Picnic

147 20 3
                                    

Gadis kecil yang baru bisa berjalan dan sedikit berlari itu kini mengintari ruang Tv kecil milik Wendy dengan riang dengan kaki mungilnya, di usianya yang baru menginjak tiga tahun itu bikin metabolisme tubuh lagi aktif-aktifnya, bikin energi gak habis sejak tadi bertandang ke rumah ini.

Wendy memijit kepalanya yang mulai pusing, salah dia sih biarin Lilly tidur lama dari sore tadi, jadinya pas malam hari jadi aktif pake banget. Tapi tentu aja dia gak bisa marah, terutama ke anak kecil yang belum terlalu mengerti perihal dunia, Wendy biarin Lilly gitu aja buat eksplore seisi rumahnya sambil dia pantau dari jauh.

Di meja makan, dia lagi nyoba ngabisin kue yang tadi dia bungkus dari toko kue langganannya, sebab Irene terlalu banyak mesen buat mereka, alhasil mau gak mau di habisin hari ini kan? Kalau besok takut keburu basi, toh dia tau kalau kue-kue nya Seulgi gak pernah pake pengawet.

Dia sambil nonton beberapa drama di ipad nya, rencana sih malam ini mau namatin serial favoritnya yakni The first responden yang masih stuck di season pertama, maklum Wendy tipikal orang yang gak terlalu ngikutin trend, pas udah gak terlalu hype baru deh dia nonton. Itupun kalau alur ceritanya memang bagus.

Sesekali dia natap kearah Lilly yang mulai naik keatas sofa, gadis kecil itu sekarang sedang main sama boneka Dino yang baru aja mereka beli di toko mainan di sebelah gedung apartemen ini, ngeliat bocah kecil itu tertawa sambil meluk boneka nya, entah kenapa bikin naluri keibuan Wendy jadi muncul.

Dia ambil foto Lilly diam-diam sambil terkekeh geli, ngebayangi gimana ya lucunya Lilly ketika beranjak dewasa nanti. Pasti bakal secantik ibu nya kelak. Pasti bakal banyak yang jatuh cinta, kayak dia dulu yang terlalu di mabuk cinta sama pesona Irene.

Dia coba tepis pikiran bodoh itu dengan cepat, lalu beranjak untuk mengikuti Lilly yang lagi tiduran di sofa,

"Mau nonton Rapunzel?" tawarnya dengan lembut, sementara gadis itu mengangguk dengan antusias.

Mereka duduk bersebelahan, dengan sepotong kue yang belum habis masih saja ia pangku, walau sejujurnya Wendy agak bosen nonton film ini terus di sepanjang Lilly menginap di rumah, tapi mau gak mau kan tetap aja kudu di tonton. Yang penting si anak gak rewel.

Tapi gak sampai selesai, Lilly lebih dulu narik-narik kemeja biru milik Wendy, bikin wanita itu jadi bingung sendiri ini bayi mau nya apa.

Karena ngerasa Wendy gak ngerti, Lilly kini bangkit dari posisi duduk nya dan kini duduk tepat di pangkuannya, ia bahkan duduk menghadap tubuh Wendy dengan kedua tangan mungil yang mencoba memeluk tubuh dewasa itu.

"Oh mau di puk-puk yaa?"

Wendy langsung mengerti isyarat itu, dia pun kini memeluk tubuh kecil Lilly sambil mengelus kepala dan menepuk-nepuk pelan punggungnya.

"Kamu tuh kalo mode manja gini mirip banget sama mami mu, nyaman yaa di pelukan aku?"

Wendy terkekeh geli sendiri sama omongaannya yang gak mungkin di jawab sama anak itu, toh anaknya kini mulai tertidur lelap di dadanya. Dia jadi ingat sama kata-kata Irene soal Lilly yang bakal ngantukan kalau nyaman di dekat seseorang. Berarti dia memang bikin nyaman dong?

Bahkan deru nafas yang berat dari Lilly kini terasa menggelitik di kulitnya, entah kenapa bikin dia jauh lebih tenang. Bahkan rasa sedih yang sebenernya masih bersemayam di hati entah kenapa mulai berangsur ia lupakan. Wendy jadi mikir, mungkin ini salah satu alasan kenapa semua wanita di dunia ingin punya anak. Mungkin anak sendiri bisa jadi obat untuk rasa sakit mereka setelah seharian bekerja, terutama saat melihat seorang bayi tertidur lelap begini bikin hati jadi ikutan adem. Walau bukan darah daging sendiri, mungkin sekarang bisa di bilang kalau Wendy udah punya ikatan kuat sama anak ini.

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang