Wendy berjalan terhuyung menaiki lift menuju lantai apartemennya yang terletak belasan lantai di atas, kaki udah tak sanggup menopang tubuh yang terlihat kelelahan karena hati yang kian terluka. Pulang dengan keadaan hampa sama saja rasanya dengan hari-hari yang berat untuk lepas dari alkohol, sama-sama berat untuk di jalani.
Ia gak sengaja ketemu sosok Irene di ujung lorong lantai delapan belas, tepat dimana kamarnya berada. Ia bahkan mengucek mata itu berulang kali karena gak percaya, gak mungkin juga kan halu jam segini, toh langit masih cerah karena waktu masih nunjukin pukul empat sore.
Mata mereka bertatapan dari jauh, dan sampai detik ini juga waktu kaki Wendy tepat berdiri persis di depan wanita berambut panjang ini, ia masih enggan memutuskan kontak mata itu.
"Kok kamu disini?" satu sapaan pelan dari Wendy yang terdengar lemah tanpa energi, tentu aja Irene nangkap sinyal itu dengan baik, ia menyerahkan satu kantung belanja berisi cake yang Wendy hafal mati merk kantung belanjaan itu, toko kue Seulgi.
"Ini di makan, masih anget aku bawa dari toko Seulgi. Katanya kalau orang lagi patah hati bisa sembuh kalau makan sesuatu yang dia suka. Btw, aku juga bawain kamu americano kok"
Wendy mengangguk sembari menerima kantung belanjaan itu dengan senang, meski gak di pungkiri kalau hatinya masih aja sakit.
"Mau mampir?" tawarnya sambil membuka pintu dengan satu tangan, sementara tawaran itu di jawab dengan satu gelengan kepala.
Irene tersenyum manis, ia memperlihatkan ponselnya yang menunjukan waktu sekarang.
"Aku ada jadwal konsul ke dokter gigi buat Lilly, mungkin lain kali?" tanya lagi.
Wendy mengangguk paham, dia berterimakasih kepada wanita yang sekarang resmi menjadi temannya, dia juga bersyukur kalau Irene masih perduli begini waktu dia cerita kalau dirinya baru aja dilanda patah hati.
Temannya itu terlalu perduli sampai-sampai langsung berkunjung dan membawakannya sepotong kue sponge favoritnya untuk menemani kegalauan hari ini, semesta teramat baik untuknya bukan?
Mereka berdua berpisah gitu aja, Wendy menutup pintu apartnya dengan rapat sebelum benar-benar membuka isi kantung belanjaan itu.
Dan disinilah dia sekarang, duduk di meja makan apartnya yang mulai terasa sepi diisi seorang diri. Dia menikmati kue sponge dan ice americano itu dengan perasaan sedih yang enggan berkesudahaan. Tapi tangisan itu gak berlangsung lama sampai ada satu panggilang telepon dari ponselnya.
Dengan satu usapan tangan, dia menerima panggilan itu.
"Hai Jonny, apa kabar?"
Lelaki di sebrang suara menyapanya dengan hangat, partner bisnisnya itu menjawab pertnyaan sapaan itu dengan riang.
"Baik, lo kapan balik? Studio mau gue pake buat project bareng Giselle" Jonny Suh, lelaki berumur tiga puluhan itu berkata dengan lugas, ia merupakan teman Wendy di Skotlandia, ketiga nya tepat bersama Giselle membuka bisnis bersama. Satu bangunan yang mereka beli memiliki tiga lantai, lantai satu yang di gunakan sebagai coffee shop, lantai dua studio dan lantai tiganya kantor mereka.
Mereka bertiga memutuskan untuk membuat agensi kecil-kecilan, yang bergerak di bidang musik, berhubung Jonny mantan trainee dan Giselle seorang penulis lagu yang bergerak secara independent, dan Wendy pernah bekerja di bidang penyiaran selama bertahun-tahun bikin mereka klop karena punya satu visi dan misi yang sama.
Bedanya, Wendy udah gak mau terlalu menyelami pekerjaannya lagi, jadinya dia lebih fokus ke kedai kopinya, sesekali membantu Jonny dan Giselle untuk memberi arahan sesuai pengalamannya.
"Gak tau pasti, mungkin bulan depan. Masih banyak yang harus gue urus disini, pakai aja kan punya kalian juga itu studio" ucapnya setengah berbohong, toh dari kemarin kerjaannya nangis mulu kayak remaja yang baru putus cinta.