Taeyeon Pov.
Wanna believe what you say
But I hate you on most days
You've been testing my faith and my patience, yeah
And you know that I be headstrong
But you know that you be dead wrong
Telling me to relax when I'm reacting
Butuh lima tahun; buat diriku merasa bebas dari belenggu masalalu. Kematian kekasihku, Tiffany Hwang sangat memberikan bekas, tubuhnya hilang tanpa jejak. Pesawat yang ia tumpangi untuk bertemu denganku; melepas rindu kami malah hancur di lautan yang menghubungkan dua negara ini. Sampai detik ini, potongan tubuh itu juga belum di temukan, entah dimana rimbanya, jauh dilubuk hatiku berharap semoga Tuhan menempatkan gadis yang paling kucintai itu surga yang paling indah.
Tiffany punya senyuman paling tulus di dunia, seolah saat dia tersenyum, seluruh mahluk hidup di muka bumi ini akan hanyut di buatnya. Senyuman itu sudah tak pernah lagi ku temukan, beberapa wanita yang kutemui, bahkan belasan? Atau mungkin puluhan juga gak punya kelebihan tadi.
Kadang rasa sakit ini membuatku gila, bahkan jauh lebih gila saat teror itu berdatangan. Mulai dari bangkai tikus, pesan-pesan ancaman, hingga ancaman pembunuhan juga udah aku dapatkan setelah kejadian meninggalnya Tiffany. Entah siapa pelakunya, tapi yang pasti dia gak ingin lihat aku melupakan gadisku, dan seolah-olah orang ini ingin menghukumku atas kematian itu.
Sampai-sampai, aku takut untuk pulang ke rumah, tempat dimana aku dan Tiffany di besarkan. Yap, Korea jadi opsi terakhir untuk ku menghabiskan hari tua, selain takut keinget Tiffany lagi, aku juga takut teror itu makin menjadi-jadi dan mencelakai keluargaku. Miris bukan?
Tapi semua ketakutan itu gak berlangsung lama, tepat di tahun keenam dalam proses move on, aku harus balik lagi ke kota ini. Perusahaan papa tak punya penerus, sementara dia harus segera pensiun karena faktor kesehatan yang udah gak lagi mendukung. Dan tibalah pada saat pertemuan pertama yang tak di sengaja kala itu, saat diriku tak sengaja memandang mata seorang gadis di taman milik perusahaan ini; mata teduh yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Son Wendy,
Kutau nama in saat pertama kali bertemu di kelab malam langganan Seulgi, kita berkenalan sembari menikmati wiskey yang katanya favorit gadis itu. Aku memandang matanya, terus menerus seiring ia bercerita, tubuh kami meliuk-liuk dalam tarian kebebasan. Makin lama kutatap, makin aku jatuh cinta. Entah sihir apa yang dia punya, tapi tiap aku lihat wajahnya, makin ketakutan itu hilang. Dan jangan lupakan saat dia tersenyum, senyuman itu bahkan lebih indah dari milih Tiffany.
Seolah Tuhan menjawab semua doaku, melalui Wendy aku punya semangat lagi untuk melanjutkan hidup. Bahkan aku punya rasa percaya diri untuk memimpin perusahaan ini, meski awalnya aku menentang tegas ide papa untuk memulangkan ku. Entah kenapa aku ingin merasa pantas, aku ingin punya jabatan dan keuangan yang baik, aku ingin serius dengan gadis ini.
Meski sejak awal aku tau, di hati nya sudah ada orang lain yang menjadi pemenang yang tak tergantikan.
Hubungan ini berjalan baik awalnya, Wendy ingin mencoba, meski itu hanya di bibirnya, aku tau pasti berat menerima orang baru sebab masa lalunya masih menghantui, aku pun mencoba mengerti, karena aku juga pernah melewati masa-masa itu. Sebagai seorang yang lebih tua, bukankah aku harus lebih sabar dan mencoba membimbingnya?
Setidaknya kisah cinta kami bahagia di beberapa bulan pertama, Wendy menunjukan seribu kebaikannya, senyumannya mewarnai hatiku yang semula kelabu. Ku pastikan kita bagai orang yang saling jatuh cinta saat itu. Tapi, seperti kata pepatah kalau cinta abadi pasti akan di terpa badai berkali-kali, aku tau kalau badai itu datang terlalu cepat tanpa aku duga.