1.

29.2K 1.3K 8
                                    

Seorang remaja laki-laki berjalan di bawah rintikan hujan. Di seragam sekolahnya terdapat bercak darah yang bukan miliknya. Kejadian di sekolahnya tadi membuatnya enggan untuk pulang.

Apalagi mengingat bahwa keluarga besarnya sedang berkumpul. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti.

Remaja laki-laki itu menatap gerbang yang menjulang tinggi di depannya. Dia menghela nafas pelan kemudian masuk. Dapat dia lihat di parkiran yang luas itu, mobil-mobil berjejer rapi.

Dengan gemetar karena kedinginan dia masuk. Orang-orang yang menyadari kehadirannya menatapnya tajam seakan dia adalah mangsa mereka.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi kanannya sebagai awal dari segalanya.

"Tak tahu di untung! Apa yang kau lakukan pada putriku hah?!" Tanya seorang pria paruh baya.

"Lagi-lagi kau membuatnya terluka! Hanya karena kau tidak terima dengan kehadirannya bukan berarti kau bisa melukainya, anak sialan!" Bentaknya lagi.

Remaja laki-laki itu diam saja, sampai rambutnya di tarik ke belakang. Dia mendongak menatap wajah Kakak keduanya.

"Jika kau punya mulut, gunakan untuk menjawab pertanyaan ayah! Dasar bodoh!" Ujar pemuda itu.

Anggota keluarga yang lain hanya menyaksikan tanpa belas kasihan.

"A-ayah hentikan, Via juga gak apa-apa kok. Kasian kak Gara" ujar Gadis yang duduk di apit oleh dua wanita.

"Sayang, biarkan saja. Toh Gara kan memang bersalah, jadi dia memang harus di hukum" ujar salah satu wanita itu.

"Ta-tapi mama-"

"Sutt! Sweetie, diam ya jangan membelanya lagi" lanjut wanita itu.

"Itu benar Via, Via jangan membelanya lagi ya" ujar Abangnya.

Sagara Aksaralio Revandra, remaja yang kini tengah meringis menahan sakit di kepalanya itu terdiam ketika mendengar setiap ucapan wanita itu. Wanita yang sialnya adalah saudari sang ibu.

Kenapa sial? Karena semua orang di mansion ini tidak akan ada yang menguntungkan baginya.

"Jawab sialan! Kenapa kau menyakiti Putriku hah?!" Tanya ayahnya,

"Gara iri" jawab Gara pelan.

Percuma mengelak bukan? Mereka sudah tersulut emosi, jadi lebih baik mengatakan yang tidak pernah ia lakukan sama sekali.

Duk!

Duk!

Kepalanya di benturkan ke meja, tepat setelah Gara mengatakan hal itu. Darah mengalir dari pelipisnya, rasanya sungguh sakit.

"Anak sialan! Harusnya kau mati saja!" Ujar kakeknya.

Gara mendongak menatap mereka semua, tatapannya jatuh pada gadis yang bernama Via itu. Anak tiri ayahnya, yang berarti saudara tirinya juga. Sedangkan wanita yang tadi berbicara adalah ibunya Via, benar ayahnya itu menikah dengan adik dari bundanya.

"Apa yang kau lihat sialan!" Ujar kakak sepupunya.

Gara terdiam, dia benar-benar lelah selama ini. Mereka memberi penyiksaan yang bukan main.

Duk!

Sret!

Sekali lagi kepalanya di benturkan bahkan sampai membuat pelipisnya tergores karena mengenai ujung meja yang tajam. Luka itu melebar bahkan darah tak henti-hentinya keluar dari kepala Gara. Gara terjatuh karena tak bisa menopang berat tubuhnya lagi.

Untuk sejenak Gara merasa pusing di kepalanya, bersamaan dengan rasa sakit yang luar biasa. Belum lagi setiap perkataan dari mereka membuat hatinya tersayat.

"Anak sialan mati saja kau!"

"Harusnya kau tidak lahir!"

"Harusnya adik perempuanku yang lahir!"

"Dasar sialan!"

"Pergilah ke neraka!"

"Mati saja kau!"

Teriakan itu terngiang di telinga Gara, dia mendongak menatap wajah mereka untuk sekali lagi. Hingga tatapannya berhenti pada seseorang yang berdiri di lantai dua. Seorang Pria tua dengan sebatang rokok di tangannya.

Gara menatapnya penuh harap, tapi pria itu hanya memberikan gesture saja. Melihat itu Gara diam, dia mengerti dan tersenyum tipis.

Hanya pria tua itu yang tak pernah melakukan hal yang sama dengan mereka. Dalam diam Gara berterimakasih.

Gara berdiri menatap mereka semua dengan tatapan penuh kebencian. Tak ada lagi kesedihan, kecewa bahkan harapan sekalipun. Hanya ada kebencian dan dendam yang terlihat di sorot matanya.

"Akan ku pastikan kalian mati bersujud di bawah kaki ku" gumamnya pelan.

Gara berbalik hendak keluar, tapi sebelum itu dia di seret oleh Abang ketiganya.

Brak!

"Awsh.." gumam Gara ketika tubuhnya bertabrakan dengan meja.

"Mau kemana kau hah! Merasa hebat!"

"Cih sampah seperti mu harus mati di tangan kami!"

"Kau hanya aib bagi keluarga ini!"

Setiap perkataan itu Gara mengingatnya dengan jelas. Gara memejamkan matanya sejenak sebelum ia merasakan tusukan pada lengannya. Awalnya itu hanya tusukan, tapi Jevian abangnya itu menariknya membuat luka memanjang dan dalam. Lagi-lagi Gara diam, ia seolah tak merasakan sakit yang begitu hebat.

Masalah ini sebenarnya ia juga tak tau. Tiba-tiba saja teman-teman Via mengatakan bahwa Via ingin bicara dengannya di gudang belakang sekolah. Gara tentu saja menghampirinya, tapi dia tidak menyangka bahwa Via telah terluka.

Hingga Abang sepupunya datang dan menuduh Gara yang melukai Via, padahal Gara sendiri berniat menolong Via. Mereka pulang terlebih dahulu, maka dari itu Gara yakin Abang sepupunya itu mengadu pada ayahnya.

Gara menatap Reksa dengan benci, membuat Reksa merasakan sesuatu yang aneh didalam dirinya. Pria tua di atas sana menyaksikan semuanya, sesekali menghisap rokok yang tinggal setengah itu.

"Ku pastikan mereka semua hancur dalam sekejap, untuk putriku juga cucuku" gumam pria itu.

"Terutama kau, bajingan" lanjutnya menatap tajam salah satu dari mereka.

***

Vote!

G A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang