32

6.9K 387 5
                                    


Sudah tiga hari berlalu dan selama itu juga Gara tak mengatakan apapun mengenai Heksa yang menjenguknya. Bukannya tak berani hanya saja menurutnya cukup dirinya saja yang tahu.

Gara menatap langit yang berwarna jingga. Tak banyak pasien yang berada di taman rumah sakit ini karena matahari akan segera terbenam. Tak ada satupun yang menemaninya, Daddy dan abangnya ia larang untuk mengikutinya. Dengan alasan ia ingin sendiri untuk sementara waktu. Beruntungnya mereka menuruti keinginannya.

Gara tak bergeming, bahkan saat seseorang duduk di sampingnya dengan pelan. Senyuman tipis terukir di wajah tampan orang itu, melihat remaja laki-laki di sampingnya sibuk melamun. Matahari kian turun hingga warna jingga nampak begitu jelas dan indah. Itu lebih menarik perhatian Gara dari pada orang yang duduk di sampingnya.

"Sudah lama sekali, tapi kebiasaan mu masih sama" ucap orang itu.

Gara berkedip, ia sedikit terkejut mendengar suara yang tak pernah ingin didengarnya lagi. Raut wajahnya berubah menjadi datar, seolah-olah pemandangan matahari terbenam di depannya begitu membosankan.

"De Javu?" Tanya Gara.

"Haha... Ya tentu saja" jawab orang itu.

Gara berdiri hendak pergi namun tangannya di genggam. Dengan refleks ia menyentak tangan yang dengan lancangnya menggenggam tangannya.

"Sebentar saja, ku mohon" ujar orang itu.

Gara kembali duduk tetapi memberikan jarak yang cukup jauh. Sedangkan orang itu terkekeh pelan.

"Ayah tahu ayah salah, tapi tak bisakah kita memperbaikinya sekali lagi? Ayah mohon Gara, kembalilah. Berikan ayah kesempatan untuk memperbaiki semuanya, berikan ayah kesempatan untuk mendapatkan maaf darimu" ujar Gabriel.

Ya, Gabriel.

Pria paruh baya itu khawatir setengah mati mendengar putra bungsunya di serang oleh seseorang. Beberapa hari sebelumnya ia menahan diri untuk tidak menemui Gara dan memperburuk keadaan Gara. Tetapi sayangnya ia tidak tahan lagi, jadi dengan tekad yang kuat ia menemui Gara. Beruntungnya lagi, Gara tengah sendirian.

Gara diam tak menjawab apapun, sedangkan Gabriel ia berdiri dari duduknya. Berlutut dihadapan Gara yang bahkan tak melihatnya sedikitpun. Gara memilih menatap ke arah langit yang kian menggelap.

"Ayah mohon Gar, berikan ayah kesempatan untuk mendapatkan maaf darimu. Ayah mohon, katakan pada ayah apa yang harus ayah lakukan untuk mendapatkan maaf darimu?" Ujar Gabriel.

"Kamu ingin ayah menangis darah? Akan ayah lakukan, atau kamu ingin ayah bersujud di hadapan mu? Akan ayah lakukan, asalkan kamu mau memberikan kesempatan untuk ayah"

"Bicaralah nak, katakan sesuatu" lanjut Gabriel.

Suaranya terdengar begitu putus asa, melihat Gara yang bahkan tidak mendengarkannya. Mata anak itu terpejam seiring dengan suara langkah kaki yang kian mendekat.

"Tuan Gabriel, saya yakin anda masih ingat dengan apa yang saya katakan di taman mansion pada hari itu" ucap Gara.

Gabriel tertunduk dengan menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir lolos. Ia menarik nafas panjang kemudian mendongak lagi. Matanya bertatapan dengan mata milik Arshavin yang baru saja datang. Dua pasang mata itu sama-sama menunjukkan tatapan permusuhan.

G A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang