Prologue 0.1

141K 4.8K 324
                                    

Brussels, Capital of Belgium

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Brussels, Capital of Belgium

Paras rupawannya terlihat pucat. Lingkar hitam yang menghiasi mata lelahnya tak kunjung pudar.

Sedari tadi ia hanya duduk di hadapan jendela kaca yang menghadap langsung pada bukit Baraque de Fraiture yang sepi. Sesekali kursinya bergoyang pelan, sesekali ia menghembuskan asap rokoknya hanya untuk menandakan bahwa masih ada kehidupan di dalam tubuhnya yang kaku.

Orang bilang, kematian adalah yang terburuk. Tapi ternyata hidup dalam bayang-bayang kematian yang menghantuinya setiap detik lebih buruk dari kematian itu sendiri. Ketika matanya tanpa sadar terpejam, yang ia lihat hanyalah mayat-mayat yang bergelimpangan, teriakan orang-orang, suara tembakan, darah yang terpercik ke wajahnya dari kepala yang di tembak di depan matanya dan anak kecil yang berada dalam cengkraman laki-laki berpisau tajam. Laki-laki itu meletakkan pisau tersebut di lehernya hingga nafasnya perlahan-lahan hilang, tercekik oleh ketakutannya sendiri. Teriakannya terdengar nyaring dan memilukan, tapi hanya dia seorang yang dapat mendengarkannya. Ia terjebak di dalam dirinya yang lemah. Terjebak pada tawa menenangkan seorang gadis. Gadis misterius yang kerap kali bermain di dalam pikirannya. Senyumnya. Suaranya. Tatapannya. Semua itu mendatangkan rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan dengan logika.

"Paman telah menemukan orang yang dapat membantumu." kata Sebastian.

"Siapa?"

"Seseorang yang punya kemampuan yang bagus, berprestasi, dan dia telah banyak menyembuhkan orang-orang dengan permasalahan serupa."

"Apa paman yakin ada orang yang bisa menyembuhkanku?" tanyanya dengan nada datar sementara bola matanya masih menatap jauh keluar dan kursinya masih bergoyang.

"Kita coba saja dulu."

"Kita sudah cukup menghabiskan waktu untuk mencoba, paman. Semakin banyak yang tahu tentang kondisiku, semakin tak baik, semakin banyak pula yang akan terluka."

"Justru karena itu kau harus sembuh."

"Paman benar, Kiev. Semua penyakit pasti ada obatnya. Hanya saja kau belum menemukannya dan aku yakin itu akan segera." kata Kenya. "Siapa tahu melalui dia kau punya harapan sembuh."

"Apa kau mau bertemu dulu dengannya?" tanya Sebastian.

"She is here?"

"Tidak, belum. Dia akan datang jika kau sudah setuju. Tapi ayahnya ada di ruang tamu sekarang."

Di ruang tamu, seorang pria paruh baya dengan kemeja berwarna biru muda serta celana hitam duduk penuh wibawa. Dia berdiri dan tersenyum tipis saat menjabat tangan Kiev.

"Perkenalkan, aku River Patlers." kata pria itu.

"Kiev."

"Akhirnya aku bertemu denganmu, Kiev," River mengangguk senang. "Kalau kau belum tahu, sebenarnya kita berkerabat. Ayah dan pamanmu adalah sepupuku. Kakekmu, Sergio dan ibuku, Maria adalah saudara tiri."

"Apa kabar Winter dan Maria?"

"Mereka baik-baik saja, mulai sakit-sakitan, tapi baik." sahut River ramah.

Namun Kiev mengarahkan tatapan yang penuh arti kepada Sebastian, berkata tanpa suara kenapa pamannya melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan.

"River punya cabang bisnis di Brussels dan tak sengaja berjumpa dengan paman." kata Sebastian yang sudah paham betul arti dari tatapan keponakannya itu.

"Putriku akan dengan senang hati membantu. Dia mencintai pekerjaannya dan punya prinsip jika belum sembuh, dia tak akan berhenti. Dia juga pernah menerbitkan buku," River merogoh tasnya lalu menyodorkan sebuah buku pada Kiev. "Kau bisa baca kalau ingin tahu lebih banyak."

Dan Kiev memandanginya.

"Kuharap kau mengizinkan putriku mencobanya. Percayalah padanya."

Ketika hari sudah semakin gelap dan semua orang terlelap tidur, Kiev masih duduk di perpustakaan pribadi yang ada di kamar tidurnya. Sebelah tangannya memegangi gelas berisi Martini dan matanya sedari tadi hanya memandangi buku bersampul merah dengan judul El Secreto de un Psiquiatra yang diberikan oleh River tadi. Setelah ia menandaskan tegukan terakhir, diletakkannya gelas itu di atas meja lalu mengambil buku tersebut.

Kiev larut dalam tulisan indah dari halaman demi halaman hingga ia tak sadar sudah sampai pada paragraf terakhir yang menyita perhatiannya ; —tapi mari kuberitahu kau tentang rahasia terbesar kami. Sesungguhnya jiwa kami sama sakitnya seperti jiwamu. Kami memiliki topeng, yang kami panggil dengan sebutan psikiater. Kau pasti berpikir kami menyembuhkanmu, padahal kami sedang menyembuhkan diri, lewat dirimu yang kami anggap sebagai teman senasib.

Halaman terakhir berisi biografi penulis beserta dengan foto kecil di sudutnya. Dalam potret tersebut, rambut coklatnya yang indah dibiarkan tergerai. Dengan poni berantakan yang hampir menutupi sebagian keningnya, ia masih dapat melihat alis yang seperti dilukis oleh seorang seniman. Kedua manik mata yang sedang menatapnya adalah yang tercantik yang pernah ia lihat. Dan senyum tipis di bibirnya yang ranum seperti sedang memanggilnya untuk datang.

Lalu ibu jari Kiev bergerak menyentuh namanya ; Kashi Patlers.

Don't forget to vote & comment ❤︎

Oh ya kalau mau lebih nyambung lagi pas baca cerita ini, jgn lupa baca dulu Affair, Lust dan The dark side of the moon ya (baik yg di wp maupun yg di KK)

So sampai jumpa di chapter berikutnya!

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang