junghwan sebelum sedikit berlari dengan Jeongwoo ke arah Doyoung.

Alena mengembus napas geli. "Junghwan gemes banget. Dikasih donat aja serasa dikasih berlian."

"Ya, donat itu berliannya dia," balas Yedam.

Sesuai ucapan Junghwan, Alena memasuki rumah kosan dan beralih ke dapur buat masukin donatnya ke lemari pendingin. Selesai mencuci kaki dan tangan, pandangannya mengarah pada kamar Mashiho yang tertutup rapat.

Helaan napas kasar Alena keluarkan begitu menaiki tangga ke lantai tiga. Capek. Alena tergolong remaja jompo soalnya.

"Udah lama gue gak baca di perpustakaan mini. Terakhir cuma naroh buku novel karya gue," bisik Alena menghirup aroma buku yang memabukkan.

Mengempaskan diri pada satu-satunya sofa di sana, Alena menarik satu buku bertema fantasi di sampingnya. Entah kenapa ia jadi ingin membaca.

Pikirannya terbawa imajinasi indah yang diciptakan oleh untaian aksara yang ditulis apik menghias tiap lembarnya. Ditambah alunan petik gitar yang tak jauh dari tempat Alena duduk mengistirahatkan diri.

"Why can't I hold you in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
'Cause I'm yours ...."

Tersadar kalau suara yang melelehkan gendang telinganya bukan berasal dari alam bawah sadar, Alena meninggalkan fokusnya pada buku dan mencari sumber suara.

"Yedam," terka Alena. Suara indah dan petikan gitar membuat tungkainya melangkah ke sumber suara; balkon lantai tiga.

Benar saja. Yedam ada di sana, tengah duduk berselonjor sambil bersandar pada dinding. Mata rubahnya terpejam sambil bibirnya terus bergerak melantunkan lagu paling galau yang Alena tahu.

Memetik nada terakhir lagu, Yedam membuka mata bersamaan dengan berakhirnya petikan gitar.

Tepukan tangan Alena membuat Yedam mendongak. "Dari kapan di sana?"

"Dari tadi," jawab Alena turut duduk di sebelah Yedam, sedangkan Yedam sedikit bergeser untuk memberi tempat. "Lu sering main gitar di sini?"

Yedam mengangguk. "Tempatnya enak. Kadang Kak Sahi juga nemenin gue di sini sambil baca buku. Dia bilang kalau dia suka suara gue yang bisa bikin dia nyaman pas baca buku."

𝙆𝙤𝙨𝙖𝙣 𝘼𝙡𝙚𝙣 || 𝙏𝙧𝙚𝙖𝙨𝙪𝙧𝙚『√』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang