Sure Thing

177 19 7
                                    

Untuk kesekian kali nya dalam hidup, Wendy menyesali ide untuk minum wine kemarin malam, perasaan masih membekas perihal mendekap tubuh sang mantan di sepanjang tidur mereka.

Meski keduanya gak sadar, kenangan samar-samar itu masih berputar di kepalanya. Apalagi waktu mengingat betapa memerahnya wajah satu sama lain saat terbangun oleh rengekan Lilly yang terjaga tanpa pengawasan mereka, tampaknya sofa milik Wendy cukup ramah untuk di tempati berdua.

"Sorry" bisik Irene dengan gerakan bibir dan mimik yang di penuhi rasa bersalah. Wanita itu dengan sigap menggendong putrinya yang masih saja menangis histeris, sesekali tangannya dengan lihai mengelus rambut pendek perempuan kecil itu.

Wendy gak terlalu mengindahkan permintaan maaf itu, dia paham soal suhu ruangan malam tadi terlalu dingin buat mereka habiskan sekedar beristirahat di ruang Tv, bukankah semua orang butuh kehangatan di saat seperti itu? Toh cuma pelukan semata, gak sampai meniduri satu sama lain.

Walaupun dia juga ingat kalau keduanya sempat beradu lumatan malam itu, tapi dia memilih untuk melupakan scene yang gak seharusnya ada diantara 'teman'.

"Kunci mobil kamu dimana?"

Irene menunjuk ke arah saku mantel nya yang tergantung rapih di gantungan yang terpatri di ujung tembok, Wendy dengan sigap mengambil kunci berserta mantel coklat tadi. Lalu mulai mengumpulkan peralatan dan baju milik Lilly yang tadinya berserakan di lantai.

"Kita ke rumah sakit sekarang" ucapnya tegas, bahkan langsung meninggalkan Irene yang masih menatap kepergiannya dengan perasaan gundah.

Syukurnya rumah sakit ini gak terlalu ramai seperti biasa, cuma butuh lima belas menit buat mereka menunggu antiran di poli anak.

Seorang perawat memanggil, keduanya kini bersigap untuk ikut masuk.

Meski awalnya Irene menahan Wendy untuk menunggu di ruang tunggu, tapi wanita yang lebih muda itu cukup keras kepala untuk menolak, dia merasa kesehatan Lilly tanggung jawabnya juga.

Dokter wanita setengah baya itu menatap keduanya secara bergantian, dia kembali duduk di kursi kerjanya setelah merasa selesai memeriksa kondisi tubuh pasiennya.

Dia berdehem sebentar sebelum mulai memberi diagnosa.

"Yang mana ibu nya?"

Kedua wanita dewasa itu saling melirik satu sama lain, sebelum Irene berinisatif untuk menunjuk kearah diri nya sendiri.

"Saya dok, gimana keadaan Lilly? Apakah serius?"

Dokter itu tersenyum tipis, lalu mengeluarkan catatan yang sedari tadi sudah ia coret-coret dengan pena khusus, tulisan khas dokter yang sulit di baca orang awam.

"Saya tanya dulu ya, sebelumnya dia punya alergi tertentu? Misal makanan atau cuaca?"

Irene menggeleng lemah, sembari mengingat beberapa hal yang pernah dia berikan ke putrinya.

"Selain alergi dingin, kayaknya gak ada sih dok"

"Coklat! Aku baru inget kasih dia ice cream rasa coklat kemarin" ucap Wendy dengan serius.

Dokter itu mengangguk lagi, sambil menuliskan coretan baru di kertasnya.

"Ada lagi?"

Keduanya kompak menggelengkan kepala.

"Baiklah, dari hasil pemeriksaan. Lilly punya alergi makanan, untuk beberapa waktu tolong diawasi semua makanan yang masuk ke mulutnya, khususnya coklat. Ruam merah di tubuhnya timbul karena alergi tadi, memang rasanya gatal dan panas di tubuh makanya dia uring-uringan dari kemarin. Anak kecil seumurah Lilly kan belum bisa mengekspresikan perasaannya"

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang