Snow

131 15 5
                                    

Note: Cerita ini masih di penuhi dengan kilas balik, selamat membaca!


"Kamu lagi bercanda kan, sayang? Ayo dong, aku mau kok nunggu kamu, tapi gak gini juga caranya. Kamu butuh waktu menghilang berapa lama lagi? Setahun? Dua tahun? Atau kamu mau nikah? Gapapa aku ijinin asal kita tetap bareng-bareng ya, Irene Sayang?" ucap Wendy penuh kelembutan, ia kini memeluk perut wanita itu dengan erat, ia tempelkan juga daun telinganya ke perut yang masih rata itu, mencoba mencari kebenaran; apa benar ada sebuah janin di sana.

Denger tutur kata barusan tentu aja bikin tangis Irene makin pecah, perempuan mana yang sanggup lihat orang yang dia sayang jadi kayak gini? Apalagi Wendy dari tadi berusaha dengan mati-matian buat gak nangis depan dia, bikin hati Irene makin sakit lihatnya.

Karena Irene makin kuat nangisnya, Wendy pun luluh. Rasa sakitnya barusan gak ada apa-apanya di banding lihat air mata wanita ini jatuh di depan mata kepalanya sendiri. Sekarang ia mulai bangkit dari posisinya untuk duduk, tepat di sebelah wanita yang lebih tua. Dia tarik tubuh Irene yang bergetar untuk tenggelam kepelukannya yang hangat.

Ia mengelus tubuh yang di baluti kemeja lengan panjang kotak-kotak itu dengan lembut, seperti sosok ibu yang memomong buah hatinya untuk segera pergi tidur.

"Udah berapa bulan?" tanya lembut, tangan yang bebas ia pakai untuk membuka dua kancing bawah kemeja itu, lalu mulai mengelus perut yang ternyata mulai sedikit membesar dari ukuran biasanya. Dalam diam ia meringgis sedih, membayangkan seberapa pandai wanita di sampingnya ini menyembunyikan semuanya. Apalagi mengingat awal kehamilan pasti berat gejalanya.

"Jalan lima, Wen. Awalnya aku mau gugurin kandunganku, apalagi semenjak mulai dekat sama kamu lagi aku makin ragu buat besarin dia. Aku pengen kita bareng-bareng kayak dulu, bahkan aku kepikiran untuk nerima tawaran kamu untuk pergi dari kota ini dan mulai semuanya dari awal. Tapi makin hari, makin aku pikirin bikin aku makin ragu. Bayi ini gak salah apapun, begitu juga dengan Mingyu. Aku gak tega kalau harus misahin mereka karena dosa yang kita buat.. Maafin aku ya, maafin aku karena gak berani jujur dari awal"

"Sssttt.. Yaudah gapapa, aku juga jadi ngerasa bersalah karena sering maksa kamu berhubungan tanpa tau ada janin di dalam. Maafin aku ya? Aduh aku gak tau nama dede nya hehe" ucapnya sembari tertawa, mungkin detik ini juga Wendy makin lihai dalam menyembunyikan emosinya.

Bahkan sekarang ia menundukan kepalanya untuk mencium perut itu, berkali-kali dengan sayang. Sampai pada kecupan terakhir kali bikin Wendy udah gak kuat, tangis itu akhirnya pecah juga.

Ia memeluk perut itu lagi, bahkan kepalanya ia biarkan untuk tenggelam disana. Tangisan itu ia buat tak bersuara meski tubuhnya bergetar dengan hebat.

Dalam hatinya ia merutuki, kenapa semesta sekejam ini sama kisah cinta nya. Bahkan Wendy gak bisa ngebayangi gimana sosok Irene yang bakal menjadi seorang ibu yang baik untuk anaknya kelak, bahkan mungkin juga menjadi sosok istri yang baik untuk keluarganya. Gambaran indah tentang keluarga kecil itu entah mengapa bikin hatinya jadi teriris, terlalu pedih membayangkan hilangnya sosok Wendy diantara khayalan kecil itu.

"Aku boleh minta tolong gak? Kalau memang anak ini lahir dengan cantik nantinya, kasih dia nama Lily ya?"

"Kenapa?" tanya Irene yang tertegun sama permintaan itu.

"Iya, biar dia cantiknya kayak bunga favorit kamu. Kamu pernah bilang kalau lily itu melambangkan perpisahan kan? Anggap aja dengan lahirnya dia sama dengan perpisahan terakhir kita sebagai orang yang saling mencintai, Rene. Aku sekarang ikhlas lepasin kamu, kamu dan calon bayi ini berhak dapatin semua hal baik di dunia. Termasuk punya seorang ayah dan suami yang baik, dan punya kakek nenek yang masih utuh buat nemenin tumbuh kembangnya"

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang