Savior

182 21 6
                                    




"Lo coba deh ini, kalau cocok biar langsung di bungkus"

Wendy menyerahkan beberapa pasang gaun yang sekiranya cocok di tubuh kecil milik wanita di sampingnya itu, yang sejak tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, Irene juga mengikuti perintah Wendy untuk membawa beberapa gaun itu, untuk mencoba di fitting room.

Wendy memandangi punggung punggung wanita itu, lalu memilih berdiri di samping ruangan ganti sambil membawa dua pasang gaun lagi.

Setelah beberapa kali menunggu, akhirnya Irene sedikit berteriak memanggil dirinya sendiri,

"Kenapa, Rene?"

"Sini deh masuk, gue susah ngancingin tali nya"

"Oh baiklah"

Mau gak mau Wendy masuk dong, walaupun sebenernya dia ngerasa gak pantes aja berada di satu ruangan sempit bareng mantan.

Dan bener aja, Irene memang lagi butuh bantuan dia, gaun merah muda yang panjangnya di atas mata kaki itu punya satu beberapa pengait yang ngebangun dari pinggul hingga ke lehernya, bikin Irene susah buat ngeratin sendiri. Alhasil dengan nahan nafasnya, Wendy pun membantu untuk memasang satu kesatuan pengait gaun yang sejak tadi mengekspos punggung telanjang itu dengan sempurna.

Irene bisa merasakan deru nafas berat dari wanita di belakangnya, namun tetap berusaha santai dan tenang.

Mata yang semula mencoba ia lemparkan ke sembarang arah malah berfokus pada satu bekas luka di bahu kiri milik Irene, lebih tepatnya luka bekas jahitan yang sudah menyatu pada lapisan kulit.

"Maaf kalo gue lancang, tapi ini kenapa, Rene?"

"Oh.. gapapa, itu luka waktu gue berantem sama papi, udah lama juga sih"

"Serius? Diapain papi lo? Sinting emang"

Wendy menggeram menahan kesal, entah kenapa tiap membahas ayah kandung dari mantannya itu bikin dia naik pitam.

Ia mengelus bekas luka itu perlahan, sedikit meringgis ketika membayangkan betapa sakitnya benda tajam yang menggores kulit dari tubuh orang yang pernah dia cinta.

Irene memejamkan matanya, seiring dengan usapan pelan di bahunya yang berulang, tanpa sadar ia menaruh tangannya untuk ikut menggenggam tangan yang masih bersedia diletakkan di bahunya, dia menggelus tangan mungil yang ukurannya sangat pas untuk dia genggam.

"Maaf ya Wen. Kalo papi dulu jahat banget ke elo, bekas luka ini bakal jadi kenangan pahit buat gue tentang apa yang dia lakuin ke lo dulu. Coba aja gue tau dari awal, pasti gak bakal kayak gini"

"Ssttt.. Yaudah, Rene. Gue udah maafin semua nya kok, termasuk diri gue sendiri yang juga udah jahat ke elo, kita harus menerima keadaan kan? Yang penting, lihat lo bahagia kayak sekarang aja gue udah bersyukur"

Bahagia? Dunia kayaknya bercanda soal kata itu, Irene cuma bisa senyum miris dengernya.

"Kayaknya kita udah kelamaan disini deh"

Suara lembut milik Wendy berhasil mengembalikan Irene pada realita, dia mengangguk setuju untuk hal itu.

Wendy buru-buru merekatkan pengait terakhir, dan melepas label harga untuk mereka bayar di kasir, dan bener aja, belum sempat Irene berhasil mengeluarkan dompetnya, Wendy lebih dulu berinisiatif membayar total tagihan belanjaan mereka.

"Loh.."

"Udah, yuk udah telat juga"

Yauda deh, mau gak mau Irene pasrah ngikutin punggung Wendy yang udah deluan melonggos ke luar parkiran butik.

Hard PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang