Home?

177 24 11
                                    

Gak ada yang mau jadi penjahat dalam hubungan sendiri yang sudah susah payah di bangun sejak awal, apalagi dengan bangga mengakui kesalahan yang dia buat.

Yap, Wendy lagi dilemma berat,

Pagi-pagi buta begini dia udah di apartement mantannya dengan sejuta pertanyaan di kepala, kenapa dia dengan sukarela menginjakan kaki disini? Gak ada yang tahu pasti soal jawaban itu.

"Demi tuhan, Rene. Kalau bawa mobil itu hati-hati. Untung lo gak kenapa-kenapa"

Irene cuma diam, tubuhnya masih syock berat karena kebayang kejadian satu jam yang lalu, saat mobil nya gak sengaja nabrak pohon akibat terlalu banyak terpengaruh alkohol.

"Kan gue udah bilang, gue gak suka lihat lo minum-minum kayak gini, tubuh lo gak kuat, tau gak?"

Bukan di sengaja, Irene cuma terjebak sama pertemuan bareng teman-teman sekolah nya yang ngadain pesta reunian, berujung dengan acara minum-minum yang gak bisa dia tolak.

"Terus lo doang yang boleh minum? Gue enggak? Ngaca deh sana!"

Wendy bungkam, kepalanya sibuk mikirin jawaban apa yang harus dia ucapkan untuk melawan sisi keras kepala wanita yang lebih tua.

"Iyaa, gue salah karena udah jadi pecandu, tapi gue udah ngurangin kok, gue juga udah jarang buat party gak jelas"

Irene mendelik menatap nya dengan malas, ia berusaha bangkit dari sofa meski agak susah untuk berjalan,

Dengan sigap, Wendy juga bangkit dari posisi duduknya untuk membopong wanita itu bersamanya, meski awalnya sempat menolak, akhirnya Irene menerima pertolongan tadi.

Sampailah mereka di kamar yang berukuran tak terlalu luas, namun gak terlalu sempit juga. Cukup untuk di tinggali seorang diri.

"Kok gaada foto lo bareng Mingyu?"

"Ngapain juga, toh dia gak tinggal disini"

"Oh"

Wendy kembali diam, lalu memperhatikan sekeliling ruangan dengan serius, Sementara Irene menepuk sisi kasurnya untuk Wendy dudukin.

"Sorry ya, apart gue gak segede yang lo bayangin"

"Santai, Rene. Udah bisa tinggal sendiri kayak gini juga udah keren, akhirnya lo bisa lepas dari bayang-bayang bokap"

"Iyaa, tapi tetep aja gue harus ngejalani hidup sesuai ekspetasi dia, termasuk buat nikah sama lelaki pilihannya"

"Lo bahagia gak, Rene?"

Wendy merebahkan dirinya di kasur itu, tepat di sebelah tubuh Irene yang sedang duduk bersandar pada sandaran kasur. Ia menatap langit-langit kamar yang di dominasi dengan plafon berwarna putih gading.

"Gue gak tau, mungkin gaakan pernah tau. Seumur hidup, gue cuma berani buat ambil keputusan sendiri waktu pacaran sama lo doang, Wen. Sisanya? Gue cuma hidup ngikutin alur yang udah papi siapin buat gue.."

"... Tapi, kayak yang lo pernah bilang, hidup tetap harus berjalan kan?"

Kini, kedua mata itu menatap Irene dengan lamat, sedikit tersentuh sama kata-kata yang baru keluar dari mulut orang di sebelahnya.

Merasa di tatap, Irene juga ikut mengalihkan pandangannya ke orang tersebut, lalu ia mengelus rambut Wendy dengan lembut,

"Lo gak pergi kerja, udah jam segini juga?"

"Gue udah ijin ke Kak Taeyeon kalo gue lagi sakit"

"Beneran gapapa? Kalau dia khawatir gimana?"

"Santai, dia juga lagi di Jepang bareng sekretarisnya"

"Dih, cemburu"

"Enggak, ngapain"

"Terus kenapa sewot gitu?"

"Ngapain gue cemburu, kan gue pasangannya, dia cuma sekretaris"

"Oh udah pacaran ternyata"

Irene menarik kembali tangannya dari rambut Wendy, entah kenapa dada nya terasa sakit dan panas secara bersamaan.

Mendadak dirinya merasa bersalah karena membawa Wendy kembali ke rumahnya, gak seharusnya orang yang sama-sama punya pasangan berada di satu ruangan yang sama kan?

Tapi mau gimana, Irene tadi total panik waktu mengalami kecelakaan tunggal, di pikirannya cuma satu, menghubungi Wendy di situasi begini diantara semua kontak yang ada di ponselnya, dan ternyata kontak daruratnya gak pernah berubah dari dulu, selalu nomor Wendy di urutan pertama.

"Lo cemburu ya?"

"Sama lo?"

Wendy mengangguk, kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Sementara Irene hanya menatapnya malas,

"Kalo iya, kenapa?"




Tbc.

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang