Pagi itu masih gelap.
Aku sudah ada disana sejak tadi malam, di dalam mobil yang kuparkirkan di antara mobil-mobil milik para penghuni lainnya. Kupandangi apartemen tempat Harsh tinggal. Apartemen sederhana yang dulu menjadi tempat aku memadu kasih dengannya. Dia punya lebih dari cukup uang haramnya untuk membeli kondominium, namun dia lebih memilih untuk tetap tinggal di tempat kumuh itu demi menutupi jati dirinya sebagai bandar narkoba terbesar di Amerika saat ini.
Dengan nama Manuel Moore, dia hanya akan dikenal sebagai seorang warga sipil yang bekerja di pelabuhan.
Aku keluar dari mobil, berjalan naik lewat lift yang lampunya berkelap kelip karena rusak. Tas kecil yang kubawa berisi pistol. Harsh tak pernah mengunci pintu, jadi aku bisa masuk dengan mudah. Aku berdiri di ambang pintu, memandangi seorang laki-laki yang tertidur bersama dua perempuan telanjang di dalam pelukannya. Dulu aku pernah ada disana, di dalam pelukannya. Aku pernah disana membicarakan masa depan kami. Membicarakan cita-citaku yang ingin menjadi seorang penata ruang. Dia bilang dia akan membelikanku sebuah rumah besar yang kosong dan membiarkanku menatanya sesuka hati. Dia bilang dia ingin kamar anak kami di cat dengan warna biru.
Kini semua itu menjadi sesuatu yang jika diingat akan membuatku ingin memuntahkan isi perutku.
Saat melangkah lebih dekat, aku mulai merasakan gelanyar di sekujur tubuhku begitu bayang-bayang malam kelam itu kembali berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Cara dia mengabaikanku saat teman-temannya menyetubuhiku masih terekam jelas di dalam kepalaku. Cara dia bicara di telepon dengan mitra bisnisnya saat aku berjuang memanggil namanya. Cara dia memanipulasiku dengan mulut manisnya, cara dia mengancamku, menyudutkanku, memukulku, membunuh di depan mataku untuk merontokkan mentalku. Cara dia menampar wajahku, memukuli kepalaku, menendangku dan menghina mendiang ibuku.
Aku berjalan lebih dekat dan berhenti di tepi tempat tidur.
Harsh tiba-tiba membuka matanya. Ia terkejut dengan kedatanganku—ekspresinya seperti sedang melihat hantu. Lalu bertanya dengan suara serak khas baru bangun tidur. "Kashi, ini masih pagi sekali."
Karena aku hanya diam, dia pun keluar dari selimutnya, berjalan mengambil celana panjang di lantai, di antara pakaian para pelacurnya, untuk menutupi bagian tubuhnya yang hanya berbalut boxer hitam ketat. Dia mengumpat saat kakinya tersandung botol kosong di lantai.
"Siapa itu?" tanya salah satu pelacur yang sedang bergerak terusik dari tidurnya. Dia adalah gadis yang kulihat bersamanya di restoran waktu itu.
"Mantan kekasihku."
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Mantan kekasih. Bahkan untuk menjadi mantannya pun rasanya aku tak sudi. Aku berjalan pelan mengitari meja kecil tempat dia meletakkan buah-buahan. Aku tak mengambil satu pun, hanya menyentuhnya.
"Aku tak menyangka kau masih memelihara kebiasaan tak mengunci pintu setelah semua ini." kataku menatap langsung ke dalam bola matanya.
Ekspresinya tak berubah, hanya matanya yang berkedut namun bibirnya bergerak seperti seseorang yang sedang tersenyum. "Karena aku tahu kau pasti akan kembali padaku."
Aku menarik kursi, lalu duduk disana. Kuletakkan topiku di atas meja.
"Aku menunggumu, apa yang membuatmu begitu lama kembali kepadaku?" tanyanya.
Kutatap dia sambil berpikir betapa tak tahu malu nya laki-laki ini. Dia masih berani melakukan manipulasi di detik-detik terakhir hidupnya.
"Aku harus jujur. Aku merindukanmu, Kashi. Hari-hariku begitu hampa tanpamu. Kucoba lakukan banyak hal untuk melupakanmu, namun aku tak mampu. Saat kita berjumpa di restoran waktu itu, ingin sekali aku menghampirimu, mengajakmu pulang, namun aku masih terluka karena kau meninggalkanku. Tapi sekarang, aku begitu senang melihatmu."
![](https://img.wattpad.com/cover/320784360-288-k286214.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CLIMAX
RomanceLeonelle #3 Memiliki profesi sebagai seorang psikiater telah membuat Kashi Patlers terbiasa menghadapi pasien-pasien dengan gangguan mental. Ia ahli dan kompeten. Banyak yang berhasil sembuh usai dirawat olehnya. Namun keahlian tersebut malah menyer...