Ada typo sih kayaknya~
Jevian tengah duduk di dalam sebuah restoran. Ia sendirian karena kedua temannya sedang sibuk. Matanya bergerak mencari seseorang. Ia yakin ia melihat siluet tubuh yang familiar tadi.
Dan berhenti di meja ujung sana, dua orang pria muda juga seorang remaja laki-laki. Ia berkedip guna memastikan pandangannya tak salah. Rupanya memang tak salah lagi, itu adalah Gara dan dua putra Arshavin.
Gara nampak senang berbincang dengan mereka. Jevian hanya menatap sekilas kemudian mengalihkan tatapannya. Ia lebih baik menatap orang-orang yang berlalu lalang di luar sana. Setidaknya mereka tidak akan membuat rasa iri muncul di dalam dirinya, seperti saat melihat Gara.
Namun tawa riang dari Gara membuatnya mau tak mau mengalihkan tatapannya lagi, menatap Gara. Jevian tersenyum tipis melihat tawa yang lepas itu.
Ah! Mengapa dirinya baru sadar bahwa tawa yang keluar dari mulut Gara itu begitu merdu dan candu. Ia ingin mendengar lebih, namun Gara menghentikan tawanya ketika tak sengaja bertatapan dengannya.
Remaja laki-laki itu terlihat gelisah kemudian dua pria di hadapannya bangkit dan membawanya keluar dari restoran itu. Jevian mendesah kecewa, Gara sepertinya sangat takut padanya.
Lalu bagaimana caranya agar dia bisa membawa adiknya kembali, jika baru bertatapan seperti itu saja Gara terlihat takut.
***
Disisi lain Gara kini telah berada di dalam mobil dengan Zoe yang duduk di sampingnya dan Ziel yang menyetir. Gara menggenggam erat tangan Zoe, bahkan tangannya terasa dingin.
Entah kenapa ingatan masa lalunya muncul begitu saja setelah tak sengaja melihat Jevian. Zoe mengelus punggung tangan adiknya berharap agar Gara bisa sedikit tenang.
"Daddy" lirih Gara.
"Sebentar lagi, tenanglah" ujar Zoe menenangkan Gara.
Padahal dalam hatinya ia sedang mengumpati Jevian yang bisa-bisanya berada satu restoran dengan mereka. Jika saja ia tak takut Gara membencinya, sudah dipastikan bahwa Jevian kini sudah menghadap Tuhannya.
Sayangnya ia tak berani membunuh Jevian karena takut Gara akan membencinya. Ia tak mau, ia kan baru merasakan menjadi seorang kakak.
Mobil yang mereka tumpangi kini berhenti di halaman mansion Grevanska. Gara dengan cepat melepaskan sealt belt yang dipakainya kemudian keluar dari mobil. Di sana di depan pintu mansion, Arshavin sudah menunggunya.
Pria paruh baya itu ikut berlari kecil melihat putranya yang juga berlari ke arahnya. Ia memeluk tubuh yang memiliki tinggi haya sepundaknya saja, kemudian mengelus punggung sempit putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
G A R A
RandomRumitnya takdir membuat Gara bingung, dari yang di buang oleh keluarga ayahnya. Sampai mereka mengemis bahkan bersujud di kakinya hanya untuk mendapatkan maaf darinya. "Bukankah Gara memang pembawa sial?" "Ck! Gue gak suka banget sama logika gue!" ...