Alkohol

1.7K 46 4
                                    

https://open.spotify.com/playlist/7dwRipAdV3DYJcptH8pAAn?si=St15KWaKR9m9DkRrQSovOQ


Wendy berjalan terhuyung-huyung dengan keseimbangan yang berantakan, sesekali ia akan terjatuh, bahkan tak sengaja menabrak pejalan kaki di sekelilingnya, tak peduli tatapan nanar dan cibiran yang orang-orang lontarkan padanya. Ia memegangi kepala yang terasa berat dan sangat sakit, bahkan rasa mual yang juga menyelimuti tak menghalangi niat nya untuk tetap melanjutkan jalan pulang.


Malam ini, tepatnya hari ke 183 ia pulang lewat tengah dini hari dalam keadaan menangis dan mabuk. Tubuhnya, bahkan wajah yang tak terawat lagi itu menunjukan kalau mereka tak kuat menahan semuanya. Kadang, sesekali ia menangis terisak di pinggir jalan sembari memegang botol minuman keras disalah satu tangannya, sampai ia merasa mual dan memuntahkan semua isi perutnya, barulah ia merasa lega.


Bedanya, kali ini Wendy tak menangis, mungkin tak lagi bisa. Hanya pikiran yang sedang semrawut dan suara-suara berisik yang tak kunjung berenti di kepala yang menemaninya pulang hingga sampai dengan selamat di rumahnya yang tak lagi terasa 'nyaman'.

Ia menutup pintu dengan rapat, menghidupkan satu lampu di ruang tengah agar ada sedikit cahaya yang menerangi ruangan yang sebelumnya gelap gulita. Ia rebahkan tubuh rapuh itu pada sofa kecil yang seharusnya tak muat menampung seluruh anggota tubuhnya, perlahan sambil memijit kepalanya yang semakin pusing, ia pun mulai memejamkan matanya hingga tertidur.

Wendy hanya punya waktu tiga jam untuk beristirahat sebelum alarm berdering keras untuk membangunkannya dari realita.





Flashback

Wendy tidur dengan sangat lelap, tangan kanannya terasa berat karena memeluk tubuh seseorang yang ia cintai semalaman, ia tak pernah mengeluh karena rasa cinta nya lebih besar dari rasa pegal tersebut, dan seperti biasa diantara keduanya, yang akan bangun pertama kali pasti wanita yang lebih tua berambut panjang di sebelahnya yang kini memeluknya makin erat sembari mencium pipinya, berulang-ulang mencium pipi hingga lehernya sampai gadis berambut pendek itu terbangun. Wendy pun berhasil membuka kedua matanya, lalu tersenyum tanpa sadar saat menatap orang yang paling ia cintai itu masih berada di pelukannya yang kini juga tersenyum menatapnya. Betapa bersyukurnya dia bisa melihat paras indah yang di ciptakan Tuhan pada gadis ini, setiap pagi bahkan sebelum terlelap, di dalam hatinya ia pun berdoa, semoga ia bisa merasakan seluruh momen ini hingga ajal menjemputnya. Ia kecup bibir tipis merona itu dengan penus kasih dan sayang.

"goodmorning, sweetheart.." ucapnya dengan parau

"goodmorning, my love" balas gadis itu dengan manja.

Keduanya kembali menautkan bibir mereka dalam damai, sesekali suara kecupan terdengar lantang di kamar yang tak terlalu luas namun cukup nyaman untuk di tempati berdua.

"kayaknya di cium lebih ampuh daripada harus perlu buang suara buat bangunin kamu, kamu tidur udah mirip orang mati tau ga?" ujar gadis yang lebih tua,

"kalo gitu hape nya aku buang aja kali ya?"ucapnya sembari menggenggam ponsel yang ada di samping nakas, tangannya berpura-pura akan membuang nya.

"ih kenapa? jangan dong sayang!"hardik gadis itu, cukup kaget akan apa yang ia liat

"soalnya biar bibir kamu yang gantiin dia jadi alarmku tiap pagi" Wendy tersenyum lebar, lalu kembali meletakan ponsel itu kembali pada tempatnya.

"cheesy!"gadis kini menggelitiki pinggang Wendy karena kesal, namun disisi lain ia tersenyum malu akan godaan yang ia dengar barusan

kedua nya tertawa bersama akibat lelucon receh yang ia lontarkan pagi ini, tak lupa kembali berpelukan untuk melanjutkan kemalasan pada minggu pagi yang sedang hujan.





Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang