Chapter 52 - jour de pluie

11.8K 1.2K 504
                                    

"They say I'm too young to love you. They think I don't understand the freedom land of the seventies."
Brooklyn Baby - Lana Del Rey
***

Aku tetap menjalani hari-hariku seperti biasa setelah malam itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tetap menjalani hari-hariku seperti biasa setelah malam itu.

Aku tetap pergi ke sekolah tepat waktu meskipun tak pernah bisa tidur di malam hari. Setiap kali ingatan itu datang, aku berjuang untuk tidak gemetaran atau berkeringat. Seolah aku masih bisa merasakan sentuhan dari mereka setiap detiknya. Seolah aku masih di ruangan itu dan mengalami semuanya.

Rutinitas setiap pagi masih sama. Aku, ayah dan Matthias akan sarapan di meja bersama-sama. Usai dua gigitan roti dan satu teguk kopi, akan ada seseorang yang menghubungi ayah dan dia permisi untuk menelpon. Aku sudah hafal. Secara tak langsung, dia tak pernah benar-benar menghabiskan waktunya untuk sarapan dengan kami. Lalu Matthias akan sibuk menggoda Tamara—gadis pelayan di rumah kami—saat dia datang menghidangkan teko berisi jus jeruk. Menjelang acara sarapan usai, ayah akan kembali untuk mengecup pipiku sebelum dia keluar dari rumah untuk pergi bekerja.

Dia bahkan tak menyadari pagi itu tak kusentuh secuil pun sarapanku. Tak ada satu orang pun yang menyadari bahwa sesuatu telah mengubah hidupku.

Satu minggu berikutnya, kami semua berkumpul di gereja untuk menghadiri acara pernikahan ayahku dengan Micka. Micka adalah sahabat masa kecil ayah, yang siapapun tahu telah memendam cinta begitu lama. Namun ayahku lebih memilih jatuh cinta pada ibuku. Sampai detik ini pun, aku tahu cintanya pada ibuku tak akan lebih besar dari cintanya pada siapapun—bahkan anak-anaknya.

"Ini adalah hari besar keempat di dalam hidupku. Pertama, saat aku menikahi mendiang istriku—Camila. Kedua, saat Matthias lahir. Dan ketiga, saat Camila meninggal, bersamaan dengan hari lahirnya putriku, Kashi," kata ayah dihadapan para tamu yang hadir. Dia menjeda kalimatnya sejenak, seolah sedang menyelam kembali pada masa-masa yang dulu. "Camila telah mengenalkanku seperti apa rasanya mencintai dan dicintai. Kehadirannya adalah hal yang selalu aku syukuri. Dan kepergiannya adalah pukulan keras bagiku. Sejak dia pergi, aku tak yakin bisa melanjutkan hidupku. Micka membantuku dalam banyak hal, terutama mengurus anak-anak. Camila adalah cinta sejatiku," Dia kembali terdiam dengan bibir tersenyum. "Namun Micka," Ayah menoleh pada istri barunya. "Dia adalah sahabat dan cinta terakhirku."

Lalu mereka pun berciuman setelahnya.

Pesta yang meriah digelar di rumah kami. Para tamu datang dengan pakaian mewah. Semuanya dari kalangan orang-orang kaya dan terpandang. Matthias membawa teman-temannya—termasuk Rocío. Dari tempatku duduk, kuperhatikan bagaimana mereka semua bersenang-senang, minum-minum dan tertawa-tawa bersama pacar masing-masing. Tak ada sedikitpun rasa malu di wajah Rocío bahkan saat mata kami beradu tatap.

CLIMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang