Gak ada hal yang bisa bikin Irene patah hati di dunia ini kecuali Wendy, Irene bisa bersumpah untuk hal itu.
Banyak pertanyaan, 'mengapa mereka putus?' dan sampai detik ini pun Irene gakbisa kasih alasan pasti, kenapa ia ingin mengakhiri hubungan mereka. Yang pasti, Irene ngerasa kalau makin lama mereka emang gak lagi cocok jadi sepasang kekasih.
Meski ia yang pertama kali mengakhiri, gak di pungkiri juga kalau Irene juga masuk kategori sebagai orang yang tersakiti dalam kisah tragis ini. Melupakan cinta pertama itu perkara yang sulit, dan Irene percaya dia juga korban dari semesta yang jahat mempermainkan kehidupan mereka.
Orang bilang, cinta mereka cuma phase; soal pacaran sesama perempuan cuma buat dia eksplor seksualitasnya semata, gak lebih dari itu. Irene gak pernah percaya sama kata-kata itu, karena dia merasa perasaan mereka nyata, meski di jalani dengan gairah masa muda yang bergejolak, naik turun bagai ombak laut pasang surut. Namun saat itu, mereka berdua sangat berjuang untuk mempertahankan satu sama lain, meskipun pada akhirnya Irene kalah dan menyerah pada keadaan.
Hingga tibalah pada saat ini, fase dewasa yang suka menampar realita membawanya pada kisah baru dengan orang baru yang hadir menggantikan sosok Wendy, sang cinta pertama. Dengan seorang lelaki yang sebenernya Irene gak pernah jatuh cinta lagi.
Mingyu,
Lelaki yang umurnya jauh lebih muda itu menghampiri Irene dengan sebuket mawar merah di kedua tangannya, dengan senyuman lebarnya, lelaki itu menyerahkan bunga tersebut kepada wanita yang masih setia duduk di meja kerjanya.
Irene kaget dengan kedatangan lelaki ini yang terkesan mendadak, namun tetap nerima buket bunga itu meski dengan terpaksa, ia langsung letakan bunga itu di meja dengan sembarang tanpa mencium aromanya layaknya kaula muda, jujur Irene lebih suka di belikan komik seri terbaru di banding bunga.
Mereka berdua berpelukan sebentar, layaknya ritual biasa yang sering dilakukan, lalu ia melepaskan pelukan itu tanpa ekspresi apapun.
"kamu udah makan? nanti malam aku antar ke bandara ya?" ucap lelaki itu masih dengan perhatian tulus, sementara yang di tanya hanya mengangguk tak begitu peduli, lebih memilih memfokuskan pandangan pada tumpukan dokumen dan layar laptopnya.
"Papi nanyain kamu lagi, loh. Kapan kamu mau kerum..."
"Stop bawa-bawa papi kamu, muak tau gak? aku bukan anak papi mu"
Mingyu terdiam, rahangnya mengeras menahan malu dan amarah sekaligus. Tapi dengan lihai ia menahannya dengan tersenyum tipis. Sikap kasar dari wanita ini bukan sekali dua kali ia dapat, meski terbiasa tetap aja dia sakit hati. Buru-buru ia mengacak rambut wanita itu sebelum benar-benar meninggalkannya.
"Yaudah, aku minta maaf. Aku terlalu kangen sama kamu makanya cari-cari alasan biar kita bisa ketemu leluasa, tapi kayaknya kerjaan lebih penting kan? Nanti malam aku yang anter ya" kata-kata terakhir yang Mingyu berikan sebelum benar-benar pergi.
Sementara Irene, kini masih terpaku diam dalam duduknya, dengan sedikit perasaan bersalah. Ia pandangi buket bunga mawar itu, lalu dia buang begitu saja ke tempat sampah di bawah meja kerjanya.
Terlalu muak dengan bau semerbak bunga indah itu, yang kembali mengingatkannya pada Wendy. Yap, Irene selalu menghindari benda-benda yang mengingatkannya pada masa lalu, Irene ingin bernjak pergi, benar-benar pergi dari garis takdir kehidupannya.
