Everybody hurts sometimes.

166 20 5
                                    

"Enteng banget kalo ngomong"

Saut Irene dengan sebal, perempuan satu ini kalau di biarin gitu aja bakal semena-mena sama perasaannya, kan Irene jadi kalut sendiri jadinya.

Dia pergi gitu aja ninggalin sosok Wendy yang cuma bisa bengong natap kepergiannya yang terkesan mendadak.

Emang sih niatnya Wendy cuma mau ngecairin suasana, takut kaku banget. Tapi gak berekspetasi jikalau perempuan yang lebih tua bakal ketus responnya.

Lagian siapa coba yang gak nolak ciuman? Apalagi sama cewek paling cantik seantero bumi, siapaaa?!

Dia masih ingat jelas betapa liarnya pergerakan dari mama muda itu, beliau naik kepangkuan Wendy dan langsung mencumbunya dengan mesra. Alhasil malam itu, mereka kembali perang lumatan setelah sekian lama tak berkabar.

Wendy menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia berusaha membuang pikiran kotor itu agar tak mempengaruhi harinya yang suci.

Ia segera bangkit dari posisi yang semula duduk bersila, untuk menyusul Irene yang ternyata sedang menyiapkan beberapa bahan masakan di dapur.

"Mau aku bantuin?"

"Boleh kalau gak ngerepotin kamu"

"Kalau repot gak mungkin aku nawarin bantuan kan? So, no worries"

Mereka sepakat untuk menyudahi obrolan itu, dan bergegas untuk memasak keperluan makan malam. Mumpung sang anak sedang pulas, jadi bisa bergerak bebas untuk nyiapin semuanya.

Menu makan malam kali ini cukup sederhana, dua porsi fusilli pesto dan juga beberapa potongan buah sebagai hidangan penutup, maklum yaa isi kulkas milik Irene gak terlalu banyak, selain belum sempat belanja bulanan, dia juga terbiasa masak sesuatu yang bisa di sajikan dengan cepat dan efisien, contohnya kayak pasta gini.

Selesai masak, Wendy ijin sebentar buat beresin beberapa bajunya yang dia bawa untuk di letakan di lemari kamar tamu, yang nantinya akan di gunakan sebagai kamar Lilly, karena anaknya juga belum bisa di biarin tidur sendiri makanya sekarang di jadikan kamar tamu semata.

Selesai membersihkan diri, dan mengisi perut masing-masing. Ketiga nya mutusin buat jalan keluar sebentar untuk cari udara segar. Mumpung bentar lagi suasana natal. Sekalian deh Wendy ngide ngajak sepasang ibu dan anak itu untuk belanja bulanan, dia paling gak bisa lihat kulkas yang kosong melompong kayak gitu.

Keduanya secara bergantian mendorong stroller, menyusuri beberapa toko yang terletak di dalam mall terbesar di kota ini. Beberapa pasang mata sejak tadi mencuri pandang kearah kedua perempuan dewasa ini, cukup aneh melihat pasangan sejenis yang membopong anak bayi di dalam kencan mereka, setidaknya orang-orang beranggapan begitu.

Wendy cuek bebek menanggapi tatapan aneh yang di tujukan kearah nya, toh dia udah terbiasa hidup lama di eropa, yang di kelilingi dengan rasa toleransi tingkat tinggi, terutama pada hubungan sejenis. Jadi, ngadepin reaksi negatif dari negara konservatif di negeri asalnya ini bikin dia udah mulai kebal, toh aslinya juga dia sama Irene bukan pasangan kan?

"Aku lihat-lihat ke dalam dulu ya? Ada yang pengen aku cari"

Irene mengangguk mengiyakan ucapan Wendy yang terlihat antusias dari sorot matanya, dari ijinnya yang terkesan mendadak itu, sosok yang lebih muda langsung menghilang dari hadapannya.

Satu menit,

Hingga setengah jam berlalu.
Akhirnya Sosok Wendy kembali muncul dari kerumunan dan lalu lalang manusia yang menghabiskan waktunya di mall ini. Maklum, waktu-waktu menjelang natal gini sering bertaburan diskon, siapa coba yang gak mau rugi.

Wanita yang kini genap berumur tiga puluh satu itu tersenyum dengan sumringah sembari membawa tiga sampai empat kantong belanjaan di tangannya. Dengan satu tangan menjuntai kearahnya, Irene menerima dua kantong belanjaan tadi, sesuai dengan kode yang Wendy buat dari bibir tebalnya.

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang