4

14.1K 896 22
                                    

Sore ini Gara sudah sampai didepan mansion Aksara. Kakinya enggan melangkah masuk. Apalagi mendengar suara tawa dari dalam.

"Tuan muda? Apa yang anda lakukan di sana, mari masuk" ujar Steve Asisten ayahnya itu.

Gara mengangguk pelan kemudian melangkah masuk. Kemunculan membuat mereka menghentikan tawa mereka.

"Ck! Merepotkan, masih hidup rupanya" kalimat sambutan yang ia dapatkan dari Reksa, Abang keduanya.

"Anak sialan itu pulang?" Tanya Ayahnya yang baru datang.

"Aish! Kenapa kau tidak mati tertabrak saja tadi" ujar Jevian.

Gara tak menjawab melainkan melenggang pergi meninggalkan mereka. Tapi baru beberapa langkah saja dia sudah ditarik oleh Jevian.

"Kau tak mendengarkan kami huh! Apa kau tuli sekarang?!" Tanya Jevian.

"Mungkin saja bisu!" Timpal Reksa.

"Ah~ kalian berbicara dengan ku?" Tanya Gara polos.

Plak!

Pertanyaannya di jawab oleh sebuah tamparan keras di pipi kirinya.

"Beraninya kau!" Ujar Jevian.

Dengan tidak berperasaan Jevian menarik lengan Gara. Dia di bawa ke sebuah ruangan, disusul oleh ayahnya dan Reksa. Mereka menyeringai melihat Gara yang telah di rantai.

Gara sendiri tidak memberontak, dia sudah pasrah bahkan jika nyawanya hilang saat ini pun.

Sret!

"Sshh.." desis Gara merasakan sayatan di dada kirinya. Pelakunya adalah Jevian, dia menyayat dada Gara menggunakan pisau berkarat.

Sedangkan ayahnya itu hanya menatap datar saja. Pria paruh baya itu bahkan dengan santainya duduk menyesap wine.

"Harusnya kau yang mati! Bukan bunda dan adik Perempuanku!"

"Harusnya kau yang ada di sana pada hari itu!"

"Harusnya kau!"

"Ahkk!" Teriak Gara.

Setiap kalimat yang dikeluarkan Jevian diiringi dengan sayatan kecil di tubuh Gara. Reksa menatapnya dengan tatapan benci, dia maju menusuk bahu Gara.

"Sa...kit kak..." Ucapnya terbata.

Gara menangis tanpa suara, rasanya dia ingin mati saat ini juga. Saat Jevian dan Reksa mundur, Gabriel melempar gelas kaca itu tepat pada dahi Gara.

Gelas itu pecah seketika, Gara memejamkan matanya merasakan pecahan kaca yang sepertinya menyayat pipinya.

"Kau hanya menyusahkan kami setiap saat" ujar Ayahnya.

"Mengapa kau masih hidup hah?!" Bentak ayahnya.

Gara tersenyum lebar saat mendengar pertanyaan itu. "Maka jika aku mati, akan ku pastikan kau orang yang paling hancur" jawabnya pelan.

Mendengar itu Gabriel sempat tertegun. Tapi dia kemudian menyiramkan wine pada luka-luka Gara.

Gara menggertakkan giginya menahan sakit. Sungguh dia ingin berteriak, namun sepertinya teriakan itu menyangkut di tenggorokannya saja.

Tak kuat dengan rasa sakitnya, Gara pada akhirnya tumbang. Dia pingsan di hadapan ketiga orang itu.

"Urus dia" ujar Gabriel pada Steve.

Steve mengangguk kemudian mendekati tuan mudanya. Hatinya sakit melihat tubuhnya kecil itu dipenuhi luka. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa tuannya begitu kejam bahkan pada darah dagingnya sendiri.

***

Malam ini Gara duduk termenung menatap keluar. Melihat bintang-bintang yang bertaburan. Di bawah sana, tepatnya di taman belakang itu keluarganya sedang berkumpul. Bahkan sang kakek pun ikut berkumpul.

Hanya Gara saja yang berada di kamarnya. Dia menatap mereka tanpa minat, apalagi saat mereka tertawa. Membuatnya ingin terjun dari lantai tiga ini.

"Bunda... Adek... Bawa Gara ke pelukan kalian"

"Gara lelah..."

"Gara ingin tidur di pelukan bunda"

"Boleh kan?" Gumamnya.

Steve yang baru saja masuk, mendengar gumaman itu. Dia menunduk menahan air matanya yang hampir keluar.

"Tuan muda, mari makan malam" ujar Steve.

Gara mengangguk saja kemudian berjalan ke arah Steve. Dia di suapi oleh asisten ayahnya itu. Bahkan Steve melakukannya dengan hati-hati.

"Eh?"

"Ada apa tuan muda?" Tanya Steve.

"Enggak om, Gara cuma ke inget sama lukisan Gara yang di rumah sakit" ujar Gara.

Benar dia baru ingat akan lukisan itu, bukankah seharusnya di bawa pulang. Tapi kenapa dia bisa melupakannya.

"Maaf, lukisan yang mana tuan muda?" Tanya Steve.

"Apa tak ada?" Tanya balik Gara.

"Mohon maaf tuan muda, tapi semua kanvas itu masih kosong" ujar Steve.

"Oh mungkin aku salah ingat, mungkin saja aku melukisnya dalam mimpi" gumam Gara.

Steve tersenyum tipis mendengar gumaman itu. Kemudian melanjutkan menyuapi tuan mudanya itu. Setelah selesai sampai Gara meminum obatnya, Steve keluar.

***

Pada pagi harinya Gara masih sama hanya berdiam diri di kamarnya. Dia tidak keluar selangkah pun. Sampai siang hari, dia tidak tau apa yang terjadi di luar sana.

Pada sore hari Gara keluar dari kamarnya hendak mengambil minum. Tapi saat di perjalanan dia bertemu dengan Via.

"Kak Gara" panggilnya.

Gara menoleh kebelakang kemudian tersenyum pada gadis yang menyebabkan hidupnya seperti ini. Tak ada rasa benci dalam diri Gara untuk Via. Dia tak mengerti, tapi dia juga tak pernah dendam pada gadis itu.

Dia sangat tau Via karena mereka tumbuh bersama saat masih kecil. Via ini gadis yang baik dan penurut. Jika dia berubah menjadi licik dan jahat itu artinya dia di perintah oleh seseorang. Gara menyadarinya, Gara sadar bahwa Via memang tidak salah.

Via hanyalah tameng seseorang untuk melancarkan rencana orang itu.

"Kakak mau kemana?" Tanya Via.

"Minum"

"Biar Via yang ambil ya kak"

"Jangan, kalo kamu gak mau liat kakak terluka lagi"

Mendengar itu mata Via berkaca-kaca, dia sangat merasa bersalah. Tapi jika dia tidak melakukannya maka seseorang akan memisahkannya dari keluarganya.

"Maaf kak" ujar Via yang kini menunduk dan terisak.

"Tak apa, bukan salahmu" balas Gara.

"Apa yang kau lakukan pada adikku, sialan!"

***

Vote kalian sangat berpengaruh pada cerita ini!

Terimakasih buat yang udah vote!

G A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang