Aih banyak typo~
Di malam yang sunyi ini, Gara tengah duduk sendiri di balkon kamarnya. Ia menengadah menatap ribuan bintang di langit. Dua abangnya pergi entah kemana, Gara tak tahu. Yang Gara tahu adalah setelah makan malam, mereka pergi terburu-buru. Mungkin sesuatu yang mendesak.
"Sial" gumamnya.
Ia tahu bahwa kakak pertamanya telah kembali. Ia tahu itu semua dari Steve. Sungguh ia takut dengan kembalinya sang kakak yang tak pernah ia ketahui rupanya.
Gara berjengkit kaget saat merasakan sesuatu menempel di tubuhnya. Aroma mint yang begitu pekat menguar dari jas yang terpasang di tubuhnya. Gara menatap sang pelaku yang membuatnya terkejut tadi, itu adalah daddy-nya.
"Angin malam tak baik untukmu" ujarnya sembari menutup jendela yang di buka oleh Gara tadi.
Gara pikir Arshavin akan pulang larut malam, karena pria itu berkata akan menemui teman lamanya. Biasanya bapak-bapak macam Arshavin ini akan bernostalgia dulu bukan. Tapi sepertinya Gara salah, daddy-nya ini kan orang yang irit bicara. Kecuali pada Gara tentunya.
"Kapan Daddy pulang? Gara gak lihat dari sini" ujar Gara.
Balkon yang menghadap ke halaman depan mansion membuatnya mudah mengetahui siapa yang datang dan pergi. Namun tadi dia tak melihat mobil Arshavin yang masuk dari halaman depan.
"Sekitar delapan menit yang lalu, saat Gara menengadah menatap langit" jawab Arshavin kemudian ikut duduk di samping Gara.
Gara mengangguk saja kemudian menatap lurus ke depan. Lampu-lampu yang berada di kota dan cahaya bintang yang berada di langit seolah-olah tengah beradu.
"Sea" panggil Arshavin.
Gara menoleh menatap daddy-nya, jika sudah di panggil dengan nama seperti itu artinya pembicaraannya akan serius.
"Ya Daddy" jawab Gara.
"Boleh Daddy tanya satu hal? Itupun jika kau sanggup menjawabnya" ujar Arshavin.
"Tanya aja, Gara pasti sanggup" balas Gara.
Arshavin menarik nafas dalam-dalam, ia sebenarnya agak ragu untuk menanyakan hal ini. Ia tak yakin Gara bisa menjawab pertanyaannya.
"Kenapa..." Ucap Arshavin menggantung pertanyaannya.
Gara menatap dengan memiringkan kepalanya yang membuat Arshavin semakin menggantung pertanyaannya.
"Kenapa mereka tidak menolong Gara?" Tanyanya dengan nada sepelan mungkin.
Gara diam mendengar itu, mereka yang dimaksud Arshavin pasti kakek Setyo dan nenek Lina. Gara tau akan hal itu karena Gara pernah bercerita pada Arshavin bahwa hanya mereka yang tak pernah menyakitinya.
Gara menghela nafas kemudian kembali menatap lurus ke depan. Sepertinya ia harus mengeluarkan suaranya lebih lama. Padahal ia sedang ingin berdiam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
G A R A
RandomRumitnya takdir membuat Gara bingung, dari yang di buang oleh keluarga ayahnya. Sampai mereka mengemis bahkan bersujud di kakinya hanya untuk mendapatkan maaf darinya. "Bukankah Gara memang pembawa sial?" "Ck! Gue gak suka banget sama logika gue!" ...