8

11.6K 838 27
                                    

"Dimana Sagara?!!!" Teriak Jevian.

"A-ada di dalam kamar, tuan muda" ujar Salah seorang bodyguard.

Jevian dengan cepat berjalan ke arah kamar Gara. Dia membuka pintu dengan menendangnya. Membuat Gara yang sedang duduk memperhatikan lukanya, tersentak kaget.

"Beraninya kau!!! Setelah mengacaukan pekerjaanku, sekarang kau justru bersantai!!!" Bentak Jevian.

Pria muda berusia 19 tahun itu menyeret adiknya dengan kasar. Sedangkan Gara tak mengerti apapun, dia hanya mengikuti langkah Jevian yang membawanya ke ruang tengah.

Gara sempat berhenti karena takut, takut jika Jevian akan melukainya lagi. Baru saja ia berpikir bahwa hidupnya sangat damai, sekarang justru sudah ada masalah lagi. Yang bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu apa yang membuat Jevian semarah itu.

Gara lagi-lagi terkejut melihat alat dan bahan lukis yang di berikan kakeknya berserakan dimeja bahkan mengotori lantai dan sofa. Ada kanvas yang sudah rusak dan cat warnanya yang berceceran. Belum lagi mengenai kertas-kertas yang berserakan di bawahnya.

Dia tak tahu siapa yang melakukannya. Semua anggota keluarganya melihat itu dengan tatapan yang terkejut juga. Mereka sudah ada di rumah karena memang sudah malam.

Tadi mereka sedang berkumpul di ruang keluarga. Tapi mendengar keributan dari ruang tengah mereka segera menghampirinya.

"Apa-apaan ini Gara?!" Tanya Aryo.

"Sialan! Kau mengacau lagi!" Ucap Gabriel.

"Bocah tak tahu di untung" ujar Reksa.

Gara menegang mendengar perkataan itu, dia melirik Reksa. Jevian sendiri menghela nafas memikirkan dokumen-dokumen penting miliknya yang akan digunakan untuk meeting di esok pagi justru rusak.

"Aku tak tau apa yang membuatmu seperti ini Gara! Tapi kenapa harus dokumen-dokumen penting itu?!!" Teriak Jevian frustasi.

"Bu-bukan Gara" ucapnya membela diri.

"Diam sialan!!"

Dia sudah sangat lelah dengan kliennya hari ini. Bagaimana pun juga bekerja di perusahaan besar milik ayahnya itu tidaklah mudah. Apalagi dia juga harus memikirkan tugas kuliahnya. Bisa saja dia fokus pada pendidikannya, tetapi ayah dan kakeknya justru memaksanya.

Alasannya karena Jevian memilih untuk masuk jurusan seni. Sedangkan dua orang itu menginginkannya masuk jurusan bisnis. Karena pada akhirnya Jevian memilih jurusan seni maka inilah yang terjadi, tak ada pembelajaran tahap awal dan langsung turun menghadapi bisnis secara langsung.

Kembali lagi pada Gara, anak itu sedang sibuk dengan pikirannya. Dia menatap Reksa yang bahkan menatapnya penuh kebencian dan kemenangan (?).

"Kau benar-benar pembawa sial!!" Bentak Jevian.

Dug!

Gara di hempaskan dengan kasar hingga membentur meja kaca itu. Beruntung kacanya tebal jadi tak mudah pecah.

Lina yang menyaksikan itu hendak maju untuk menolong Gara, tapi di tahan oleh Aryo. "Jangan menolongnya, mereka sedang menggila" ucap Aryo pelan.

Lina jelas tahu apa yang dimaksud oleh Aryo. Jika dia menolongnya maka Gabriel tak akan memberi ampun pada Gara nantinya.

"Bawa ke ruang bawah tanah" ucap Gabriel.

"A-ayah" panggil Gara pelan.

Gabriel melirik sekilas tampak tak peduli. Gara mendesah kecewa, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri saat ini juga. Sampai mereka mati bersujud di bawah kakinya pun dia tak akan pernah memaafkannya kelak.

***

Ruangan yang paling di takuti Gara seumur hidupnya, ruang bawah tanah milik Aksara.

Bau anyir darah tercium begitu kuat, Gara bahkan sempat menahan nafas sejenak ketika bau itu menyapa indra penciumannya.

Bruk!

Tubuh Gara terjatuh karena di tendang dari belakang oleh Jevian. Ia meringis pelan merasakan sakit pada bahunya.

"Berdiri" ucap Gabriel.

Gara berdiri dengan pelan, dia tak akan melawan lagi kali ini.

"Ikat dia" ujar Gabriel pada bawahannya.

Dengan ragu dua orang maju dan mulai mengikat Gara menggunakan rantai. Dalam hati mereka mengucapkan beribu-ribu maaf pada Gara. Mereka tak tega melihat tuan muda kecilnya di perlakukan berbeda dengan tuan muda yang lainnya.

Tangan Gara diikat ke atas setelah bajunya di lepaskan. Kakinya juga dirantai, bahkan lehernya pun di jepit membuatnya tak bisa menunduk.

Gabriel melirik Jevian, tanpa sepatah kata pun Jevian mengerti dan langsung mendekati Gara. Dia menyeringai kemudian mengambil besi panas dan menempelkannya ke dada kiri Gara.

"Ini hanya permulaan" ucapnya.

Gara menahan diri untuk tidak berteriak meskipun rasa sakit begitu mendominasi. Ia ingat aturan dari Gabriel jika sudah memasuki ruangan ini. Dia tak boleh berteriak ataupun menangis, bahkan mengekspresikan rasa sakitnya saja tidak diperbolehkan. Aturan khusus untuk seorang Gara.

Tak cukup sampai disitu Jevian juga menyayat kecil perut Gara. Sayatan yang tak berarah itu membuat Gara semakin merasakan sakit.

"Ku dengar kau sangat suka melukis bukan?" Tanyanya.

Gara diam tak menjawab, membuat Jevian geram dan menjambak rambutnya.

"Jawab sialan!" Ujarnya.

"Ya" jawab Gara pelan.

"Apa yang paling kau sukai?" Tanya Jevian.

Gara terdiam lagi, tampak berpikir. Jevian menatap malas pada Gara yang tak kunjung menjawab.

"Tak perlu menjawabnya, aku tau itu" ujar Jevian.

Jevian lagi-lagi mengambil besi panas, yang ini lebih kecil dari yang sebelumnya. Dia menggerakkan besi itu di dada kanan Gara, seolah-olah sedang melukis sesuatu.

"Wah! Ini bagus!" Ujar Jevian kegirangan melihat hasil karyanya.

Sakit bunda, bawa Gara sekarang juga. Batin Gara

Gabriel?

Pria itu sedang menyesap wine dengan memperhatikan kegiatan Jevian. Sesekali menyeringai tipis melihat Gara yang tampak menahan sakit. Entahlah, ada rasa sedikit tidak nyaman melihatnya seperti itu.

Tapi semua itu dia tepis jauh-jauh, hatinya benar-benar keras. Dia tak peduli bahkan jika Gara mati hari ini pun, itulah yang dipikirkannya. Dia tak pernah sekalipun merasa kasihan pada Gara.

Hari terburuk dalam hidupnya menjadi penyebab utama dirinya membenci putra bungsunya. Dua nyawa melayang dalam satu malam, yang bahkan saat itu Gara juga tak tahu apa-apa. Tapi mereka semua menyalahkannya pada Gara.

Gara tak kuat lagi menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Ia memejamkan matanya ketika cambuk mengenai perutnya. Jevian mencambuknya tanpa belas kasihan sedikit pun.

Bibirnya sudah pucat pasi, kepalanya terasa sangat sakit. Gara mencoba untuk bertahan sedikit lagi tetapi ia tak kuat, dalam hitungan terakhir Gara memejamkan matanya.

***

Udah bacanya?

Jangan lupa Vote!

G A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang