Tiga puluh satu,
Umur yang bisa dianggap sudah matang untuk menempah rumah tangga, walau sejujurnya Irene enggan buat menikah. Kalau bukan karena tuntutan orang tua, dia juga gak bakal kepikiran pacaran lagi atau bahkan tunangan setelah putus dari pacar pertama nya, yang gak lain dan tak bukan Wendy.
Kalau pernah denger pepatah soal 'cinta habis hanya untuk satu orang, sisanya cuma melanjutkan hidup' sangat cocok buat diri dia, yang mungkin gak bakal bisa secinta itu ke orang baru.
Soal Mingyu, lelaki itu memang pelan-pelan bisa luluhin hati keras nya Irene yang kayak batu, meskipun Irene gak bisa sepenuhnya cinta, tapi paling enggak dia mulai nyaman.
Walaupun sampai detik ini dia gak yakin soal menjalani seumur hidup dengan sang tunangan, tapi mau gak mau dia tetap harus nyoba kan? Toh hubungannya sama Wendy udah kepalang hancur tanpa sisa.
Kadang, di sela-sela kegiatan melamunnya, dia suka kepikiran, gimana ya jadinya kalau suatu saat mereka balikan dan mulai semuanya dari awal? Membayangkan Irene yang kembali buka butik kecil impiannya, dan Wendy dengan kerja kantoran, demi membangun keluarga kecil mereka. Tapi, makin di pikirin rasanya kok gak mungkin ya? Entah kenapa, meski tubuh mereka dekat lagi, rasanya semua angan-angan itu terbang sejauh mungkin.
Realita nampaknya udah nyadarin Irene soal pikiran bodoh itu. Hidupnya memang harus berjalan seperti kemauan sang ayah, untuk menikah dan hidup normal dengan lelaki pilihan.
Gak terasa udah berjam-jam dia nangis, apalagi waktu keinget kejadian kemarin wakti Mingyu mukulin Wendy, entah kenapa dia gak terima sama perlakuan lelaki itu. Dia juga gak terima waktu Mingyu ngancem bakal jahatin dan ngaduh ke ayahnya soal kedekatan mereka.
Yap, lelaki pecundang itu ngancem bakal ngelaporin Wendy ke ayah mertuanya, kalau sampai keduanya dekat-dekat lagi.
Meski sedih, tapi yang namanya udah terpatri jadi perempuan dewasa dia harus mikir realistis dong? Perasaan cinta nya yang tumbuh lagi ke wanita itu gak ada apa-apanya di banding keselamatan nyawa orang yang dia cintai. Irene ingat betul, waktu terakhir kali mereka berantem sebelum benar-benar putus. Perihal tatapan kecewa dan betapa tersakiti nya Wendy karena terror dari ayahnya.
Makanya, detik ini juga dia bertekad buat menjauh, dan menyudahi semuanya, terutama apa yang mereka mulai lagi, dengan kesalahan memadu cinta diam-diam.
Tapi tekadnya kadang suka pasang surut kayak ombak, dia suka sedih kalau ngebayangin wanita itu bareng orang lain. Apalagi kalau dia ternyata bisa lebih bahagia tanpa Irene? Wah, rasanya dunia gak adil!
Tapi kali ini dia meyakinkan diri lagi, meski harus ketemu wanita itu yang ngotot buat nelfonin dia berulang kali.
Meski pagi ini Irene udah berusaha buat ngabain pamggilan itu.
"Gue di depan kantor lo" suara Wendy berada di sebrang telepon, bikin Irene jadi serba salah.
Soalnya hari ini dia berencana pergi dengan Mingyu, tentu aja buat makan malam keluarga mereka, meski di dalam hatinya dia gak pengen ikut, tapi harus tetap dateng dong demi kebaikan kedua keluarga mereka.
"Mau ngapain?" Jawabnya ketus, dia lagi ngehindar banget buat ketemu Wendy, takut bakal terjadi hal-hal yang tak teringinkan dari mereka berdua.
Tapi kayaknya keputusan Wendy juga udah bulat buat ketemu dia.
"Udah sini, gue tunggu di mobil. Gue parkir di tempat biasa"
Panggilan telepon itu langsung terputus secara sepihak bikin Irene jadi kesel sendiri. Mau gak mau dia harus dateng juga kan? Takut juga kalau Wendy bakal nekat buat nyamperin ke dalam kantornya.
Sebenernya niat dia ngejauhin Wendy bukan semata-mata karena benci sama wanita itu, dia lebih mikirin apa kata orang tentang mereka, apalagi setelah kejadian berantem beberapa hari lalu. Orang-orang gak berhenti buat ngomongin mereka.
Karena itu Irene gak pengen staff di kantornya gosipin Wendy lagi yang notabenenya staff perusahaan yang lagi kerja sama mereka, bikin dunia persilatan gonjang ganjing.
Setelah sampai di depan mobil SUV putih itu, ia mengetuk kaca di kursi penumpang, gak lama Wendy ngebuka kaca sekaligus kunci dari pintunya untuk mempersilahkan Irene masuk sendiri.
"Ada apa?" Tanyanya lugas, tanpa ngelihat Wendy yang juga gak mau natap dia. Mereka berdua sama-sama lagi menghadap ke depan, liatin mobil-mobil yang lagi terparkir rapih di basement.
"Lo gak papa kan? Maksud gue, ada yang gangguin lo gak akhir-akhir ini?" Tanya Wendy dengan nada sedikit khawatir, meski ia coba sembunyikan.
"I'm good, memang nya kenapa?"
"Enggak, syukurdeh kalo gitu"
"Lo yakin jauh-jauh kesini cuma nanyain itu?"
"Iyaa, Rene. Gue mau minta maaf juga soal tempo kemarin, gak seharusnya gue ikut campur urusan lo"
Wendy, menarik dagu wanita di sampingnya, mengecek seluruh bagian wajah wanita itu apakah ada goresan atau lebam. Wendy kepikiran soal Mingyu yang mulai main tangan sama Irene, dan yaaa, dia kepikiran soal terror tadi pagi yang mungkin bakal di tujukan ke Irene.
"Apasih, lepas!" Irene menampar tangan Wendy dari wajahnya. Dia agak risih di pegang-pegang begini, lebih tepatnya takut baper lagi. Soalnya tekadnya juga udah bulat soal ngejauhin mantannya itu biar gak di ganggu Mingyu.
"Sorry.."
"Okaay, kita lurusin semuanya disini aja. Jujur gue minta maaf soal omongan gue tempo hari. Gue cuma gak mau lo jadi tontonan anak-anak di kantor cuma karena ngurusin hubungan gue yang rumit. Makasih buat semuanya, lo udah baik banget nolongin gue selama ini. Dan yaa, gue udah pikirin ini panjang lebar.."
Irene menatap Wendy dengan tatapan kosong, sejujurnya dia nahan nangis buat lanjutin perkataannya.
".. kita berdua udah punya pasangan, dan gue harus nikah sama dia tahun depan. Yeah, kita udahi semuanya sampai disini. Gue gamau lihat lo di depan mata kepala gue lagi kedepannya"
"Kenapa?"
"Ya lo gak pantes aja deket-deket gue, anggep aja soal kita having sex kemarin perkara have fun doang"
Wendy balik natap orang di sampingnya ini dengan tatapan nanar, isi pikirannya campur aduk sama kayak perasaannya yang pengen marah dan nangis denger kata-kata tadi. Kok dia bisa seenteng itu ngomong? Dia gak mikirin perasaan Wendy yang balik lagi buat dia?
"Lo yakin ngomong gini?"
Tanya nya dengan nada tegas, kedua manik matanya mencoba menatap mata itu dengan serius, tapi yang di tatap malah mengalihkan pandangan ke arah stir.
"Kalo ngomong itu tatap orangnya dong! Gue tanya sekali lagi, lo beneran udah gak punya perasaan apapun ke gue? Even sekecil pun?"
"Emang kurang jelas? Gue cuma main-main doang sama lo, puas?"
Waduuuh, Wendy gak kuat beneran.
Ini obrolan kalo di lanjuti pasti air mata nya bakal jatuh lagi. Gak etis dong mantan yang susah payah lo lupain lihat kelemahan lo gitu aja.
"Please keluar dari mobil gue sekarang juga,demi apapun lo orang paling brengsek yang pernah gue kenal" ucap Wendy sambil meremas kedua celana jeans nya dengan erat, bahkan dia enggan natap manik mata Irene yang kini juga menatap dia dengan mata yang berair.
Tbc.