"Lilly demam, Rene"Begitulah kira-kira isi percakapan singkat sepasang mantan kekasih itu lewat sambungan telepon, detik itu juga sosok ibu yang cemas melihat putri nya jatuh sakit itupun buru-buru ambil tiket kepulangan paling cepat, dia gak tega kalau harus biarin Wendy lama-lama buat ngurus Lilly, pasti bakal repot.
Dan disinilah dia, tepat menginjakan kakinya di depan pintu apartemen Wendy setelah menempuh tiga jam perjalanan dengan kereta cepat.
Wendy mempersilahkan dirinya untuk masuk dengan raut wajah yang sama khawatirnya kayak dia sekarang, bahkan kelihatan lebih pucat saat mereka tak sengaja bertatap muka.
"Kamu udah kasih obat?" tanya Irene lembut, di kondisi begini marah-marah bukan solusi.
Dia duduk di tepian kasur sambil mengecek suhu tubuh putrinya yang mulai menurun. Dia membalik dan mengganti komperasan di jidat putrinya yang tentu saja dia sendiri tau siapa pelaku nya.
"Tadi aku baru panggil dokter kesini, kata dokter keadaan Lilly baik-baik aja, dia ada riwayat alergi dingin ya? Aku keburu panik waktu lihat mukanya merah-merah begitu, maaf ya Rene tadi aku ajak Lilly buat piknik di luar sambil makan ice cream"
Tutur kata lemah dan terdengar khawatir itu bikin Irene jadi luluh, entah kenapa rasa takutnya sejak tadi hilang gitu aja. Sebab ada seseorang yang jauh lebih khawatir perihal kondisi Lilly di banding dirinya sendiri. Irene beranjak dari posisi duduk nya, kini dia berdiri untuk mendekat ke arah Wendy yang masih mematung di depan pintu kamarnya sejak tadi.
Wendy reflek memejamkan matanya, dia pasrah jikalau Irene bakal tampar pipinya detik ini juga. Toh dia memang salah, gak riset dulu soal anak itu yang gak bisa diajak main dan makan sembarangan, untungnya Lilly gak kenapa-napa.
Irene mengambil satu tangan milik Wendy yang kelihatan agak gemeteran, mungkin efek belum makan seharian. Dia genggam jemari itu sembari mengelus permukaan kulit yang paling dia rindukan selama beberapa tahun ini.
"Sorry ya kalau Lilly bikin kamu jadi khawatir segininya? Stop nyalahin diri kamu ya? Aku gak suka, lihat kamu perduli segini nya ke anak ku udah bikin aku bersyukur, Wen"
Merasa gak kunjung di tampar, Wendy kini memberanikan diri untuk membuka matanya dengan perlahan, kedua manik mata dari dua pasang manusia itu kini saling beradu. Entah setan apa yang sudah merasuki, Wendy merasa seluruh dunianya terkunci pada satu objek di depannya.
Mata Irene selalu menjadi spot ternyaman untuk dia tatap, tanpa sadar keduanya mengulum senyum yang sama.
Irene membuang pandangannya sebentar, takut terlalu jatuh dalam pesona wanita yang kian hari makin memporak porandakan hatinya.
Takut kalau pertahan yang udah dia bangun dari lama bakal hancur gitu aja.
"Aku siap-siap dulu, takut kemaleman" Irene hendak beranjak dari posisi mereka, ingin segera mengemas barang-barang Lilly yang sempat dia titipin disini, berhubung jam di dinding udah nunjukin pukul sebelas malam.
Tapi Wendy lebih dulu nahan tangan dia,
"Please udah malem banget, kamu nginap disini aja ya? Biar aku yang tidur di sofa malam ini" ucapnya yang terdengar seperti permohonan, duh Irene mana bisa nolak.
Irene pun mengangguk pasrah, dia memutuskan untuk meletakan tas dan kopernya di tempat yang Wendy tunjuk.
Mereka berdua duduk di ruang makan, Irene berinisiatif untuk memanaskan makanan yang tadi pagi Wendy masak, yang ternyata belum sempat wanita itu sentuh sedikitpun. Mungkin terlalu khawatir ke Lilly sampai bikin diri sendiri lupa buat di urus.